Asih terkejut saat melihat tumpukan uang dalam kantong plastik. Meski ada perasaan senang, tapi juga khawatir. Dari mana Yuda mendapatkan uang sebanyak itu.
“Mas, ini dari mana?”
“Sudahlah, yang penting aku tidak berbuat jahat sama orang hidup. Setelah ini hidup kita akan berubah.”
“Tapi dari mana, mas? Apa ada hubungannya dengan ruangan itu,” ujar Asih sambil menatap ke arah ruangan yang masih digembok dan hanya Yuda yang memiliki kuncinya. “Jangan bilang kamu piara bab! atau tuyul.”
Yuda berdecak pelan. “Aku berguru dan melakukan ritual, ini hasilnya.”
“Ya ampun, mas. Harusnya kita kerja bukan begini.”
“Halah, Asih. Nikmati saja, toh ini juga hasil kerjaku. Aku cari jenazah untuk tumbal dan ritual semalaman,” ungkap Yuda setengah berbisik agar tidak didengar oleh Gita. Padahal kalaupun Gita mendengar, belum tentu paham.
“Tumbal? Kamu lakukan pesugihan?”
Yuda tidak menjawab, malah membakar rokok tembakau yang ia racik sendiri. Menghis4p dalam-dalam lalu terbatuk.
“Set4n, nggak enak banget,” umpatnya. “Baiknya kamu ke pasar, ajak Gita. Belanja kebutuhan dapur, pakaian, mainan dan jangan lupa belikan aku rokok yang mahal bukan pahit kayak gini.” Yuda mengeluarkan dua gepok uang pecahan seratus ribu lalu membawa sisanya ke kamar.
“Mas Yuda ….”
Yuda mengabaikan dan berlalu menuju kamarnya.
***
Selama tujuh malam berturut-turut, Yuda melakukan ritual dan menghasilkan banyak uang dari tumbal yang sudah ia persembahkan. Kehidupan keluarga itu mendadak berubah, makanan enak, pakaian bagus dan perhiasan pun bukan lagi barang mewah.
Tetangga heran dengan perubahan dari keluarga Yuda. Dengan alasan menjual warisan keluarganya, cukup membungkam omongan orang. Motor dan sepeda untuk Gita sudah terparkir di halaman rumah. Rentenir yang sempat datang dan mengancam akan menjadikan Asih sebagai pembayaran hutang, dibuat diam karena Yuda sudah melunasi hutang berikut dengan bunganya.
MEski hidupnya sudah berubah karena mendapatkan banyak uang, tapi Asih merasakan ketakutan. Tiap malam ada saja gangguan. Ketukan pintu dan jendela, suara dari ruangan yang terkunci dan penampakan poc0ng ia saksikan lagi. Yuda hanya menenangkan kalau itu efek dari pesugihan yang mereka lakukan.
“Tapi aku takut, mas.”
“Kamu lebih takut melihat setan apa tidak bisa makan? Nggak akan mati kalau Cuma lihat doang,” ujar Yuda sambil berjalan ke pekarangan belakang membaca pacul.
“Mas, kita cari orang untuk di rumah. Aku takut kalau Mas Yuda lagi pergi, hanya berdua dengan Gita.”
“Iya nanti, aku juga mau buka toko kelontong lagi. Biar orang nggak curiga karena kita kaya mendadak. Oh iya, kapan kamu temui kakak-kakakmu itu?”
“Belum tahu.”
“Kalau kesana, pakai perhiasan dan baju baru. Jangan lupa bagi-bagi uang biar keluarga kamu tidak menghina kita lagi."
Asih diam, ia heran dengan Yuda yang mulai mencangkul menggali tanah.
“Mas ngapain sih?”
“Gali kubur,” sahut Yuda.
“Hah, kubur untuk siapa?”
Yuda menghentikan kegiatannya. Ia menjelaskan kalau jenazah yang ada dalam ruangan harus kembali di kubur setelah tujuh hari dan kuburnya harus dirawat dengan baik.
“Jadi, kita nggak dapat uang lagi? Kalau yang ada habis, gimana Mas?” Asih bertanya seakan uangnya tinggal sedikit, padahal masih banyak dan mungkin kalau disusun lebih dari satu koper.
“Tenang saja Asih, kita bisa panen uang setiap enam bulan.”
Asih manggut-manggut, sebelumnya ia khawatir dari mana datangnya uang yang begitu banyak. Sekarang mendadak serakah dan kekhawatirannya berbeda, bukan lagi asal dari uang yang mereka dapatkan melainkan takut kalau uang-uang itu habis atau tidak bertambah. Meski baru seminggu merasakan kehidupannya berbeda, seakan ia lupa saat masih susah.
Menjelang tengah malam, Yuda meminta Asih membantunya menguburkan jenazah. Awalnya Asih menolak, tapi paksaan dan hasil dari pesugihan yang dilakukan suaminya bisa mengubah hidup dengan sekejap akhirnya luluh juga.
“Mas, bau,” ungkap Asih sambil membopong jenazah bersama Yuda. Dia memilih bagian bawah badan dibanding bagian atas dan harus berhadapan dengan wajah jenazah itu. “Mana berat,” keluhnya lagi.
“Sudah, jangan berisik.”
Yuda sudah berada di dalam galian tanah yang dia buat. Menerima jenazah yang didorong oleh Asih, lalu dikebumikan dengan asal. Toh raga yang sudah mulai membusuk itu adalah tumbal, jadi tidak perlu menguburkan lagi selayaknya jenazah yang baru dikebumikan.
Asih berjongkok di tepi kuburan yang sambil melongok ke dalam, menyaksikan suaminya mulai menutupi jenazah dengan tanah. Tiba-tiba terasa hembusan angin di belakangnya, refleks ia mengusap tengkuk.
Srek srek
Terdengar suara melangkah dari belakang. Tidak berani menoleh, apalagi ia merasakan merinding. “Mas, cepat!”
”Iya, kamu bantu dong.”
Asih gegas ikut menaburkan tanah dengan kedua tangannya, agar cepat terkubur dan memberanikan diri menoleh ke belakang. Hampir ia terjungkal dari posisinya berjongkok ketika melihat sosok berdiri tidak jauh dari pintu belakang rumah.
“Mas.”
Tidak bisa bergerak cepat, tubuhnya terasa berat untuk membantu Yuda menguburkan tumbalnya.
“Ribut suruh cepat, tapi nggak mau bantu,” keluh Yuda saat sudah selesai. “Ayo, masuk. Ini lanjut besok saja.”
“Mas, a-aku lihat ….” Asih tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
“Ck, abaikan saja. Lagipula kita dapat uang dari yang begituan, masa masih takut.”
***
Enam bulan berlalu, kehidupan Yuda dan keluarga kecilnya berubah drastis. Rumahnya sudah diperbaiki meski belum renovasi total. Toko kelontong sudah dibuka kembali, hanya untuk pengalih perhatian tetangga. Tidak ingin ada isu tidak enak didengar karena mereka mendadak kaya padahal tidak punya pekerjaan atau usaha.
Keluarga Asih yang dulu menghina sekarang memuja, Yuda pun semakin bertingkah dan sombong pada ipar-iparnya.
“Tolonglah Yud, Mas mu butuh modal.”
“Ck, dulu aku tidak ada yang kasih modal. Kalian malah menghinaku,” ujar Yuda.
“Maaf Yud, tapi aku serius.”
“Aku juga serius, Mbak,” sahut Yuda lagi.
“Mas,” tegur Asih, tidak ingin Yuda terus mengungkit masa lalu mereka. “Mbak pulang aja, nanti aku dan Mas Yuda bicarakan lagi.”
“Tapi aku serius, tolong bantu kami,” pinta kakak ipar Yuda.
Asih mengantar kakaknya ke depan, sambil mendengarkan rengekan agar dibantu untuk modal usaha. Bukan kali ini saja, keluarganya datang minta bantuan -- sudah sering.
“Mas, kita kasih aja deh. Kasihan mereka.”
“Mereka nggak kasihan waktu kita susah, malah menghina,” ungkap Yuda masih keberatan dengan permintaan istrinya. “Sudahlah, gampang itu. Ada hal lain yang perlu kita lakukan.”
“Lakukan apa?”
“Sudah enam bulan, sudah waktunya kita harus cari tumbal baru,” ucap Yuda. “Tumbal jenazah.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
🥰Siti Hindun
begitulah manusia. ketika kita susah dn membutuhkan bantuan dari mereka yg kita dapat malah hinaan dn cacian.
2024-09-23
1
Aisyah Azka
emang ada yah pesugihan zaman sekarang udh modern masih percaya begitu, umat islam tuh berlomba lomba amal baik bukan amal buruknya mati aja gak ada yg tau cuma tuhan saja yg tau, kalo pak yuda udh belok begitu belum tobat eh udh mati aja yah harta emang sih gak bisa di bawa mati tapi setidaknya lah ada bekal untuk di akhirat nanti
2024-08-09
0
Zuhril Witanto
begitulah hidup...miskin di hina kaya di puja
2024-07-13
0