Waktu ayahnya meninggal Rudi baru naik ke tingkat tiga Jurusan Pendidikan Biologi di Universitas Siliwangi alias Unsil. Usai pemakaman sang ayah Rudi kembali ke Tasikmalaya. Tempat kosnya tak jauh dari Unsil. Sebuah rumah kos sembilan pintu berhalaman cukup luas yang dapat segera ditemukan setelah masuk ke dalam gang beberapa puluh meter melewati mesjid Al-Hidayah dari tepi Jalan Tentara Pelajar.
Macam-macam orang tinggal di tepat kos itu. Tak hanya mahasiswa, tetapi juga pedagang, pekerja kantoran bahkan sopir angkot.
Laki-laki yang bekerja sebagai sopir angkot menyewa tempat kos bersebelahan dengan Rudi. Namanya Jaelani. Pemuda rantau asal Garut yang akrab dipanggil Jay. Pemuda itu cukup akrab dengan Rudi sekalipun berbeda status, yang seorang mahasiswa yang seorang pekerja. Perbedaan itu rupanya dapat disatukan dengan satu hobi yang sama yakni main catur.
Jika sedang suntuk mereka akan saling mengetuk pintu mengajak main catur semalaman. Selama main catur mereka tak pernah lepas dari kopi dan obrolan. Sementara Jaelani yang perokok berat, selain kopi dan mengobrol ia pun tak pernah lepas dari rokoknya.
Dalam obrolan-obrolan mereka biasa bertukar pengalaman dan informasi baik yang sudah lalu maupun yang baru saja terjadi. Termasuk pengalaman Rudi sewaktu ngoprek dan nyetir Carry milik pamannya di kampung yang rupanya tak jauh beda dengan Carry yang kerap dibawa Jaelani narik angkot.
Dari waktu ke waktu obrolan-obrolan sederhana seperti itu semakin mengakrabkan mereka dan membuat mereka semakin saling mengenal satu sama lain.
Biasanya Rudi akan selalu sempat untuk main catur, sekurang-kurangnya satu atau dua kali permainan setiap malam. Tetapi semenjak kembali dari kampung setelah kematian ayahnya itu, sudah enam hari Rudi lebih banyak menghabiskan waktu menyendiri di dalam kamar, tak mau diganggu.
Kalau sedang suntuk Jay jadi kebingungan. Tak ada lawan main catur yang seimbang baginya selain Rudi. Kalau ngajak Harun atau Tito, dua mahasiswa teknik yang belum begitu mahir mengolah strategi, main catur jadi kurang seru. Apalagi kalau ngajak Pak Irsyad yang pegawai bank, ia tak tahu sama sekali bagaimana cara memindahkan pion, yang diketahui pria itu hanya soal selisih pembukuan keuangan dan soal kredit macet yang dihadapinya setiap hari. Bukannya suntuk hilang, main catur dengan Pak Irsyad malah membuat Jay tambah suntuk gara-gara mendadak harus jadi guru.
Akhirnya di malam ke tujuh Jaelani mencoba mengetuk pintu kamar Rudi lagi. Malam ketujuh itu Rudi keluar. Itulah malam dimana ia kembali kerasan main catur untuk pertama kalinya. Selama permainan itu Rudi dan Jaelani mengobrol.
“Kenapa selama ini kau terus mengurung diri? Apa kau belum rela melepas kepergian bapakmu Rud, sehingga baru sekarang keluar dan mau main catur lagi?” selidik Jaelani sambil menghisap dalam-dalam rokok yang menyala merah di mulutnya.
“Bukan itu Jay! Kalau soal kematian, kita semua juga akan mengalami! Lagi pula aku sudah bisa merelakan kepergian bapak, hanya saja ada soal lain yang membuatku kalut!”
“Apa itu?” tanya Jaelani.
“Keluargaku Jay!”
Jay mengangguk-angguk sambil memindahkan pion.
“Setelah kupikir-pikir sepertinya aku butuh pekerjaan!” tegas Rudi.
Jaelani menatap Rudi kemudian bertanya :
“Kalau kau bekerja, kuliahmu bagaimana?”
“Aku mengkhawatirkan ibuku Jay, beliau sedang hamil tua. Ditambah adikku Heryani yang sebentar lagi naik kelas! Kalau soal kuliah, aku tinggal ambil cuti saja, beres!”
Habis memindahkan kuda, Jaelani merenung.
“Kau sungguh-sungguh mau bekerja?” tanyanya.
“Apa kau tidak melihat kesungguhanku, setelah semua yang kuceritakan tadi?” ujar Rudi balik bertanya.
“Kalau kau siap sebenarnya ada lowongan kerja di tempatku, jadi sopir angkot!”
Sekarang giliran Rudi yang merenung.
“Ya sudah, aku mau, toh aku juga pernah bawa mobil Carry, kapan bisa mulai?”
“Tapi…” ucap Jay Ragu.
“Ada masalah apa?” tanya Rudi penasaran.
“Mobil yang tersisa tinggal satu-satunya!”
“Lalu apa masalahnya?”
“Mobil itu mogokan, telah banyak sopir menyerah bawa mobil mogokan itu. Kalau kau bisa perbaiki kurasa Haji Karto bakal menerimamu jadi sopir angkot beliau!”
Rudi berpikir sesaat kemudian berkata :
“Soal memperbaiki sih nanti aku lihat dulu, siapa tahu aku paham apa masalahnya!”
“Baiklah, kalau begitu kau tinggal ikut aku saja besok!”
“Besok?” tanya Rudi ragu.
“Terus mau kapan?”
“Kasih aku waktu dulu satu atau dua hari, aku harus mengurus cuti kuliah dulu Jay, aku juga harus menelepon meminta izin kepada ibuku, karena ini adalah keputusan besar buatku!”
“Ya, aku paham Rud!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
🧭 Wong Deso
Awal merintis nulis di novel online emang gak gampang, kalau gak punya lencana yang mentereng bakalan susah cari pembaca
2024-08-18
2
elleya
Keren ka penulisannya gak membosankan alur ceritanya
2024-07-30
1
Killspree
Bikin ketagihan deh.
2024-07-21
1