TAK
TAK
TAK
Bunyi langkah kaki terdengar berirama disepanjang perjalanan menuju penjara bawah tanah. Tempatnya yang gelap dan sunyi menambah kesan menyeramkan pada lorong itu. Mereka hanya dapat mengandalkan cahaya dari obor yang dibawa Hendrick dan pengawal di depannya. Perjalanannya yang menurun dan juga panjang membuat Lidya hanya bisa menduga-duga seberapa jauh tempat yang ia tuju.
Semakin dalam, bau amis semakin tercium. Hendrick yang menyadarinya menatap khawatir Lidya yang jauh lebih pendek darinya.
Dia pun bertanya "nona, apakah nona benar-benar yakin ingin melihat mereka? Saya khawatir nona tidak kuat nantinya. Seperti yang nona cium sekarang, baunya akan semakin kuat dibawah sana. Nona tidak ingin merubah pikiran nona sekarang?" Tanyanya dengan raut khawatir
Lidya menoleh. Dia mengerti kekhawatiran yang dirasakan Hendrick padanya. Anak-anak seumurannya pasti tidak suka dan akan muntah jika mencium bau darah seperti ini.
Tapi ini Lidya. Salah satu perempuan yang berkontribusi besar saat penyiksaan musuhnya dahulu. Bau darah, Kepala buntung, tangan patah, organ berceceran, perut bolong bahkan tubuh meledak lalu hancur akibat bom pun sering dia lihat.
Namun tidak mungkin jika ia mengatakan itu pada Hendrick sekarang.
Lidya hanya tersenyum mencoba menenangkan kehawatiran Hendrick tentangnya.
"Tenang saja.. Sekarang Ella masih kuat kok. Nanti jika Ella tidak kuat lagi, Ella akan memberitahu paman Hendrick agar membantu Ella keluar. Jadi tidak perlu khawatir."
Hendrick membuang nafasnya pasrah "baiklah, jika Lady mempunyai keluhan, jangan ragu untuk memberitahu saya."
Lidya tersenyum lalu mengangguk.
Mereka jalan semakin dalam lalu 10 menit kemudian setelah melalui jalan yang menurun, berbelok, dan memutar, sampailah mereka pada ruang tahanan bawah tanah kediaman Velvord.
Bunyi pintu pembatas yang bergesekan mengalihkan semua perhatian di sana.
Lidya masuk diikuti Hendrick dan satu pengawal lainnya.
Beberapa koki dan pelayan nampak senang akan kedatangan Lidya. Mereka dengan tertatih berjalan mendekati jeruji besi lalu memanggil Lidya.
"NONA!! NONA SELAMATKAN KAMI!!"
"NONA, AMPUNI KAMI! KAMI MENGAKU SALAH!!"
"NONA!! TOLONG NONA!!"
"BERIKAN KAMI KESEMPATAN, NONA!!"
"NONA!!"
Lidya tidak menanggapi, dia mengedarkan matanya melihat semua orang yang dulu menghinanya, sekarang memohon belas kasih nya.
Lidya tersenyum sinis
Dahulu ketika Gricella berteriak memohon bantuan ketika disiksa oleh pelayan nya, tak satupun yang peduli. Menangis, memohon meminta makanan, tidak ada yang menanggapi. Mereka justru tertawa dan semakin menghinanya, bahkan tak tanggung-tanggung, kekerasan fisik pun dilakukan untuk menyiksa Gricella.
Dan sekarang, dengan tidak tau dirinya mereka masih memohon belas Kasih-Nya? Tanpa mengingat sikap mereka selama ini padanya? Apa mereka pikir kesalahan mereka bisa dimaafkan? Konyol bukan?
Ingin rasanya Lidya menampar mereka satu-persatu dan memaki mereka tepat di telinga mereka dengan teriakan,
BAJINGAN TAK TAU DIRI!!
Namun tentu saja Lidya hanya bisa membayangkan nya saja. Mana mau dia repot-repot melakukan itu. Hanya membuat tangannya kotor dan menghabiskan energinya saja.
"Nona, TOLONGGG!"
"Tolong nonaaaa."
"DIAM."
Perintah mutlak Hendrick mendiamkan semuanya. Mereka menelan ludah nya kasar melihat wajah dingin Hendrick.
"Jika kalian berani mengeluarkan suara sedikit saja, nasib kalian akan berakhir sama seperti 'nya." Tunjuk Hendrick pada sebuah jeruji yang lebih gelap dari yang lain.
Lidya mengernyit bingung memikirkan siapa yang ditahan disana. Tanpa aba-aba Lidya berjalan mendekat seraya menebak.
Kalau dipikir-pikir hanya ada satu orang yang belum Lidya lihat disini. Orang itu adalah...
"Oliver?"
'Dia' Membuka matanya perlahan melihat siapa orang didepannya yang berani memanggil namanya.
Binar cahaya terlihat dimatanya dan mencoba mendekat. Akan tetapi, tubuhnya yang diikat di kursi membuatnya tidak bisa melakukan apapun,
Dia meraung memanggil namanya
"E--ella... Tolong, tolong saya Ella!!"
Lidya, menatap datar Oliver didepan sana.
Tubuh yang kurus dan penuh luka, luka sayatan yang terbuka dibeberapa bagian tubuhnya, rambut kusut yang dipotong sembarangan, bibir kering dan berdarah, mata bengkak dan memerah.
Sepertinya dia mengalami hari yang cukup sulit selama 3 hari ini.
Tapi jujur saja, kondisinya jauh lebih baik dari yang Lidya bayangkan. Dia pikir akan melihat Oliver dengan kondisi badan tidak utuh atau tulang bengkok nantinya.
Ternyata kondisinya masih lebih baik dari penyiksaan yang dilakukannya dulu.
"Nona... "
Lidya kembali memusatkan perhatian nya pada Oliver di sana. Wajahnya terlihat sangat memohon, dan lihatlah matanya yang berair itu.
Menyedihkan
"Kumohon nona.. Selamatkan saya.. Saya.. Saya Minta maaf atas semua perlakuan saya. Saya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Saya mohon... Hiks saya belum makan selama tiga hari ini."
Air matanya mulai mengalir menambah kesan menyedihkan pada dirinya.
Hendrick pikir Lidya akan terpengaruh, namun dugaannya salah ketika mendengar decakan yang keluar dari mulutnya. Hendrick cukup terkejut mendengarnya 'nona.. Apakah dia.. ' batinnya terpotong
Seakan menyadari kecerobohannya, Lidya sontak menatap Hendrick cepat "Paman Hendrick, Ella merasa sedikit mual. Bisakah kita pergi sekarang?"
Hendrick tersentak, tanpa sadar bernafas lega.
"Baik Lady, biar saya antar keluar."
Hendrick tertawa kecil 'aku berfikir sedikit berlebihan. Mana mungkin nona seperti itu, dia tetaplah putri kecil manis milik tuan Duke.'
Sedangkan Lidya meringis dalam hati. Hampir saja dia dicurigai. Ini semua salah Oliver, karena ucapannya yang memuakkan tanpa sadar membuat Lidya berdecak mendengar bualannya.
Mungkin jika Gricella dalam posisi ini, bukan tidak mungkin anak itu akan memohon pada Duke melihat pelayan kesayangan nya dalam kondisi mengenaskan. Sayangnya, Oliver menyia-nyiakan majikan sebaik Gricella dan membuat dirinya menjadi majikan baru yang jahat tanpa pandang bulu.
Anggap saja Lidya sebagai perwakilan karma dari Tuhan untuknya.
Lidya keluar mengabaikan teriakan Oliver yang meminta bantuannya. Diakhir sebelum pintu tertutup, Lidya sempat mendengar jerit kesakitan dari Oliver.
Entah apa yang terjadi padanya, Lidya tidak peduli
...-oOo-...
Disisi Oliver sendiri kini tengah menangis meraung merasakan pedih di sekujur tubuhnya.
Pengawal disana kembali menempelkan logam panas pada punggungnya.
ShhHH
"AKHHHHH"
"T--TIDAKKKK, SAKITT INI SAKITTT!!"
"AKHHHH"
PLAKK
CTASSHH
"AKHH"
CTASSHH
"AKHHH"
BRUKKK
"Benar-benar berisik"
Ucap salah satu kesatria disana. Dia mengelap tangannya membersihkan darah yang menempel.
Kesatria lainnya berjongkok dan menepuk pipi Oliver kasar
Plak plak
"Bisakah kau menutup mulut busukmu ini? Selain bau, kau juga sangat berisik. Setidaknya diam lah dengan tenang agar kami bisa dengan mudah menyiksamu, semakin berisik kau disini semakin habis energimu."
Oliver menangis semakin keras mengabaikan ucapannya.
Kesatria itu berdecak kesal lalu melirik rekannya.
"Heh bagaimana cara membuat wanita ini diam? Rasanya gendangku ingin pecah mendengar suaranya." ucapnya
Rekannya yang sedang mencambuk pelayan lainnya pun berhenti sebentar. Lalu dengan entengnya berkata.
"Robek saja mulutnya, bila perlu potong lidahnya."
Kesatria lainnya pun mengangguk setuju
"Lakukan saja apa yang biasa kita lakukan pada musuh kita dimedan perang. Lagi pula Lady sudah berkunjung kesini. Yang mulia berkata jangan biarkan Lady melihat penyiksaan sadis kita padanya. Lady sudah kemari, jadi tidak perlu menahan diri." Sarannya yang diterima baik oleh rekan-rekannya
Kesatria itu mengangguk semangat seolah mendapatkan mainan baru.
"Ide bagus."
"Ma--mau apa kau!?" Jerit Oliver ketakutan.
Lalu tanpa menjawab apa-apa kesatria itu langsung bertindak.
"AKHHHHHH"
CREKKK
...-oOo-...
TAK
TAK
TAK
"Salam kepada yang mulia Duke Alverd Alexio de Velvord."
Alverd mengangguk membalas "bagaimana?"tanyanya
Hendrick menjawab "Lady Gricella masuk dan bertahan disini kurang lebih 20 menit. Lalu ketika melihat pelayannya memohon padanya, lady sepertinya tidak kuat dan meminta saya mengantarnya kembali." Ujar Hendrick menjelaskan.
Alverd diam lalu mengarahkan matanya pada Oliver yang saat ini sudah dalam kondisi sangat mengenaskan.
Matanya memicing "Apa dia dalam kondisi seperti ini sebelumnya?" Geram Alverd rendah.
Para kesatria menunduk takut dan salah satunya memilih menjawab dengan gugup "T--tidak, yang mulia. Sebelum Lady kesini, kami sudah mengatur agar bekas penyiksaan masih dalam batas wajar dimata anak-anak. Namun Lady mungkin terlalu baik hingga tidak tahan melihat penyiksaan yang dilakukan pada pelayannya hingga akhirnya memilih keluar karena khawatir akan terbujuk."
Alverd menatapnya dingin "apakah itu benar?" Tanyanya pada Hendrick.
Hendrick menunduk "itu benar, yang mulia."
Alverd diam lalu melihat Oliver sekilas "Aku sudah menemui kaisar sebelumnya, beliau menyetujui usulanku yang akan menghukum semua pelayan disini dan memecat mereka."
Tatapannya kembali pada Hendrick "besok siapkan altar berjalan yang muat untuk puluhan orang. Taruh para pelayan yang melanggar kontrak disana dengan nama-nama keluarga mereka lalu bawa mereka berkeliling. Biarkan saja mereka mati, karena rasa malu akan ditanggung keluarganya."
Alverd mendesis "aku tidak pernah membiarkan para tikus yang menghianatiku bertahan hidup. Berani melanggarnya sama saja dengan mati." lanjutnya dengan rendah
Padahal seperti yang dijelaskan diawal, peraturan hukum rajam keliling ini mengharuskan orang itu hidup agar merasakan rasanya dipermalukan oleh masyarakat sekitar. Namun berbeda dengan Alverd, dia telah menyiksa semuanya terlebih dahulu, baru melakukan hukuman itu agar tetap membuat mereka malu, lalu rasa malu itu dilanjutkan oleh keluarganya. Tentunya dia akan membuat mereka tidak akan bisa mati dengan cepat.
Hendrick yang akan mengatasi hal itu
Para kesatria semakin bergidik. Hendrick menelan paksa ludahnya ketika memikirkan semuanya.
Dengan ragu, Hendrick bertanya "Lalu bagaimana dengan pelayan lady?"
Mendengarnya membuat Alverd menatapnya dingin "Eksekusi dia di alun-alun kota tempat para penjahat dibunuh. Kemudian suruh para algojo membunuhnya tengah hari esok,"
Alverd berhenti sejenak sambil berfikir "jangan lupa, tutup tubuhnya dengan kain hitam. Aku akan membawa putriku melihatnya dieksekusi, jadi jangan biarkan dia melihat tubuh tak berbentuk pelayannya besok." Titahnya seraya menatap dingin tubuh ringkih Oliver.
"Kalian bebas menyiksanya setelah ini." lanjutnya
Satu kalimat ini membuat kesatria disana bersorak dalam hati. Mereka tidak akan ragu-ragu kalau begitu.
"Hendrick,"
"Saya, tuan."
"Kita kembali."
"Baik."
...-oOo-...
Esoknya
Tengah hari pun tiba, Alun-alun kota dipenuhi ribuan manusia. Mereka berdesak-desak tidak sabar saat melihat beberapa algojo menyeret seorang wanita yang tubuhnya dibungkus kain hitam.
Mereka bertanya-tanya dalam hati lalu banyak spekulasi bermunculan mencoba mengaitkan semuanya.
Ada apa dengan tubuhnya
Kenapa ditutupi
Siapa dia
Hey
Jangan dorong-dorong
Aku terjatuh
Kudengar dia pelayan pribadi anak pungut itu
Benarkah?
Kenapa berakhir seperti itu
Itu aku tidak tau
Hey kalian menonton banyak orang dirajam tidak?
Aku tidak sempat
Aku lihat
Aku baru bangun belum lama ini
Sayang sekali kalian melewatkannya
Kenapa?
Iya kenapa? Mereka hanya dihukum seperti biasa
Kudengar tidak begitu
Hey mereka bisa kita lempari sepuasnya sampai mati
Aku juga sempat mendengarnya
Kupikir itu bohongan
Kalian lihat disana, mereka sudah mati
Tubuhnya penuh dengan darah
Bukankah tidak boleh membunuh orang yang dijatuhi hukuman rajam?
Seharusnya begitu
Tapi ini Duke
Dia kudengar meminta secara pribadi pada kaisar kemarin
Eh, lihat itu! Itu Duke!
Lihat di sebelahnya! Apakah gadis itu putrinya
Ya dia Lady Gricella!
Dia lebih cantik dari yang kubayangkan
Eh benar juga
Cih percuma cantik
Otaknya saja bodoh
Ah benar juga
Dia gagal dalam ber-etika bangsawan
Seharusnya dia sama seperti kita
Dia hanya beruntung
Benar
Aku setuju
Keberuntungan seumur hidupnya sudah dipakai, karena itu dia bodoh
HAHAHAHA
AHAHAHA
HAHAHAH
Namun seketika semuanya senyap
....
H e n i n g ~
....
Mereka terdiam merinding melihat tatapan tajam Alverd yang menghunus mereka. Jujur mereka sangat takut dan mulai gemetaran merasakan aura suram keluar dari tubuhnya.
'JANGAN MAIN-MAIN ATAU KITA SEMUA AKAN MATI'
Batin semua orang ngeri.
Lidya menatap semua orang yang tiba-tiba menatapnya takut, ah, atau mungkin lebih tepatnya pada orang di sampingnya. Padahal sebelumnya mereka sangat berisik namun tiba-tiba hening setelah kedatangan mereka.
Lidya melihat Oliver yang duduk berlutut dengan kepala yang menunduk. Ia lantas menoleh pada Duke.
"Ayah, bolehkah aku kesana?" tanyanya penuh harap
Duke menunduk menatapnya lalu melirik Oliver sekilas. "Boleh, tapi kenapa?" balasnya
Lidya tersenyum lemah "aku hanya ingin berbicara sebentar dengannya." ucap Lidya dengan raut sedih
Duke mengangguk lalu memerintahkan dua kesatria untuk menemaninya.
*****
Lidya pov
Aku sudah berada di depan Oliver sekarang. Dia yang mungkin menyadari kehadiran ku pun mendongak menatapku. Sekilas aku melihat tatapan terkejutnya lalu digantikan dengan wajahnya yang berubah menjadi marah.
Kenapa?
Oliver terlihat kesulitan bicara
"..E-enapa au mening-al'an'u, mlenhek?!
(Kenapa kau meninggalkanku, brengs#k)"
Alisku bertaut bingung. Kenapa suaranya--- Aku baru sadar, ada bekas jahitan kasar dibagian pipi nya. Apa ini akibat penyiksaan kemarin?
"..tjanan a--alena au en'napat'an elatian uk au cjadi elu-ba'an'u!
(Jangan karena kau mendapatkan perhatian Duke kau jadi melupakanku!)" Aku melihat Oliver terlihat semakin marah ketika selesai bicara.
Sementara butuh beberapa detik untuk ku mengerti, namun sebuah pemikiran terlintas dibenakku.
Ah jadi begitu, karena kemarin ya.. Saat dia meminta bantuan tapi aku memilih pergi meninggalkan nya. Ya.. Bagaimana ya, jika aku tetap disana, aku tak bisa pastikan diriku tidak tertawa lalu ikut menghajar mu.
Masalahnya aku masih harus menjadi gadis baik dimata Duke dan yang lain. Jika aku disana dalam waktu lama, tidak bisa di pastikan aku tidak tertawa dan senang melihatmu disiksa.
Jika boleh memilih, lebih baik aku disana dan bukan menonton tapi menjadi salah satu orang yang menyiksamu sampai mampus.
Aku menunduk lalu menatapnya sedih
"Kenapa?" ucapku lirih namun masih bisa didengar beberapa orang disana
Olivia tersentak tidak mengerti "afha! (Apa!)"
"Kau jahat padaku? Kenapa baru sekarang kau ingin bermain denganku? Kenapa tidak dari lama?" Ucapku dengan raut wajah sedih
Oliver terdiam sebentar lalu berteriak marah.
"ALENA A'U EMEN'IMU!!
(KARENA AKU MEMBENCIMU!!)"
Aku pura-pura terkejut. Kesatria dibelakangku maju berniat melindungi ku. Aku mengangkat tanganku menghentikan mereka.
"AU! ANALAH ANA' ANG SLALU ELUNTUNG, IALANNN!! NAHIB'U HEHALUTSNA INAK EBIH AIK ALI'U!!
(KAU! ADALAH ANAK YANG TERLALU BERUNTUNG, SIALAN!! NASIBMU SEHARUSNYA TIDAK LEBIH BAIK DARIKU!!"
Aku memasang raut sedih mendengar nya.
"ANAHAL AU EHALUSTNA ANA NI NALANAN! ENAHA A'U ALUST ENALANIMU NAN AHAL UHULNA IHA' ELAST. A'U NAN EHALUTSNYA ANA NI OHIHI ITHU! UHANN AU!!
(PADAHAL KAU SEHARUSNYA ADA DI JALANAN! KENAPA AKU HARUS MELAYANIMU YANG ASAL USULNYA TIDAK JELAS. AKU YANG SEHARUSNYA ADA DI POSISI ITU! BUKAN KAU!!)"
Aku mencoba mengeluarkan air mataku agar terlihat semakin menyedihkan. Sialan! Ini cukup sulit kuakui
"Padahal Ella sudah menganggapmu sebagai kakak ku. Kenapa?"
"IAM HIALAN!! ANGAN ENIPU EMUA OLANG ENGAN AIL MATHA'U. MENINYI'AN!
(DIAM SIALAN!! JANGAN MENIPU SEMUA ORANG DENGAN AIR MATAMU! MENJIJIKKAN!)"
Haruskah aku melempari nya dengan kaca? Jelas dia yang menjijikkan, mencuci otak anak kecil untuk melakukan hal yang dia inginkan. Untuk apa? Untuk membuat anak itu jatuh lalu menertawakan nya.
Alasan simpelnya karena iri.
Mudah ditebak
Aku mendengar orang-orang yang berteriak tidak sabar dari arah belakangku. Rasanya ingin kusumpal mulut mereka dengan belati kesayangku. Ah, sekarang tidak ada ya.. Sepertinya aku harus mencari seorang pengrajin berbakat untuk membuat nya.
Cepat bunuh saja dia!!
Kenapa lama sekali!!
Aku ingin melihat kematian seseorang!
Jangan terlalu lama dasar anak sialan!!
Kalau ingin bicara di akhirat saja bersamanya.
Duke lalu menatap mereka semua dingin.
"Diam."
Satu kata, satu ucapan, satu kalimat dari Duke berhasil membuat mereka diam.
Alverd menyentuh pedang ditangannya lalu mengelus nya pelan "Perlukah kubuat tempat ini menjadi medan pertempuran? Kurasa kalian semua sangat ingin melihat pertumpahan darah disini. Aku bisa mengabulkannya jika kalian mau." Ucapnya tenang namun penuh akan ancaman
Bulu kuduk mereka berdiri. Suasana tiba-tiba berubah menjadi mencekam. Tidak main-main ucapannya kali ini.
Aku tersenyum melihat ayah angkat ku didunia ini. Patut diacungi jempol. Bahkan akupun berhasil dibuat merinding karenanya.
Aku lalu Kembali menatap Oliver yang masih menatapku marah.
"Maaf sepertinya ini akan menjadi kali terakhir kita bicara. Ella hanya berharap jika ada kehidupan selanjutnya, Oliver bisa menjalani hidup yang panjang, tidak seperti sekarang."
"ANGANN, A'U ELUM ELEHAI ENGAN'U!
(JANGAN, AKU BELUM SELESAI DENGANMU!!!)"
Aku tertawa kecil dan kupastikan hanya Oliver yang melihatnya. Lihat, dia molotot dan terlihat semakin marah. Aku mencoba mendekatkan wajahku lalu ku bisikkan sesuatu padanya.
"Siapa bilang urusan kita sudah selesai. Aku bahkan berdoa agar kita dipertemukan lagi di akhirat sana, karena aku ingin menghajar mu secara pribadi dan bukan melalui orang lain."
Aku sedikit menjauhkan wajahku darinya lalu menatap tepat dimatanya "kau tau, aku tidak mungkin puas jika hanya melihatmu berakhir seperti ini. Aku sedikit pendendam orangnya, jadi jangan salahkan aku." Seringai ku muncul, tipis, sangat tipis.
Aku menjauh lalu bangkit "kamu yang memulai nya, jadi Ella tidak bisa melakukan apa-apa saat ini. Ayah bahkan tidak akan mengabulkan nya jika Ella meminta membebaskanmu sekarang." Lidya memasang raut yang teramat sedih dengan tatapan penuh penyesalan "Jadi Ella hanya berharap kita bisa bertemu lagi diakhirat nanti agar bisa memperbaiki semuanya, ya 'kan?" Ucapku dengan senyuman.
Aku sangat ingin tertawa saat melihat wajah pucat nya. Hahaha.. Aku penasaran apa yang membuatnya sekaget itu.
Tak menunggu lama aku segera beranjak turun dari sana mendekati ayah angkat ku yang senantiasa memperhatikan ku dari sana. Kesatria di belakangku pun kembali di posisinya ketika aku kembali.
Tiba-tiba orang yang kupanggil ayah ini mengelus kepalaku, aku sedikit terkejut lalu mendongak menatapnya.
"Kau sudah melakukan yang terbaik, jadi tenanglah." Ucapnya dengan senyum yang teramat tipis "Aku berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama dan akan segera mencarikanmu pelayan yang jauh lebih baik darinya." ujarnya penuh keseriusan
Apa dia mengira aku sedih karena Oliver?
Yah.. Sejujurnya pemikirannya tidak salah. Jika ini Gricella, sudah pasti saat ini dia menangis sesenggukan menyaksikan pelayan kesayangannya akan dibunuh.
Padahal jalang itu sudah menyiksanya selama ini.
Sepertinya aku sedikit menyetujui orang-orang yang mengatainya bodoh saat mengingatnya. Karena kenyataannya dia memang bodoh.
Aku tersenyum membalas Duke yang sejak tadi menatapku hangat, senyum tipis masih tersungging di bibirnya.
"Apapun yang ayah berikan pada ku, pasti itu yang terbaik. Jadi Ella akan menerimanya." Ucapku dengan senyuman mencoba menenangkan Alverd yang mungkin terlihat khawatir akan keadaannya sekarang
Duke terdiam sejenak menatapku, lalu dia kembali mengusap kepalaku.
Sial, rambut yang sudah susah payah kutata sedemikian rupa hancur lagi karena ulahnya.
Suatu saat akan kubalas kau, tunggu saja.
Aku lalu melihat Oliver yang kembali diseret mendekati tempat ekskusi itu. Aku baru menyadari sekarang, rasanya Oliver tidak pernah mencoba menggerakan tubuhnya. Bahkan saat tubuhnya diseret pun dia tidak memberontak. Sedikit berbeda dengan karakter nya selama ini.
Benar, setelah dipikir-pikir ada apa dengan tubuhnya. Kenapa harus ditutup. Aku jadi tidak bisa melihat apa yang terjadi karena kain itu.
Aku tersentak baru menyadari sesuatu. Kutolehkan wajahku padanya, Duke masih terlihat datar menatap Oliver disana, tapi aku menyadari ada tatapan puas pada wajahnya.
Apa pria ini sengaja menutupinya karena khawatir akan kesehatan mental ku?
Memang, Gricella masih cukup kecil, namun bukan berarti di umurnya yang sekarang 13 tahun dia tidak bisa melihat hal ini. Aku penasaran, jika dia se-pengertian ini, kenapa tidak dari awal ketika Gricella masih ditubuhnya? Dan malah baru berubah ketika Gricella sudah pergi dan digantikan olehku.
Aku tidak habis pikir dan tidak mengerti dengan jalan pikir orang ini.
Oliver sudah dalam posisi siap dipenggal. Suara semua orang mulai terdengar menyerukan namanya.
Bunuh dia!!
Bunuh!!
Bunuh!!
Bunuh!
Bunuh!
Bunuh;
Meski aku tidak tau apa kesalahannya, tapi tetap bunuh dia
Kuyakin dia mencari masalah pada Duke
Cepat bunuh dia!!
Aku tidak sabar melihatnya mati
Bunuh!
Bunuh!
Bunuh!
Bunuh!
Para algojo menatap Duke terlebih dahulu meminta persetujuan. Sebelum mengizinkan, Alverd menatapku dulu.
"Jika kau tidak kuat, kau boleh menutup matamu."
Aku terhenyak, lalu ku paksakan kepalaku mengangguk.
Kulihat Duke tersenyum, tunggu, tersenyum?!!
Astaga tampannya!!!
Alverd lalu mengangguk menatap para algojo.
Oliver menutup matanya memasrahkan semuanya, lalu seketika....
TRINGG....................
.
.
.
.
.
.
.
.
.
CTASSSS
Sebuah kepala jatuh menggelinding kearah kerumunan penonton. Seketika kerumununan itu pecah karena teriakan jijik. Wajah mereka takut dan ngeri, tak sedikit pula yang berusaha menahan muntahan mereka.
Tanpa sadar aku mendengus menyadarinya.
Lalu tiba-tiba..
Sringgg
.
.
.
Jdarrr!!
"KYAAAAAAAA"
"ARGGHHHH MATAKUU!!!"
"Apa! Apa itu tadii!!"
"Bajuku penuh dengan darah!!"
Aku melongo melihatnya
Itu, itu, ITU SIHIRRR?!!!
Aku menatap kagum pria disebelahku. Dia menatap mereka dingin lalu berkata dengan suara rendah.
"Jika sedikit saja aku mendengar suara kalian, kupastikan kepala kalian berakhir sama sepertinya." Ucapnya penuh penekanan
Astaga...
.
.
Bolehkah aku jatuh cinta dengannya??
.
.
Aku serius bertanya.
.
.
.
To be Continued_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
zahra ou
boleh pakek banget, sjukurnya aq se7. drpda sma putra mahkota
2024-09-26
0
An
muak ih lambat ngasih hukuman jg segala di Ella ngomong dulu la
2024-08-26
1
Dede Mila
semangat
2024-08-20
0