Asih histeris melihat kondisi suaminya, berteriak memanggil supir dan penjaga rumah untuk membawa Yuda ke rumah sakit.
“Asih, diam! Aku tidak ingin ke rumah sakit. Antar aku temui Mbah Kiyut.”
Dibantu para pekerja di rumah, Yuda dipindahkan ke dalam mobil. Asih sudah biasa mengemudi hanya untuk jarak dekat, tapi kali ini darurat. Apalagi tujuan mereka adalah rumah di tengah hutan dan dukun sakti.
“Sebenarnya ada kejadian apa, mas. Sampai kondisi kamu begini,” tanya Asih sambil mengemudi.
“Jangan banyak tanya, fokus saja dengan jalanan. Jangan sampai kita celaka dan dimanfaatkan oleh orang seperti kita.”
Asih mengemudi sesuai arahan Yuda, suaminya itu sesekali mengerang kesakitan. Entah karena apa, ditanya pun tidak menjawab malah memintanya untuk fokus mengemudi. Yang ia ingat Yuda baik-baik saja pergi untuk menemui Gita.
“Mas, ini sepi sekali,” ujar Asih ketika meninggalkan area pemukiman penduduk dan memasuki hutan.
“Ini alas, sudah pasti sepi. Kalau ramai ya di pasar dan terminal.”
Tiba di kediaman Mbah Kiyut, Asih memapah Yuda keluar dari mobil. Kondisi Mbah Kiyut yang sudah renta dan terlihat sedang tidak sehat, tidak bisa lagi menerima tamu sambil duduk. bahkan ia ditemui di dalam rumah, berbaring di dipan bukan di ruang praktek perdukunan nya.
“Mbah, tolong saya,” ujar Yuda.
“Aku tidak bisa menolongmu, lakukan saja apa yang kusampaikan kemarin. Dia butuh tumbal lebih cepat. Lalai hanya akan mencelakakan dirimu. Apa yang kamu rasakan karena sudah waktunya memberikan tumbal.”
Yuda menghela nafas mendengar penjelasan Mbah Kiyut, Asih menatap suaminya. Berharap sang suami mengakhiri pesugihan yang dilakukan, hartanya masih ada untuk hidup beberapa tahun kedepan.
“Kenapa ada pocong di rumah, mbah?”
Asih mengernyitkan dahinya, ada pocong di rumah. Gita pun sempat membahas masalah pocong.
“Mereka piaraanmu, wajar kalau berkeliaran di rumah.”
“Tapi mbah, aku sudah kuburkan lagi dan kuburnya sudah kami rawat dengan baik,” tutur Yuda meyakinkan kalau ia sudah melakukan apa yang disyaratkan.
“Apa bisa kami hentikan ritual ini?” kali ini Asih yang bertanya.
“Asih,” tegur Yuda.
“Bisa saja, tapi akan ada harga yang harus kalian bayar mahal,” jawab Mbah Kiyut lalu terbatuk-batuk.
“Berapa mbah?” tanya Asih.
“Bukan rupiah, tapi harga yang tidak ternilai. Kalian sudah bersekutu, tidak bisa lepas begitu saja. Kalau di dunia, menghentikan kerjasama mungkin hanya ada kerugian materi. Kerjasama kalian dengan iblis, mana bisa begitu mudah.”
Asih dan Yuda saling tatap. Jalan yang mereka tempuh salah dan baru menyadari sekarang setelah bertahun-tahun menikmati. Harga apa yang harus ia bayar untuk mengakhiri perjanjian ini, masih belum jelas.
Yuda pun pamit setelah Mbah Kiyut memberikan air mantra untuk diminum dan dibalurkan pada tubuh Yuda. Gegas Asih memapah suaminya kembali ke mobil dan meninggalkan tempat itu.
Asih lelah, seharian melakukan perjalanan dan mengurus Yuda. Ternyata air yang diberikan Mbah Kiyut cukup efektif, Yuda sudah tidak mengerang kesakitan lagi. Hanya saja masih lemas.
“Kita harus cari tumbal baru, aku tidak mau merasakan sakit seperti ini lagi,” ungkap Yuda setelah tiba di rumah.
“Sakit mas, karena apa?”
“Setelah bertemu pocong itu, badanku rasanya sakit semua. Perjanjian berubah, makanya aku yang kena. Besok kamu keliling, cari rumah yang memasang bendera kuning. Kita harus dapat tumbal baru.”
Sebenarnya Asih ingin menolak, tapi tidak berani. Ia akan turuti apa titah Yuda,lagi pula suaminya tidak akan membiarkan ia lakukan sendiri. Keluar dari kamar, Asih teringat Gita dan menghubungi putrinya yang mungkin saja belum tidur. Tiga kali panggilan tidak dijawab, menduga kalau putrinya sudah tidur.
***
Beberapa jam sebelumnya, Gita meninggalkan klinik bersama Ikbal dan Dirga.
“Aku nggak mau ke kosan, masih ada pocong di sana.”
“Tidak ada, sudah diusir,” sahut Dirga.
“Iya Git, aku yang usir. Pake air jampi dari Mas Dirga.”
“Ck, air jampi apaan. Itu air doa.”
“Sama aja, Mas.”
“Semalam aja ada di ranjang sebelah aku, gimana kalau nanti datang juga ke kamar.”
Ikbal yang mengemudi saling tatap dengan Dirga di sampingnya. Gita sangat ketakutan, karena sosok itu seperti meneror. Dari rumah orangtua, kamar kos bahkan ke klinik tempatnya dirawat.
“Terus gimana, kosan aku nggak boleh bawa perempuan. Meskipun kamu adik aku,” sahut Ikbal.
“Mau ke kosan gue?” tanya Dirga lalu terkekeh.
“Jelas nggak boleh, Mas. Nanti saya cepat dapat keponakan,” balas Ikbal menanggapi candaan Dirga.
“Gita, lo nggak akan dapat gangguan lagi di kosan. Kita tidur di mobil nungguin lo, kalau masih diganggu baru cari kosan lain. Karena ini bukan masalah tempatnya, tapi perjanjian yang buat dia datang dan terus ngikutin lo.”
“Perjanjian apa? Kenapa harus aku?”
“Entah Git.” Dirga hanya menggelengkan kepalanya sambil menoleh pada Ikbal.
Ikbal menepikan mobil, lalu menoleh ke belakang untuk menatap Gita.
“Git, setelah lo sehat, kita pulang ke Barungan. Kita buktikan apa yang sudah Bapak sama ibu kamu lakukan ada hubungannya dengan pocong yang sering kamu lihat.”
“Jadi, bapak benar melakukan pesugihan?”
“Itu yang harus kita cari tahu,” jawab Ikbal.
Gita menghela nafasnya, ia tidak peduli dengan kehadiran Dirga yang mendengar informasi kemungkinan orang tuanya melakukan pesugihan. Mana tau pria itu bisa bantu.
***
“Asih!”
Asih mengerang pelan dan kembali dalam lelap tidurnya.
“Asih.”
Akhirnya mata itu mengerjap pelan, menatap ke samping. Yuda masih terlelap, perasaan ia mendengar Yuda memanggilnya. Sambil menguap Asih beranjak dari ranjang, mengambil gelas Yuda yang kosong hendak mengisi ulang.
Keluar dari kamar, suasana gelap. Beberapa lampu memang dimatikan. Ia berjalan ke dapur, menuju dispenser. Mengisi air dan hendak kembali ke kamar. Dari jendela dapur, ia melihat ada pergerakan di pekarangan belakang. Gorden yang digunakan cukup tipis dan menerawang, perlahan ia sibak.
Asih sampai mengucek matanya memastikan apa yang dia lihat. Dibelakang rumah, ada beberapa pocong. Ada yang melompat, berayun kiri dan kanan ada juga yang hanya berdiri saja.
“Mereka piaraanmu, wajar kalau berkeliaran di rumah.” Teringat ucapan Mbah Kiyut. Sepertinya kembali ke kamar adalah ide yang paling tepat. Gegas ia berbalik dan … ada sosok di hadapannya yang entah sejak kapan sudah berdiri di sana.
Sosok tinggi dengan wajah menyeramkan, terbungkus kafan kusam dan kotor.
Prang.
Gelas yang dipegang Asih terlepas dari genggaman tangannya.
“Tumbal, mana tumbalku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
coba aja rembukan minta dispensasi...
2024-07-23
0
ayularasati91
coba tawar ke pocong nya, boleh ga numbalin mantan 🤧
2024-07-20
2
Heri Wibowo
yang namanya perjanjian gaib pasti susah untuk dibatalkan
2024-07-20
0