Masa Lalu

Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Bee berlari menuju SD Adenium, napasnya memburu, jemarinya meremas tali tas dengan erat. Hari ini adiknya, Alamanda, tampil dalam pementasan musim gugur. Dia sudah berjanji akan datang, akan menyaksikan Alamanda menarikan pentas seni mewakili kelasnya. Namun langkahnya terhenti mendadak.

"Aduh!"

Bee menabrak seorang wanita berpakaian serba hitam. Mata wanita itu sembab, seolah habis menangis semalaman. Wajahnya pucat di balik topi lebar yang menutupi sebagian besar wajahnya. Gaun panjang dan sepatu tingginya yang serba hitam menambah kesan misterius.

"Maaf, Bu! Saya terburu-buru. Saya benar-benar minta maaf..." Bee membungkuk berkali-kali, mengulang kata-kata maaf dengan cemas.

Namun wanita itu hanya memandangnya dengan tatapan dingin—tajam, namun terselip luka yang dalam. Tanpa sepatah kata, wanita itu berbalik, menyeka sudut matanya yang kembali basah, lalu melanjutkan langkahnya menjauh.

Bee terdiam, memandangi punggung wanita itu yang semakin menjauh. Ada sesuatu yang aneh, entah apa. Namun kesadarannya kembali begitu mengingat tujuannya semula. Ia menggeleng dan kembali berlari menuju aula sekolah.

Setibanya di sana, aula sudah dipenuhi suara riuh tepuk tangan. Bee menelusuri barisan kursi dengan panik, mencari adiknya. Pandangannya menangkap sosok Alamanda di baris kedua dari belakang. Namun senyumnya langsung memudar ketika mendengar nada ketus dari ibunya.

"Kamu telat. Manda sudah tampil tadi."

Bee terdiam, menatap adiknya dengan rasa bersalah yang menyesakkan dada.

"Kerjaan apa sih yang pernah benar dia selesaikan," tiba-tiba suara nenek Miskah, ibu dari ayah tirinya, menyusup tajam seperti belati.

Bee hanya terdiam. Kalimat itu menggores hatinya, meski sudah terlalu sering ia mendengarnya. Sejak ayah kandungnya meninggal sepuluh tahun lalu, komentar sinis seperti itu bukan lagi hal asing.

"Sudahlah, Bu. Yang penting Bee sudah datang, kan?" Anton, ayah tirinya, mencoba menenangkan suasana.

Alamanda yang sedari tadi mendengus kesal, perlahan melirik Bee yang hanya berdiri dengan kepala tertunduk.

"Kak, duduk sini sebelah Manda," ujarnya pelan, suaranya terdengar jauh lebih lembut. Senyum manis terulas di wajah mungilnya, dan Laura, ibu mereka, hanya terdiam memperhatikan.

Pementasan berakhir, dan saat mereka bersiap pulang, Bee harus kembali ke kafe tempatnya bekerja.

“Kakak pamit ya. Maaf tadi telat. Nanti kakak beliin cokelat deh. Manda mau?” Bee mencoba menghibur dengan nada ceria yang dipaksakan.

"Mau! Mau banget!" jawab Alamanda dengan mata berbinar.

Namun kebahagiaan itu segera terhenti oleh suara nenek Miskah yang kembali menyelipkan racun dalam kata-katanya.

"Kalau cuma cokelat, ayahmu juga bisa beliin. Bukan cuma satu, sepuluh juga bisa."

"Ibu! Cukup!" Anton menegur, namun Bee sudah memilih diam.

Laura menarik Alamanda masuk ke mobil, dan tanpa menawarkan tumpangan, mereka meninggalkan Bee begitu saja.

Bee hanya bisa menghela napas, lalu melanjutkan langkahnya pulang dengan berjalan kaki sejauh empat kilometer. Tanpa keluhan. Tanpa air mata. Hatinya sudah terlalu terbiasa dengan rasa sepi dan luka yang ditinggalkan sejak kecil, sejak kepergian ayahnya.

Sesampainya di kafe, ia kembali mendapat omelan dari manajernya, Manuel.

“Kamu janji datang jam satu, sekarang sudah jam berapa, hah? Kamu ini karyawan atau turis sih?” bentaknya.

"Maaf, Pak. Tadi acaranya selesai agak lama..."

"Halah, alasan! Kamu ini sering banget telat. Sudah, ini peringatan terakhir!"

Bee menunduk, menahan perih dalam diam. Dari sudut kafe, seorang wanita bergaun putih dengan lipstik merah terang memperhatikan mereka dengan sorot mata penuh makna.

"Bunga itu takkan layu, meski terus disiram air panas..."

Bee melihat bibir wanita itu bergerak membisikkan sesuatu, namun suara itu seolah hanya gema samar. Ketika mata mereka bertemu, wanita itu segera beranjak pergi.

Bee pulang lebih malam dari biasanya. Seharusnya ia selesai pukul tiga sore, namun hukuman atas keterlambatannya membuatnya baru bisa pulang pukul tujuh.

Ketika membuka pintu rumah, ia hanya menemukan kehangatan yang tidak pernah menyentuh dirinya. Tawa ayah, ibu, dan adik-adiknya terdengar begitu akrab, seolah ia tak pernah menjadi bagian dari keluarga itu.

Tanpa disapa, tanpa ditanya bagaimana harinya, Bee berjalan menuju dapur, mencari sisa makanan. Namun, seperti biasa, piring-piring kosong menjadi satu-satunya pemandangan yang tersisa.

Di lantai tiga, di loteng sempit yang disebut sebagai kamarnya, Bee duduk termenung. Sepotong roti pemberian pemilik kafe ia kunyah perlahan. Satu-satunya makanan yang menyentuh perutnya sejak pagi.

Hatinya berbisik lirih, “Kapan aku bisa merasakan rumah yang sesungguhnya? Atau... aku memang tak pernah benar-benar memilikinya?”

Dalam keheningan, Bee menatap jendela kecil yang menghadap langit malam. Terkenang ayahnya, sosok yang pernah memberikan cinta paling tulus. Sosok yang telah pergi, membawa serta kehangatan yang tak pernah kembali lagi.

# Sembilan tahun yang lalu

Pagi itu cerah, dengan angin bertiup lembut seiring datangnya musim panas. Sinar matahari menyinari tanpa amarah, memberikan kehangatan yang menyegarkan. 

“Nek, kok Ayah belum datang juga?” tanya Bee kecil dengan penasaran.

“Mungkin sebentar lagi,” jawab neneknya dengan sabar sambil mendandani cucu semata wayangnya.

Bee kecil membalas dengan senyuman manis. Tak lama kemudian, Ivan datang membawa kamera dan menggandeng tangan tetangganya untuk memotretnya sebelum berangkat piknik merayakan ulang tahun Bee yang ke-8.

“Ayo, foto dulu sebelum berangkat!” ajak Ivan bersemangat.

“Hmmm, udah ya, kameranya minjem, masih disuruh fotoin juga,” dengus Dodo, tetangganya.

“Nanti aku bawain oleh-oleh sesuai pesananmu,” bela Ivan.

“Oke, awas loh ya!” ancam Dodo kepada sahabatnya itu.

Dengan gaya fotografer profesional, Dodo memotret keluarga kecil itu. Mereka bertiga pun berpose bersama sebelum berangkat.

Hari itu, tanggal 17 Maret, Ivan berencana mengajak keluarganya merayakan ulang tahun Bee di kawasan perbukitan kota Asoka. Di hari kerja seperti ini, kawasan tersebut biasanya sepi dari lalu-lalang kendaraan.

Ivan, dengan semangat, menggendong tubuh kecil Bee, menciumnya di pipi, dan mencubit hidung manisnya. Bee hanya tertawa kecil karena geli kumis ayahnya menusuk kulit wajah imutnya. Kini keluarga itu sudah berada dalam mobil dan siap menuju lokasi. Bee bersorak kegirangan ketika mesin mobil mulai menyala, bertepuk tangan menikmati momen indah bersama ayahnya.

Ivan mengendarai mobil lawas yang dipinjam dari kantornya, melewati hamparan perkebunan teh. Bee duduk manis di kursi depan di sampingnya, fokus pada wajah ayahnya, bukan pada pemandangan di luar.

“Kenapa lihatin wajah Ayah terus?” Ivan bertanya, menyadari keluguan putri kecilnya.

Bee hanya menjawab dengan senyuman manis. 

“Dia kangen, kan jarang lihat kamu di rumah. Kamu pulang kerja, Bee sudah tidur; kamu berangkat kerja, Bee juga masih tidur,” jelas nenek yang duduk di kursi belakang, melihat tingkah lucu cucunya.

Ivan mengelus rambut halus Bee, merasa beruntung memiliki keluarga yang sangat dicintainya. Ia merasa semangat mencari nafkah demi keluarganya.

Setengah perjalanan, handphone Ivan berbunyi. Ternyata dari teman kantornya, mengabari bahwa mobil yang dia pinjam akan digunakan oleh atasan sesegera mungkin.

“Hah! Kemarin katanya bisa dipinjam sehari?” bentak Ivan di telepon.

“Iya, kemarin bisa. Tapi sekarang Pak Rudi mau pakai mobil itu,” jawab temannya.

“Aduh, gimana sih?” Ivan tampak kesal, tidak fokus menyetir hingga mobil sedikit oleng. Handphone-nya terjatuh saat dia berusaha mengendalikan laju mobil.

“Hati-hati dong, Van!” tegur nenek yang dengan sigap memegangi Bee dari kursi belakang.

Ivan tidak menjawab, sibuk mencari handphone-nya yang terjatuh dengan tangan kiri. Tanpa sadar, mobilnya sudah terlalu masuk ke lajur kanan. Dari arah berlawanan, truk besar melaju kencang. Supir truk sempat membunyikan klakson. Ivan segera fokus pada kemudi, namun sudah terlambat. Ia membanting setir ke kiri, tapi tabrakan tak terhindarkan. Truk besar menghantam bagian kanan mobil di depan kemudi Ivan. Mobil terpental memutar, lalu jatuh ke jurang dangkal di tepian jalan.

Kecelakaan menarik perhatian beberapa pengendara lain. Ada yang menghubungi kepolisian dan ambulans, ada juga yang sigap menolong dengan turun ke jurang untuk mencari korban selamat. Salah satunya adalah pria berusia sekitar 30-an tahun, yang turun dengan hati-hati, menginjak tanah dan ranting pohon. Dia menemukan mobil terbalik dan ringsek. Terdengar suara erangan kesakitan dari dalam mobil.

Dia berhasil menemukan Bee, gadis kecil itu mengaduh kesakitan dengan wajah penuh darah, setengah tubuhnya sudah berada di luar mobil. Pria itu dengan sigap membantu Bee keluar tanpa memperparah lukanya. Setelah beberapa waktu, Bee berhasil dikeluarkan dari mobil.

“Ada yang selamat!” teriaknya.

Tim penyelamat dari jalan tol segera datang dengan alat untuk menarik tubuh pria itu dan Bee, karena lokasi yang terjal tidak memungkinkan untuk menggendong mereka. Setelah proses evakuasi, Ivan dan ibunya dinyatakan meninggal di lokasi kejadian, sementara Bee selamat dari kecelakaan dan hanya mengalami luka ringan. Kawasan yang sebelumnya sepi kini ramai dengan kendaraan yang tersendat karena proses evakuasi. Bee dibawa oleh pria yang menyelamatkannya ke rumah sakit terdekat.

Di ruang gawat darurat rumah sakit, Bee kecil menangis terisak sementara beberapa suster berusaha menenangkannya. Di luar kamar, anggota kepolisian berbincang dengan Laura, ibu kandung Bee, dan Anton, ayah sambung Bee. Mereka menceritakan kronologi kecelakaan dan bahwa hanya Bee yang selamat. Pria yang menyelamatkan Bee juga ikut menjelaskan kronologi kejadian.

“Kami sangat berterima kasih atas bantuan Bapak-Bapak semua,” ucap Anton, menyeka keringat yang membasahi keningnya. Laura hanya diam dengan wajah gusar.

“Maaf, apakah Bapak dan Ibu ini keluarga korban?” tanya salah satu polisi.

“Istri saya adalah ibu kandung gadis kecil yang selamat, sedangkan saya ayah sambungnya. Kami tidak memiliki hubungan keluarga dengan korban lainnya,” jawab Anton.

“Baik, kalau begitu, nanti Bapak dan Ibu bisa memberikan keterangan lebih lanjut di kantor,” pinta polisi, melirik Anton dan Laura secara bergiliran.

“Baik, terima kasih banyak,” jawab Anton. Laura tetap diam.

Pintu ruang gawat darurat terbuka. Seorang dokter menghampiri mereka dengan senyuman tipis di bibirnya.

“Gadis manis itu hanya mengalami luka ringan dan kehilangan cukup banyak darah. Dia perlu istirahat beberapa hari, dan kami sarankan agar diberikan tim psikolog anak untuk memulihkan kondisi psikisnya,” jelas dokter.

“Syukurlah,” jawab mereka serempak, kecuali Laura yang wajahnya semakin gusar. Dalam hatinya, ia bahkan lebih berharap anak itu ikut bersama ayah dan neneknya ke surga.

“Baik, kalau begitu kami ijin pamit. Semoga anak Bapak dan Ibu cepat sembuh. Kami tunggu kedatangan Bapak dan Ibu untuk keterangan lebih lanjut,” kata polisi.

“Baik, terima kasih banyak,” jawab Anton.

Mereka bersalaman dan meninggalkan ruang gawat darurat. Pria yang menyelamatkan Bee juga pamit, namun sebelum pergi, dia menatap kamar tempat Bee dirawat, khawatir dengan kondisi gadis kecil itu. Dia melihat Laura dan Anton sedang berdebat, walaupun tidak terdengar jelas apa yang mereka bicarakan. Laura, untuk pertama kalinya, terlihat berbicara.

Langit mulai mendung, awan hitam menggelayuti gedung rumah sakit. Suara burung cabak menandakan senja akan menutup hari dengan selimut gelap, diiringi gerimis yang menggugurkan tirai hari yang penuh kepedihan.

Terpopuler

Comments

Heri Purnomo

Heri Purnomo

Senang sekali membaca ceritamu, semangat selalu thor!

2024-07-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!