"Khalid," panggil Pak kepala sekolah ketika Khalid dan Gilang baru saja keluar dari kantin.
"Aku duluan, ya," pamit Gilang sambil jalan duluan, meninggalkan Khalid dan kepala sekolah yang semakin mendekat.
"Ya."
Sepertinya pak kepala sekolah ingin berbicara berdua saja dengan Khalid.
Gilang tambah penasaran tentang siapa sebenarnya Khalid.
Ngga lama kemudian Pak Setyawan-kepala sekolah yang berusia sebaya dengan papanya sudah berada di sampingnya.
PUK PUK PUK
Pak Setyawan menepuk pundaknya dengan gemas.
Khalid agak meringis. Bahunya masih tersisa memar.
"Masa sakit?" canda Pak Setyawan. Karena dia yakin pukulannya ngga begitu kuat.
"Nggak, Pak," bohong Khalid, padahal rasanya lumayan juga.
"Ya, ya. Saya tau. Ngga mungkin sakitlah, ya....," tawa Pak Setyawan mengudara. Beliau terlihat senang sekali.
"Kenapa kamu ngga bilang kalo papa kamu Anggoro Musri?" ucap Pak Setyawan sambil menggelengkan kepalanya.
Kalo saja Anggoro tidak menelponnya secara langsung, dia ngga akan tau kalo selama ini putra teman lamanya bersekolah di sini.
Kini keduanya melangkah pelan beriringan.
Siapa yang ngga kenal konglomerat yang juga berhubungan dekat dengan pemerintahan. Dan yang mengagetkan ternyata adalah papanya Khalid, siswanya yang sama sekali tidak tampak menonjol. Bahkan dia berada di kelas golongan biasa.
Setelah beliau periksa di data administrasi, ternyata dulunya Khalid masuk ke SMA ini hanya menggunakan nama mamanya sebagai wali melalui jalur pendaftaran beasiswa.
Pasti Anggoro akan merasa terhina sekali jika mengetahuinya. Dia yang biasa jadi donatur dimana mana, tapi putra tunggalnya malah didonatur orang lain.
"Kemarin utusan papa kamu datang dan mengatakan kalo anak tuan besarnya bersekolah di sini," kekeh kepala sekolah berderai.
'Dulu kami pernah jadi teman akrab," sambungnya lagi walau Khalid hanya menyimak ucapannya.
Wajahnya terlihat ceria saat bercerita tentang papanya, tapi berbeda dengan Khalid.
Hatinya sudah datar dan beku.
Baginya sosok itu tidak lagi menghangatkan dunianya.
"Kami berpisah sekitar dua puluh tahun. Kalo saja mama kamu mengatakan suaminya si Goro," sesal Pak Setyawan.
Khalid masih diam. Dia tau pasti kepala sekolahnya sudah tau apa yang terjadi pada keluarganya
"Mungkin ngga lama lagi papa kamu akan datang ke sini. Katanya dia hampir gila nyariin kamu sama mama kamu," ucap Setyawan hati hati.
Khalid hanya tersenyum kecut.
Untuk apa? Papanya sudah punya istri lagi, cibirnya dalam hati.
Melihat respon dingin Khalid, Pak Setyawan menghela nafas panjang.
"Om mengerti. Papamu sudah mengakui kalo dia khilaf. Sekarang tugas kamu jaga mama kamu baik baik," ucap Pak Setyawan lembut. Tangannya kembali menepuk bahu Khalid.
Khalid menahan ringisannya.
"Kalo ada apa apa hubungi Om, ya."
Setelah khalid mengangguk, Pak Setyawan pun melangkah pergi.
Khalid menghembuskan nafas panjang sambil mengusap pelan pundak yang ditepuk bapak kepala sekolah. Sakitnya masih terasa. Bukan di fisik aja, tapi juga di hatinya.
*
*
*
Quin sudah siap dengan bola basket di tangannya. Dia melakukan dribel beberapa kali, mengopernya pada Sean dan Zian. Si kembar Dewa dan Deva bersama Theo sesekali ikut menangkapnya. Sementara cowo cowo temen mereka yang lain, hanya ikut mengerubung.
BUG
Quin sengaja melempar bola.agak keras ke arah Khalid yang baru muncul bersama.Gilang ke lapangan.
Apesnya Khalid telat mengelak. Bola itu mengenai punggungnya. Tubuhnya agak terhuyung.
"Lemah," decih Quin mengejek.
Theo melirik kembarannya kesal sambil berjalan mengambil bola.
"Ngga apa apa, kan?" ucap Theo.setelah meraih bolanya.
Khalid hanya mengangguk.
"Ngga pa pa lah, Theo. Kan, bola bukan batu," dengus Quin dengan tatapan mengejek.
"Sudah, ayp, kita ke.sana aja." Sean menarik kaos Quin agar menjauh. Zian juga ikut ikutan menariknya.
"Kalian apa apaan, sih," gerutunya walau tetap menurut.
Sementara terdengar decakan dari mulut Ruby.
"Dia itu kenapa, sih, reseh banget," omelnya kesal.
Ziza juga merasa Quin memang sudah kelewatan.
Dia menatap Khalid dengan agak aneh karena melihat wajah Khalid seperti menahan sakit.
Kenapa.dengan punggungnya? Ziza yakin bukan karena pengaruh bola dari Quin.
Mata mereka bersirobok, tapi cowo itu mengalihkannya dengan cepat.
"Quin itu haris segera punya pacar, Za. Biar dia bisa ngga hanya fokus ngurusin kamu," sambung Ruby lagi terus mengomel.
"Siapa?" senyum Ziza sambil mengalihkan tatapnya pada sahabat dan sepupunya yang kini sedang sibuk dengan bolanya.
"Ya, siapa aja, kek," sungut Ruby mangkel.
Ziza tertawa kecil yang tanpa dia tau Khalid terpana melihatnya.
"Sudah sana kamu ikut basket," usir Ziza sebelum sahabatnya melanjutkan keluh kesahnya tentang Quin.
Ziza pun mengeluarkan sketch book dan alat alat lukisnya.
"Ya, udah." Ruby pun melenggang pergi menghampiri teman teman cewe yang sedang mengerubung di pinggir lapangan basket.
Khalid agak heran melihat gadis itu malah dengan santainya melukis.
"Dia ngga ikut olah raga?" tanyanya pada Gilang.
"Memang ngga pernah. Dengar dengar, sih, sakit jantung."
"Ooo." Khalid ngga nyangka melihat wajah selembut dan setenang itu ternyata menyimpan penyakit berat.
BUG
Khalid menggeram dalam hati karena lagi lagi mendapat lemparan bola dari Quin.
"Tuh, konsen. Jangan lihat cewe terus," sarkas Quin dengan wajah mengejeknya.
Khalid menatap Quin tajam.
"Nantang?" Quin langsung berkacak pinggang.
"Apa, sih, Quin," lerai Sean sambil.
membawa sahabat tengilnya pergi.
Zian pun mengambil bola.yang sempat mengenai lengan cowo yang lagi dimusuhi Quin.
"Aku lagi ngajak.dia maen basket," kilah Quin ngga mau disalahkan.
"Tapi caranya bisa, kan, baek baek," kesal Theo menyanggah.
"Loh, kurang baek apa. Kalo aku lempar pake botol minum baru jahat," sangkal.Quin lagi tetap ngeyel.
Theo membuang nafasnya kuat kuat.
Dasar!
"Sabar Theo. Sudah bawaan lahir," kekeh Deva. Dewa hanya nyengir. Bersyukur kembarannya ngga suka bertingkah lebay.
Mereka mulai bermain basket lagi dan para cewe teman sekelas pun malah heboh memberi semangat membuat Ruby tambah dongkol. Ceritanya malah dia jadi masuk dalam deretan pemuja cowo cowo itu, bukan sedang bermain basket di jam olah raga ini.
Dia terpaksa masuk dalam circle ini karena Ziza.
Satu jam lebih lima belas menit kemudian.
Ziza yang baru aja pulang dari kantin bersama Ruby menghentikan langkahnya ketika melihat Khalid sedang duduk bersandar sambil memijat bahunya.
"Bentar."
"Za, nanti kalo.Quin tau, anak itu bakal kena amuk lagi," larang Ruby mengingatkan. Dia bahkan sampai melihat sekitarnya.
Sepanjang permainan basket tadi, saat bola berada di tangan Quin, si reseh itu selalu saja melemparkannya pada Khalid.
Walau terlihat kesusahan, Khalid cukup bisa menyambut bola dan beberapa kali terhindar dari mengenai bahunya.
"Sebentar aja," senyum Ziza sambil melangkah mendekati Khalid, membuat Ruby menghela nafas panjang.
Reflek.dia pun bertingkah seperti sekuriti, mengawasi sekitar, siapa tau Quin mendadak muncul. Bisa panjang urusannya.
"Ini." Ziza mengulurkan botol minumannya pada Khalid yang terkejut menatapnya.
Dia sedang memikirkan hal lain hingga ngga tau kedatangan gadis itu.
Khalid menyambut ragu.
"Bahu kamu juga luka? Harusnya tadi minta ijin ngga usah ikut olah raga."
Khalid ngga menjawab, tapi sepasang matanya terus menatap Ziza.
Ziza pun mengulurkan beberapa plester dan menaruhnya di tangan Khalid.
"Nanti plesternya diganti, ya," ucapnya dengan mata memberi isyarat ke arah kening Khalid.
Cowo itu hanya mengangguk.
"Maafkan sepupuku, ya. Dia aslinya baik, kok. Hanya terlalu khawatir sama aku."
Setelah tersenyum lembut, Ziza melangkah pergi meninggalkan Khalid yang masih diam membisu.
Ruby sudah melambaikan tangannya agar dia segera menjauh dari Khalid.
"Tunggu," seru Khalid sambil bangkit berdiri.
Ziza menoleh. Berdiri di hadapan cowo yang sudah berdiri dengan jarak dua langkah darinya. Tubuh jangkungnya seakan memayungi Ziza.
"Terima kasih."
"Sama sama," senyum Ziza kemudian melangkah pergi mendekati Ruby yang langsung menggandengnya menjauh.
Khalid terus memperhatikan keduanya hingga menjauh.
Gadis itu membawa lagi kehangatan yang sudah lama hilang dari dalam hatinya.
"Terima kasih," gumamnya lagi dengan senyum samar terukir di bibirnya. Teringat perkataan Ziza.
Hanya sepupu, ulangnya dalam hati. Ada yang berdesir di sana.
Mungkin dia pun akan berlaku sama seperti Quin untuk melindungi sepupunya dari hal hal yang dianggap berbahaya untuk kesehatannya.
Dia jadi mengerti mengapa mereka selalu bersama. Selain ikatan yang sudah lama terjalin dari buyut mereka, mungkin juga rasa kepedulian yang sudah lama tidak dia rasakan lagi.
Khalid menatap botol air mineral dingin itu, kemudian meneguknya perlahan.
Terima kasih, ulangnya.lagi dalam hati. Matanya terpejam seolah sedang meresapi dinginnya air itu membasahi kerongkongannya.
"Sudah beli minum? Kapan?"
Khalid membuka mata, Gilang sudah ada di depannya.
"Dikasih."
"Sama teman lama.kamu?" Alis Gilang berkerut. Setaunya kelas lama Khalid ngga ada jam.olah raga saat ini.
"Bukan," geleng Khalid, kemudian menghabiskan minumannya.
"Trus siapa.yang ngasih?"
"Ziza."
Pupil mata Gilang membesar.
"Cari penyakit namanya wooiiii....."
Khalid hanya tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Rahmawati
Khalid knp sih, badanya penuh luka
2024-08-28
1
Yuli a
lagi2 anak yg jd korban. ..😭
2024-07-14
2
Khendiz
aaaaaaa.... sukaaaaa bangeeeeeet 🤣🤣🤣🤣
2024-07-07
1