Yuda sibuk menenangkan Gita – putrinya yang berumur sepuluh tahun. Menangis menginginkan mainan yang dipegang sepupunya. Hal yang biasa terjadi manakala mereka berkunjung dan bersilaturahmi ke keluarga besar sang istri. Asih -- istrinya yang memang berasal dari keluarga berada, sedangkan dia bukan siapa-siapa. Hinaan seakan sudah menjadi jamuan yang dipersembahkan untuk keluarga kecilnya.
“Bapak, Gita mau itu,” rengek Gita lagi menunjuk sepupunya yang memegang boneka dan sepupu lainnya memegang coklat.
“Iya, sayang. Nanti kita beli, Gita jangan nangis ya.”
Usapan di kepala Gita, berharap putrinya tidak merajuk dan menangis lagi. Sebenarnya Gita bukan anak yang rewel dan kerap merajuk menginginkan sesuatu, tapi kalau dikompori seperti ini ya muncul juga keinginan memiliki hal yang ia lihat.
Tidak masalah kalau dirinya dihina karena hidupnya yang biasa bahkan cenderung susah. Namun, tidak rela kalau sampai anak dan istrinya ikut terhina.
“Coba dulu kamu terima pinangan anak pak lurah desa sebelah, nggak akan kamu kayak gini. Suamimu itu sudah kere, tapi belagu. Istri bisa cari uang, tapi dilarang.”
“Iya, sekarang lihat. Anak mau jajan dan mainan aja nggak sanggup. Lihat tampang kamu Asih, sudah lecek, lusuh kayak nggak keurus.”
Yuda menahan geram mendengar percakapan dari dalam rumah, isinya hinaan dan menyudutkan sang istri. Rasanya ingin sekali dia segera menarik Asih dari sana dan membawanya pulang, tapi tidak ingin menunjukan emosi dan kemarahan di depan Gita. Lagi pula Asih masih butuh keluarganya.
Fokus mendengarkan percakapan, Yuda tidak menyadari Gita terjatuh karena didorong oleh sepupunya dan menangis.
“Dia dorong aku, Pak.”
“Enak aja, nggak bener itu. Justru Gita mau rebut coklat aku.”
“Iya, pencuri itu namanya.”
Yuda berjongkok mengusap lutut Gita yang kotor juga menghapus air mata putrinya.
“Aku nggak gitu, pak. Aku mau coklat dia, tapi nggak mencuri.”
“Bapak tahu, bapak tau, sayang.”
Sepupu-sepupu Gita berteriak mengejek kalau Gita pencuri membuat Asih dan kerabatnya keluar karena mendengar ribut-ribut.
“Gita, kenapa sayang?” tanya Asih menghampiri lalu memeluk putrinya yang masih terisak.
“Gita pencuri.”
“Iya, dia pencuri.”
“Ya ampun Asih, bukannya bikin senang anak istri malah minta anak kalian mencuri,” ujar kakak Asih yang tidak tahu kejadian sebenarnya.
Asih menatap suaminya.
“Kita pulang. Sudah cukup hinaan mereka. Aku janji akan bawa kamu kembali ke rumah ini dan tidak akan mendapat hinaan mereka.” Yuda menggandeng tangan Gita dan merangkul bahu istrinya.
“Halah, gayamu Yud. Besok juga Asih disini untuk pinjam uang.”
“Ibu,” panggil Ikbal salah satu sepupu Gitu. “Gita tidak mencuri, mereka-mereka saja yang jahat.” Ia menunjuk adik dan sepupunya yang lain.
***
Sampai di rumah Asih tidak menanyakan kebenaran insiden tadi pada suaminya, ia tahu tidak mungkin Gita mencuri. Yuda terlihat sedang merenung di beranda rumah, sebagai istri yang baik seharusnya ia bantu menentramkan hati dan perasaan sang suami bukan menambah emosi dengan menanyakan kebenaran seakan tidak mempercayai sang suami.
Gita sudah tertidur, Asih pun hendak menuju dapur. Memasak apa yang bisa keluarganya santap, meski hanya seadanya. Terdengar suara perdebatan, Asih yang baru meraih panci pun kembali menaruhnya dan gegas keluar.
“Mas,” panggilnya melihat sang suami kalah debat dengan tiga orang pria yang datang.
“Asih, masuk!”
“Ck. Ini istrimu toh? Cantik, kenapa nggak disuruh ngel0nte aja bisa bantu perekonomian keluarga.”
“Iya, aku juga mau jadi pelanggannya.”
“Diam!” teriak Yuda. “Pergi kalian, aku akan bayar hutangku lengkap dengan bunganya bulan depan. Aku pastikan itu!”
“Halah, dari mana Yud. Ngomong kayak orang bener aja, kalau nggak sanggup aku terima cicilan dibayar oleh istrimu,” ujar pria tua dengan perut gendut dan kumis melintang di atas bibirnya. Pria itu terkenal sebagai lintah darat di kampung tersebut. “Kalian mau juga toh?” tanyanya pada kedua kacung sekaligus bodyguard.
“Maulah.”
Asih yang takut mendengar usulan tadi, langsung bersembunyi di belakang tubuh Yuda dan mencengkram erat kaos yang dikenakan pria itu.
Sedangkan Yuda yang emosi langsung mengangkat kursi kayu di sebelahnya akan dipukulkan ke arah si lintah darat.
“Mas, jangan!” tahan Asih.
Pria bertubuh gempal merangsek mundur diikuti oleh dua kacungnya yang mulai ketakutan.
“Pergi, aku bilang pergi. Bulan depan aku akan bayar hutang-hutangku,” teriak Yuda seakan kesetanan dan terus mengayun kursi yang dipegang ketiga pria agar pergi dari tempat tinggalnya.
“Gila kamu Yud. Awas saja kalau bulan depan tidak bisa bayar, aku bawa istrimu!”
Brak.
Kursi tadi dilempar Yuda setelah ketiga pria tak diundang sudah tidak terlihat di area rumahnya. Masih dengan nafas terengah ia menoleh ke arah Asih yang masih ketakutan.
“Jangan takut, aku yang akan cari jalan keluarnya dan jangan minta aku turuti usul kamu.” Yuda pun meninggalkan beranda. Asih sudah tahu kemana tujuannya, pasti halaman belakang.
Tempat tinggal yang mereka tempati saat ini adalah peninggalan orangtua Yuda, keluarga pendatang membangun rumah di lahan yang cukup luas. Sayangnya usaha toko kelontong mereka bangkrut dan meninggalkan hutang. Asih pernah mengusulkan untuk menjual aset yang dimiliki Yuda lalu pindah ke tanah kelahiran suaminya, memulai semua dari awal. Namun, ide tersebut ditentang oleh Yuda.
Sedangkan di belakang rumah, Yuda duduk di atas bale tepat di bawah pohon besar. Membuka ponselnya berharap ada kawan yang menjawab pertanyaannya tentang lowongan pekerjaan. Fokusnya tertuju pada notifikasi pesan dari media sosial.
[Mengatasi masalah keuangan dengan cepat, tanpa ada capek banting tulang. Bukan pencuri atau perampok, usaha yang tidak terlihat tapi menghasilkan kekayaan]
“Usaha apa bikin kaya, tapi nggak capek,” gumam Yuda.
Penasaran, ia pun mengklik pesan iklan tersebut.
“Hah, ini sih … pesugihan.”
Meski takut dan tidak akan melakukan hal itu, tapi Yuda tetap membaca kelanjutan pesan tadi. Sudah banyak diketahui kalau pesugihan membutuhkan tumbal, biasanya akan mencelakai keluarga. Mana mungkin Yuda akan mengorbankan keluarganya.
“Keluarga tidak akan menjadi tumbal,” ujarnya lirih dan semakin tertarik mencari tahu informasi tersebut.
Entah jam berapa saat Yuda tiba di sebuah rumah jauh dari perkampungan. Yang jelas sudah cukup malam, sepi dan … agak seram. Rumah yang dia tuju agak pelosok, melewati rimbunan pohon bambu dan mungkin saja tidak jauh dari hutan.
Semalaman berfikir, ditambah hari ini keyakinannya kembali diuji. Gita jatuh saat bermain, luka di kening dan di lengan bahkan sampai harus dijahit dan menebus obat. Sisa uangnya tidak cukup, meski sudah melarang nyatanya Asih kembali meminta bantuan keluarga untuk biaya pengobatan Gita. Yuda selama ini yakin kalau Tuhannya ada, tapi tidak pernah menunjukan keberadaannya saat ia susah.
Hatinya semakin sakit melihat anak dan istri menikmati makan siang hanya nasi saja, itupun sisa tadi pagi. Menjelang maghrib ia meninggalkan rumah, minta Asih dan Gita tetap di rumah sampai ia kembali. Menyewa motor dari tetangga satu kampung meski belum dibayar, Yuda menuju alamat yang pernah dia dengar bisa memberikan kekayaan.
Merasa pilihannya tidak salah. Ratmi teman sekolahnya sudah sukses di kota, bahkan kalau pulang kampung pakai mobil mewah dan perhiasan yang membuat penampilannya mentereng. Yang ia tahu Ratmi memakai penglaris untuk dagangannya. Manto, tetangga kampung. Mendadak kaya raya dan sekarang sudah pindah ke kota. Usahanya maju pesat dan dari informasi yang dia dengar, Manto menggunakan pesugihan di salah satu gunung.
“Setelah aku bisa membahagiakan keluargaku, aku akan berhenti,” gumam Yuda setelah menghentikan motor lalu mendorongnya. Ia pernah dengar tidak boleh membuat kebisingan di tempat yang tidak biasa. Mana tahu tempat ini termasuk wingit.
Rumah yang ia tuju sudah terlihat. Tidak perlu takut salah alamat, karena hanya itu rumah satu-satunya di sini.
Srek.
Langkah Yuda terhenti, sambil terengah karena mendorong motor membutuhkan energi, suara tadi seperti suara langka di belakangnya. Mendadak tengkuknya dingin dan merinding. Mana tahu ada orang dibelakangnya, ia bisa sama-sama melewati rimbunnya pohon di depan yang terasa menyeramkan.
Perlahan ia menoleh dan … sepi. Hanya suara angin dan daun bambu yang berges3kan. Gegas ia kembali melangkah sambil mendorong motornya. Suasana gelap, hanya ada penerangan dari rumah yang dia tuju, itu pun lampu temaram dan cahaya bulan. Berharap langit tidak mendung sehingga awan tidak menutupi rembulan.
Srek srek
Suara langkah kaki kembali terdengar, Yuda gegas menoleh. Lagi-lagi tidak ada siapapun atau apapun. Detak jantungnya mulai berirama tidak biasa, pikirannya mulai bisa menduga kalau suara itu bukan … manusia.
“Si-siapa?”
Hening, hanya ada suara alam.
“Maaf, saya hanya mau lewat.” Yuda berkata seakan ia minta izin dengan seseorang lalu kembali melanjutkan langkahnya.
Menatap ke atas rimbunan pohon yang akan ia lewati, ada batang pohon terjulur kokoh di atas jalan setapak.
“Demi Asih dan Gita, kamu kuat Yuda. Jangan takut dan jangan lihat ke atas,” gumam Yuda menguatkan dirinya.
Suara gemerisik daun yang terkena angin juga langkah kakinya sendiri. Tidak berani menatap ke atas, yang ia tahu rejeki akan turun dari langit tapi tidak nyangkut di pohon. Mulutnya komat-kamit, tapi ia sendiri bingung bacaan apa yang dilafalkan sangking gugup dan takut.
Mendadak motor yang tidak ia kendarai terasa berat, padahal jenis motor bebek keluaran lama.
“Ini kenapa sih? Apa aku hidupkan saja, tapi nanti boros bensin,” ujar Yuda masih berusaha mendorong motor dengan memegang kedua stang.
Terdengar suara tawa wanita, lebih tepatnya mengikik. Suaranya berasal dari atas, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Yuda tidak berani menatap malah menunduk, dahinya berkeringat jantungnya berdetak sangat cepat. jelas itu bukan perempuan biasa, entah perempuan luar biasa macam mana dimalam begini jauh dari keramaian malah tertawa.
Hendak kembali melanjutkan perjalanannya, tapi motornya masih terasa berat. Tidak mungkin ia tinggal, bayar sewa saja belum apalagi kalau hilang. Dari mana dia bisa mengganti.
“Motor, kamu kenapa berat sekali.”
Terdengar lagi suara tawa mengikik, kali ini lebih panjang.
“Berat ya, kangmas.”
“Iya,” sahut Yuda. “Astaga, kenapa aku jawab.” Yuda merasa tengkuknya ikut berat dan bulu kuduk merinding.
“Bawannya yang bikin berat, kangmas.” Suara wanita itu lagi dilanjutkan dengan tawa mengikik.
“Bawaan,” gumam Yuda. Ia merasa tidak membawa apapun selain diri sendiri. Perlahan ia menoleh dan ….
“Aaaaa.” Yuda berteriak dan terjatuh duduk menatap sosok yang duduk di motornya. Sosok pocong yang bagian kepalanya bergoyang pelan ke kiri dan kanan. Belum lagi suara mengikik tepat di atasnya. Membuat tubuh Yuda sangat berat dan kaku. Mulutnya pun tidak bisa mengucap, persis seperti orang ketindihan.
Hanya pandangan matanya yang bisa menatap sosok pocong yang masih berada di atas motor lalu menatap ke atas di mana ada sosok wanita duduk berayun di atas dahan sambil memainkan rambutnya. Mendadak tubuhnya lemas, detak jantung masih berdebar bahkan keringat semakin banyak seakan ia habis maraton. Mulutnya hanya sanggup bergumam tidak jelas, perlahan penglihatannya kabur dan gelap.
***
Yuda mengerang pelan dan mengerjapkan matanya. Cahaya lampu temaram di tengah ruangan membuatnya segera beranjak duduk. Entah ia berada di mana dan rumah siapa, seingatnya tadi ia sedang mendorong motor.
“Hah, motorku ….”
“Aman.”
Yuda menoleh, seorang pria tua duduk dengan tangannya menaburkan sesuatu di atas bara dalam gerabah. Aroma tidak biasa langsung menguar dan Yuda tahu itu … kemenyan.
“Motormu aman, ada di depan rumah. Kamu berani sampai sini artinya sudah menggadaikan hidup dan keyakinan kamu, tapi sama kuntilanak dan pocong aja pingsan.”
Yuda yang masih berbaring di atas bale, gegas turun dan ikut duduk berhadapan dengan bapak tua itu hanya terhalang sebuah meja kecil.
“Maaf mbah.” Pria tua di hadapannya pasti Mbah Kiyut, pria yang bisa memberikan jalan pintas mendapatkan banyak uang tanpa capek-capek bekerja.
“Kamu yakin datang kemari akan menyelesaikan persoalan hidupmu?”
“Yakin mbah,” jawab Yuda sambil menunduk. Tidak berani menatap wajah pria di hadapannya, apalagi sekeliling ruangan. Banyak benda aneh dan berhubungan dengan dunia perdukunan.
“Siap dengan segala konsekuensinya?” tanya Mbah Kiyut lagi.
Kali ini Yuda berani menatap pria tua di hadapannya. “Tapi keluarga saya tidak akan jadi tumbal ‘kan?”
“Ck,kamu ini belum apa-apa sudah tawar menawar. Keluarga kamu tidak akan menjadi tumbal, asal kamu siap dengan persyaratannya. Melanggar, kamu yang akan binasa.”
“Persyaratannya apa saja mbah?”
Mbah Kiyut memejamkan mata dan melafazkan entah doa apa, dalam bahasa yang tidak Yuda mengerti. Tiba-tiba pria itu terbelalak membuat Yuda terkejut dan mengusap dadanya.
“Dengarkan aku baik-baik, syarat yang harus kamu siapkan. Jangan disela dan jangan bertanya sampai aku selesai menjelaskan.
Yuda menganggukan kepala lalu menunduk. Mendengarkan dengan baik persyaratan yang disampaikan oleh Mbak Kiyut.
“Paham kamu?”
“Jenazah mbah?” tanya Yuda.
“Kamu tidak ingin keluarga menjadi tumbal, penggantinya adalah jenazah. Jenazah yang belum dua puluh empat jam dimakamkan. Setelah melakukan ritual selama tujuh malam, makamkan lagi jenazah itu di sekitar tempat tinggalmu dan rawat makam-makam itu seakan harta paling berharga. Pundi-pundi uang akan mengalir saat ritual dilaksanakan. Semakin mengenaskan cara meninggal dari si jenazah, semakin menguntungkan dirimu. Ingat, jangan ambil jenazah yang belum dimakamkan atau dimakamkan lebih dari dua puluh empat jam.”
Yuda menelan salivanya, masih mendengarkan penjelasan dari Mbak Kiyut. Bagaimana ia bisa mendapatkan jenazah, apa ia harus mencuri dari pemakaman. Tidak ingin keluarga menjadi korban, ia harus ganti dengan cara lain … tumbal jenazah.
Tiba di rumah, Yuda langsung mempersiapkan sebuah ruangan yang tadinya dijadikan gudang untuk dagangan. Ruangan yang akan dijadikan sebagai tempat ritual. Asih yang bingung dan pertanyaan pun belum mendapatkan jawaban yang pasti. Semua perlengkapan ritual juga sudah Yuda siapkan termasuk meja untuk persembahan dan dipan untuk jenazah sebagai tumbal.
“Mas,” panggil Asih mengetuk pintu ruangan.
Yuda pun keluar dan kembali mengunci ruangan tersebut, membuat Asih semakin heran.
“Mas ….”
“Jangan banyak tanya, aku lakukan ini untuk kamu dan Gita. Ke depannya hanya aku yang boleh masuk ke ruangan ini.”
“Mas, jangan aneh-aneh. Kita bisa mulai semua dari awal, kita tinggalkan kampung ini.”
“Tidak bisa Asih, ini tanah dan rumah peninggalan orang tuaku. Aku harus menjaganya. Tenang saja, apa yang akan aku lakukan ini untuk kalian. Tidak perlu banyak tanya dan tunggu saja hasilnya.”
Asih yang memang kurang kuat pondasi agamanya pun hanya bisa pasrah, baginya titah suami itu bagai titah raja. Tidak lama Yuda pun bersiap pergi, ia harus mencari tumbalnya.
“Asih, ingat pesanku. Jangan banyak tanya dan jauhi ruangan itu. Apa yang aku lakukan murni untuk kebahagiaan keluarga kecil kita.”
Kali ini Yuda pergi membawa gerobak dorong yang dulu digunakan untuk membawa stok barang ke toko atau mengantar barang dengan jarak dekat. Dengan alasan mencari kayu bakar dan pakan ternak pada tetangga yang bertanya, padahal hewan ternak pun tidak punya. Tujuan Yuda adalah pemakaman di kampungnya. Tidak terlihat ada penggali kuburan, artinya tidak yang meninggal hari ini.
Tekadnya hari ini ia harus mendapatkan tumbal. Semakin cepat mendapatkan jenazah, semakin cepat puluh dia mendapatkan kekayaannya. Mendorong kembali gerobaknya, ia bertemu dengan kakak iparnya.
“Kamu ngapain bawa-bawa gerobak begini? Udah kayak pemulung.”
Yuda diam, kalau yang bicara laki-laki mungkin sudah diajaknya adu jotos. Namun, didiamkan malah menjadi. Mulut iparnya kembali mengoceh menghina.
“Memang bisa kamu jadi kaya dengan kerja begini.”
“Bisa mbak, aku bisa buktikan kalau kehidupanku dan Asih akan lebih baik.”
“Halah, Yud. Kalau mimpi jangan ketinggian, kalau kamu bangun lalu jatuh rasanya pasti sakit. Yang ada kamu sakit jiwa, kasihan Asih dan Gita, tambah sengsara.”
Entah terbuat dari apa hati kakak iparnya, Yuda mengepalkan kedua tangan. Ia menyadari pakaian yang dikenakan saat ini memang mengenaskan, kaos oblong dan celana pendek serta topi kerucut yang biasa dipakai ke sawah. Mana mungkin juga Yuda mengenakan batik kalau kendaraannya … gerobak.
“Sakarepmu, Mbak.” Dari pada emosi jiwa karena mulut iparnya adalah maut, Yuda mendorong gerobaknya menjauh. Tujuannya kali ini pemakaman desa tetangga.
Entah dunia sedang mendukungnya karena ada kemudahan, Yuda melihat bendera kuning di salah satu rumah.
“Bau-bau rezeki sudah tercium,” ujarnya gegas menuju pemakaman. Benar saja, terlihat kerumunan sedang menggali kubur.
Sambil memikirkan kapan dia harus mengambil jenazah tersebut, untuk penyamaran ia tetap mencari kayu bakar dan rumput. Digunakan untuk menyembunyikan jenazah yang akan dicuri.
***
Sudah hampir jam sepuluh malam, Yuda menyusuri pemakaman yang sejak tadi siang dia intai. Suasana sudah sepi dan gelap, hanya suara binatang malam yang terdengar. Kalau ditanya takut, sudah pasti. Namun, ia terpaksa memberanikan diri.
Mendadak ia merinding mengingat kejadian semalam, di mana ia ternyata membonceng pocong dan ditertawakan kuntilanak.
“Kuat Yuda, kamu berani. Setelah ini kamu akan banyak berinteraksi dengan jenazah, masa takut. Lagian mereka sudah mati, alamnya sudah berbeda.” Yuda bergumam berusaha menguatkan hati agar tetap berani.
Dengan penerangan lampu senter dan menyeret pacul, mendadak ia lupa di mana makam baru yang sejak tadi siang dia tunggu. Sudah menatap sekeliling, tidak menemukan makam yang baru.
“Ah, sepertinya itu. Aku ingat nisan itu sebagai penanda.”
Gundukan tanah yang masih basah dengan taburan bunga yang masih segar dan hanya ada nisan dari papan. Sempat menatap sekeliling memastikan tidak ada manusia lain yang melihat ulahnya di sana.
“Hidup sudah masing-masing, jangan saling ganggu. Aku hanya butuh jenazahmu, jenazahmu.”
Yuda mengayun paculnya mulai menggali. Cukup lama sampai akhirnya cukup dalam dan tubuhnya sudah tidak terlihat. Kain pocong dari jenazah yang dia cari sudah terlihat, tidak mungkin ia kembali menggali dengan pacul, khawatir melukai tubuh si jenazah.
Srek
Terdengar suara dari atas, Yuda pun berdiri dan menengadah bahkan sempat melompat dan melihat keadaan di atas. Khawatir ada orang yang datang dan ternyata tidak ada siapapun, ia kembali berjongkok dan menggali dengan tangan. Tujuannya sudah hampir didapatkan, jenazah sudah hampir sepenuhnya tergali. Saat akan menggeser kepalanya, suara di atas semakin terdengar.
Srek Srek Srek.
Yuda kembali menengadah dan terdiam, memastikan kembali pendengarannya. Suara itu kembali tak terdengar, seperti suara melangkah. Perlahan Yuda berdiri dan …
“Hahhhh.”
Ia berteriak dan jatuh duduk, menatap ke atas di mana sosok pocong sedang melongok ke lubang di mana Yuda berada. Sosok itu menggerakan sebagian tubuhnya pelan ke kiri dan kanan. Bau bangkai dan anyir langsung menguar.
Seumur-umur baru dua kali ini Yuda melihat sosok tersebut dan kedua lututnya sudah gemetar. Bukan penakut, tapi kalau dihadapkan dengan sosok semacam itu secara langsung tentu saja membuat nyalinya ciut.
Tidak ada jalan lain, tidak bisa kabur. Yuda semakin terpojok saat sosok tersebut semakin melongokan kepalanya.
“Aaaaa,” teriak Yuda lagi dengan panik. Kakinya menendang tidak tentu arah, tangannya menggapai dinding tanah untuk naik ke atas. Ia tersandung bagian kaki jenazah dan terjatuh, menimpa jenazah. Wajahnya tepat menghadap wajah tersebut. Ikatan di atas kepala, kapas yang menutup lubang-lubang di wajah membuatnya semakin ketakutan.
“Aaaaaa.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!