Armada Buliling, begitu nama perusahaan tempat Rudi melamar kerja sebagai sopir. Pertama kali datang ke sana Rudi dituntun Jay melihat-lihat lokasi. Lokasi itu sibuk oleh puluhan Carry yang berangkat kerja. Satu per satu angkot-angkot putih itu pergi hingga tak tersisa pada pukul tujuh. Rudi pun diperkenalkan Jay kepada Mang Ujang, orang kepercayaan Haji Karto.
“Mahasiswa kau bilang? Mengapa mau narik angkot?” tanya Mang Ujang, heran.
“Saya sedang butuh uang Mang.” jawab Rudi.
“Katanya kau juga bisa perbaiki mobil mogokan itu?”, Mang Ujang tampak sangsi.
“Kita lihat dulu Mang!” sahut Jay.
Mereka bertiga bergerak ke sebuah garasi tertutup. Saat dibuka tampaklah sebuah angkot yang sepintas tak terurus, dan memang sudah setahun tidak beroperasi. Rudi mencoba memeriksa mesin dan menyalakannya beberapa kali. Tak butuh waktu lama angkot pun menyala. Permasalahannya ternyata sederhana. Hanya masalah kabel yang terpasang tidak benar, kadang kontak kadang tidak menyebabkan mesin kadang hidup kadang mati.
“Boleh juga si mahasiswa ini!” kata Mang Ujang melirik ke arah Jay, dan Jay membusungkan dada.
Rudi bernafas lega, sementara tangannya masih hitam. Ia teringat akan do’a ibunya. Ia yakin kemudahan itu tak lepas dari do’a ibunya.
Saat ditelepon malam itu, awalnya ibu Rudi merasa berat mengizinkan anaknya bekerja. Namun melihat keadaan ekonomi semenjak ditinggal sang suami yang terasa mulai pincang mau tak mau ia pun merelakan. Wanita itu pun berdo’a supaya Rudi mendapat kelancaran dalam status barunya di kota sebagai sopir angkot.
Angkot itu menderu nyaring, seolah gembira dengan kedatangan tuan barunya, bahkan mungkin tuan yang sebenarnya. Selama ini ia tertidur menunggu. Seolah-olah ia memang ditakdirkan untuk Rudi. Dan hari itu takdir pun menyambut mereka.
Habis itu Rudi ditatar singkat, pengenalan kendaraan dan tempat termasuk mengapa armada itu dinamakan Buliling. Waktu itu Mang Ujang menjelaskan dengan sinar bangga bahwa Buliling ialah singkatan yang berarti ngebul sambil keliling. Ngebul dalam bahasa Sunda artinya berasap, menjelaskan asap knalpot mobil, lalu keliling menandakan angkot yang kesehariannya memang keliling kota. Entah kenapa, Mang Ujang kelihatan lebih bangga ketika menjelaskan nama Buliling itu ketimbang pada saat diperlihatkannya luas parkiran armada yang tak kira-kira luasnya hingga ratusan meter.
“Buliling itu sungguh suatu nama kebanggaan Rud! Kau mau tahu alasannya?” ia menggoda Rudi.
Rudi berkernyit. Agak geli rasanya untuk berkata bahwa ia mau tahu.
“Orang inilah yang memasang plang itu! Plang yang dibaca orang setiap hari sehingga nama Buliling dikenal ke mana-mana!” kata Mang Ujang sambil menepuk-nepuk dada seraya melirik ke arah gapura selamat datang yang menjulang gagah.
“Tapi yang ngasih nama siapa Mang?” tanya Jay.
“Yaaa Pak Haji!” jawabnya terkekeh.
Sungguh kebanggan yang sederhana! pikir Rudi.
Setelah pengenalan dan serangkaian tes praktek, Mang Ujang mengajak Rudi keliling trayek. Rudi yang telah cukup berpengalaman sebagai sopir Carry semenjak SMA kelas 1 dengan cepat menguasai kendaraan angkot yang dibawanya. Tak butuh waktu lama dan pertimbangan ini itu, Mang Ujang selaku orang kepercayaan Haji Karto, pemilik armada, merekomendasikan Rudi ke beliau hari itu juga, dan Rudi pun diterima sebagai sopir.
Sejak itu, berkeliling trayek tiap hari, menghafal nama-nama tempat, memperhatikan mana-mana saja tempat ramai penumpang dan sekalian tak sengaja menghafal wajah-wajah penumpang pun mulai menjadi kebiasaan Rudi.
Angkot Buliling 02, Angkot yang dibawa Rudi itu melintas ke beberapa tempat dalam Kota Tasikmalaya, termasuk Universitas Siliwangi.
Ada perasaan risih di awal ia bekerja karena terkadang kenalannya di kampus juga jadi penumpang, bahkan teman seangkatan yang sekelas ada yang mengejek hingga menertawakan. Rudi tak akan lupa peristiwa itu, saat itu ia berhenti dekat gerbang depan universitas dan seorang kawan laki-laki yang sekelas menghampiri beserta beberapa kawan lain. Si kawan laki-laki yang pertama datang berkata :
“Hey teman-teman lihat siapa mamang angkot ini?!!”, kawan yang lain bengong. “Rudi… tak kusangka, kukira kemana kau selama ini?” katanya sambil tersenyum.
Rudi diam saja. Ia tahu siapa yang menghampirinya.
“Maafkan aku Rud, kalau saja aku tak sengaja melihatmu, mungkin aku tak akan pernah sempat mengucapkan selamat!” katanya sambil terkekeh. “Tak akan pernah sempat… karena aku sibuk mengukir prestasi yang mungkin… kini tak mampu kau kejar lagi!” lanjutnya seraya bersandar di jendela angkot dan menatap ke arah Rudi.
“Ya, terimakasih!” jawab Rudi singkat.
Si kawan tertawa kecil, kemudian berkata kepada teman-temannya :
“Ya teman-teman, tampaknya kita sudah tidak ada waktu lagi! Tidak ada waktu dan… kuliah akan kembali dimulai”, laki-laki itu melirik ke arah Rudi seraya tersenyum sinis, kemudian melirik ke arah teman-temannya. “Yuk, kita ke kampus lagi teman-teman!”
Rudi diam saja. Si kawan laki-laki itu temannya di kelas. Anak orang kaya, tampan, cerdas, namun punya sikap dingin kepada Rudi. Rudi tidak begitu mengerti. Mungkin itu terjadi karena iri hati bahwa selama ini Rudi kerap mendapat simpati di kelas karena pribadinya yang santun, sekalipun prestasinya yang tinggi tidak setinggi si kawan sendiri. Sementara si kawan tampaknya ingin mendapatkan segala-galanya.
Ada juga teman-teman sekelasnya yang menumpang dan bertanya, mengapa jarang terlihat di kampus? Rudi selalu bilang bahwa ia sedang cuti, mau kerja dulu. Padahal terpaksa. Kalau saja ada jaminan. Kalau saja ia tidak ingat ibu dan adiknya, mungkin Rudi tak perlu begini.
“Sayang banget kuliahmu ketinggalan Rud!”
“Iya, padahal kamu kan pinter, IP juga bagus, kok malah narik angkot!”
Nirmala dan Sari berkomentar.
“Lagi butuh uang La, ya hitung-hitung sambil cari pengalaman!” jawab Rudi.
Kemudian kawan Rudi yang laki-laki menimpali :
“Hati-hati Jang, jangan kelamaan, bisa-bisa kena DO lagi!” seloroh Warno.
Jang singkatan dari ujang artinya bocah laki-laki. kadang-kadang jenis-jenis orang tertentu yang suka menggoda menggunakannya untuk berseloroh dengan sesama teman. Tak lupa setelah kalimat candaan itu biasanya mereka tertawa sambil menepuk punggung atau bahu. Persis yang dilakukan Warno kepada Rudi. Sedikit menyebalkan, tapi Rudi dapat memakluminya. Rudi tersenyum menanggapi Warno sambil memutar setir sampai akhirnya berkata :
“Nggak balakan terjadi No, tenang saja!” sahut Rudi sambil tertawa.
Dan ternyata tidak benar. Rudi tidak pernah punya waktu untuk datang ke kampus. Cuti kuliahnya bersambung dari satu cuti ke cuti lain. Uang yang ia kumpulkan pun lebih banyak untuk ibu dan adiknya. Uang kuliahnya sendiri menunggak, tagihan kamar kosnya pun menunggak. Teman-temannya seangkatan sudah wisuda. Bahkan adik-adik tingkatnya, angkatan demi angkatan diwisuda.
Telah beberapa kali angkot Rudi terjebak macet dalam arak-arakan parade wisuda di jalur depan universitas, maka telah beberapa kali juga hadir dalam bayangannya saat memperhatikan parade itu bahwa ia ikut dalam barisan wisudawan dan wisudawati beserta seluruh keluarganya dari kampung. Difoto bersama, membeli buket bunga, lalu makan-makan sebelum kembali ke kampung seraya menyandang gelar sarjana.
Menjadi sopir angkot tak memberinya banyak waktu, kecuali hanya membaca buku dan diktat kuliah kalau sedang menunggu penumpang. Ia harus kejar setoran dan ia juga harus memenuhi kebutuhan diri dan keluarga. Kini tak ada lagi penumpang mahasiswa yang dikenalnya secara pribadi. Kalau pun mengenal wajah segelintir mahasiswa, itu pun karena mereka kerap jadi penumpang Rudi dari kosan atau rumah mereka ke Unsil. Begitu pula sebaliknya saat pulang.
Cuti kuliah yang diambil Rudi telah berlangsung hampir lima tahun. Selama itu ia masih menaruh harapan untuk dapat menyelesaikan kuliah yang tinggal 4 semester. Meski terkadang, terlintas juga rasa putus asa, hingga seolah berdiri di persimpangan antara lanjut atau mundur. Sampai akhirnya ia mendapat panggilan dari fakultas
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Sera
sampai di panggil fakultas karna kelamaan cuti ini
2024-09-10
1