Lila membuka pintu, wajah terpukau Barbara langsung menyambutnya. Mulut Barbara terbuka lebar, ia merasa rendah diri melihat bagaimana cantiknya Lila. Secara tak langsung, Barbara langsung membandingkan dirinya meskipun ia sudah memakai dress terbaik yang ia miliki dan berdandan ke salon.
"Ya Tuhan, kau cantik sekali!" Pujian tak tanggung-tanggung keluar dari mulut Barbara. Tentu itu adalah pujian yang tulus dan jujur melihat berapa cantiknya Lila sekarang.
Lila tersenyum kikuk, ia sudah biasa mendengar pujian seperti itu dari orang lain. Namun dari salah seorang teman lama, tentu itu membuatnya sedikit tidak nyaman.
"Kita pergi sekarang?" Tanya Lila agar kecanggungan ini bisa segera berakhir. Ia berjalan melewati Barbara yang masih saja terpukau.
"Hei, Lila!"
"Apa?"
"Berapa ukuran bramu?"
"Kenapa kau tanya itu?"
"Kerena aku iri sekali dengan punyamu!" Ucapnya. Matanya tertuju pada belahan dada Lila yang terlihat sangat menggoda dari balik dressnya.
Lila tersenyum, ia tak tahu bahwa ada wanita yang merasa iri dengan ukuran payudara yang ia miliki disaat ia merasa risih karena ukurannya yang di atas rata-rata.
"Apa aku harus menjawabnya?" Ucapnya dengan nada bercanda.
"Hei ayolah, Lila. Apa itu asli? Atau diperbesar?"
"Tentu saja asli. Untuk apa aku memperbesarnya?"
"Kalau begitu berapa ukurannya?"
"Kenapa kau sangat penasaran?"
"Tentu saja! Kalau ukuranku 36A!"
"Aku tidak tanya!"
"Hahaha..." Barbara tertawa membuat Lila ikut tertawa. Mereka berjalan di pinggir jalan sembari menunggu taksi yang lewat.
"Jika aku bilang, pasti kau tidak akan percaya!"
"Memangnya berapa?"
"34F!"
"Apa? Oh ya Tuhan, ternyata lebih besar dari dugaanku! Kau bisa menggoda mata para pria dengan dress yang kau kenakan!"
"Benarkah? Tapi aku tidak mau menggoda siapapun. Aku hanya ingin datang sebentar, kemudian pulang jam sembilan."
"Jam sembilan? Yang benar saja?"
"Aku tidak kenal siapapun disana!"
"Tidak kenal siapapun? Jadi Jake, Pierre, Aiden dan Henry bagaimana? Mereka mungkin akan datang. Bagaimana bisa kau bilang tidak kena dengan mereka?"
Lila terdiam sejenak, jika mengingat mereka berempat justru membuatnya semakin tidak ingin datang ke acara reuni. Memikirkan bagaimana reaksi mereka saat melihat penampilannya yang sangat 'feminim' seperti ini, ia mungkin tidak akan bisa tidur selama tiga hari karena harus menanggung malu.
Sebuah taksi lewat di depan mereka, Barbara langsung melambaikan tangan agar taksi tersebut berhenti. Setelah memberitahu alamat yang mereka tujuan, taksi melaju dengan kecepatan normal menuju salah satu hotel bintang lima termegah di kota ini.
Di perjalanan, Lila tak berhenti menelan ludah. Matanya tak lepas dari kaca mobil yang menangkap pemandangan jalan yang dulu biasa ia lewati hampir setiap hari. Ada kerinduan yang aneh dan itu sulit untuk dimengerti olehnya.
Saat taksi sampai di depan gedung hotel, jantungnya berdetak semakin cepat. Tubuhnya gemetar, ia berusaha menyembunyikan wajahnya dengan menunduk. Di sampingnya, Barbara menggandeng mesra tangannya dengan penuh percaya diri.
Setelah memasuki aula tempat reuni diselenggarakan, suasana reuni yang sebenarnya mulai terasa. Puluhan orang memenuhi ruangan, ada yang duduk sambil menikmati hidangan yang didedikasikan, ada yang mengobrol sambil memamerkan kekayaan, ada pula yang saling bercanda mengenang masa-masa sekolah.
Lila tak tahu di mana keempat temannya itu atau bisa dibilang sebagai mantan temannya. Ia berharap tidak bertemu mereka sekarang karena ia masih belum siap.
"Ya ampun, ternyata ramai sekali yang datang. Di mana murid-murid kelas kita dulu? Oh, mereka di sebelah sana! Lila, ayo!" Ujar Barbara sembari menarik tangannya.
"Ah t-tidak, Barbara! A-aku di sini saja-"
"Apa yang kau katakan? Mereka pasti senang bertemu denganmu!"
"Aku tidak bersama kalian sampai kelulusan, karena itu aku tidak pantas untuk-"
"Apa yang kau katakan? Lila, ayolah! Oh itu Pierre'kan? Pierre..!" Barbara yang sembrono langsung memanggil Pierre yang berdiri beberapa langkah di hadapan mereka sambil memegang segelas anggur.
"Ya Tuhan, mati aku!" Batin Lila. Ia benar-benar ketakutan sampai ingin sekali kabur dari tempat ini. Namun Barbara yang bertindak semaunya sendiri langsung menarik paksa tangannya menghampiri Pierre dan teman-teman mereka yang sudah berkumpul.
Pierre menoleh saat melihat Barbara melambaikan tangan kearahnya, di sampingnya, Aiden juga ikut menoleh sambil memperhatikan dia wanita yang berjalan menghampiri mereka dengan reaksi yang berbeda.
"Hai Pierre, hai Aiden? Kalian berdua masih ingat aku, iyakan?" Tanya Barbara dengan penuh percaya diri. Dia tersenyum menggoda kepada dua pria yang terlihat bingung dan saling menatap satu sama lain.
"Kau siapa ya? Apa kami mengenalmu?" Tanya Aiden. Mendengar suara berat Aiden, Lila bergidik. Keringat dingin mulai mengalir membasahi tubuhnya. Dan seperti orang bodoh, ia enggan mengangkat wajahnya.
"K-kalian tidak ingat aku? Aku Barbara Atkins, saat kelas 11 kita pernah satu kelompok saat berkemah bersama Lila." Ucapnya sambil tersenyum lebar.
Pierre tersenyum, ia tak ingin mempersulit hal ini dan menganggap bahwa ia masih mengingat Barbara Atkins Atkinson. Sementara Aiden, ia melempar tatapan tajam bukan hanya pada Barbara, tapi juga pada Lila yang masih terus menunduk ketakutan.
"Aku mengingatmu. Bagaimana kabarmu, Barbara?" Tanya Pierre dengan ramah. Seperti gayung bersambut, Barbara langsung merespon pertanyaan pria tampan yang berdiri di hadapannya ini.
"Kabarku baik. Syukurlah kau masih mengingatku. Kalau begitu, kalian berdua juga pasti masih mengingat Lila?"
"Lila? Apa maksudmu?" Tanya Aiden dengan sinis. Nada bicaranya terdengar sangat dingin dan secangkir tak langsung mengundang orang-orang di sekitar mereka memperhatikan mereka.
Dua orang pria mengenakan setelan jas rapi datang menghampiri Aiden dan Pierre setelah mendengar nama Lila disebut-disebut.
"Ada apa ini?" Tanya pria bermata biru dengan rambut pirang yang menawan. Tiga menit yang lalu, pria ini dikelilingi oleh banyak orang, bukan hanya wanita, namun juga pria. Jelas terlihat bahwa dia adalah orang yang sangat penting dan mencolok di sini. Sementara pria berambut coklat gelap dengan mata coklat yang berdiri di sampingnya, terlihat lebih tenang dan bersahaja.
Namun mereka berdua memiliki ketertarikan khusus saat ada orang lain yang membahas tentang Lila meski hanya menyebut namanya.
"Tidak ada apa-apa, Henry!" Ujar Pierre. Namun Henry tidak langsung berpikir demikian. Dia langsung menunjukkan arogansinya.
"Apa urusanmu dengan Lila?" Tanya Henry. Tatapan matanya jauh lebih dingin dan menyeramkan dari pada Aiden. Membuat Barbara yang tak tahu apa kesalahannya hanya bisa terdiam membeku.
"A-aku hanya ingin bilang kalau-"
"Aku permisi!" Tepat sebelum Barbara menyelesaikan kalimatnya. Lila buru-buru beranjak sebelum ketahuan bahwa dia ada di sini.
"Tunggu...!" Seru Henry memanggilnya. Lila langsung menghentikan langkahnya. Tubuhnya gemetar, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan dan apakah memang begini reaksi yang wajar saat bertemu kembali dengan teman lama?
"Siapa kau?" Tanya Henry. Ia mengernyitkan dahinya seolah mencurigai sesuatu. Sebagai seorang CEO dari perusahaan ternama, ia berpikir bahwa ia punya kuasa untuk memanggil seseorang sesuka hatinya.
Lila menghentikan langkahnya, dengan gugup ia membalikkan tubuhnya dan perlahan mengangkat wajahnya disaat hampir semua orang di ruangan ini memperhatikannya.
Saat wajahnya terlihat dengan jelas, mata Henry, Jacob, Pierre dan Aiden terbelalak. Mereka tercengang, tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Sementara itu Lila yang sudah tertangkap basah tahu bahwa tak ada yang bisa ia lakukan selain mengucapkan salam dengan gugup.
"Hai semuanya, apa kabar?"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
Fadilah Azzahra
wow.keren, thor
2024-10-08
2