Seorang pemuda berjalan memasuki rumah dengan santai. Sebelum menaiki tangga hendak naik menuju kamarnya, dia melihat ibunya baru saja keluar dari dapur dengan nampan berisi mangkuk dan segelas air putih diatasnya.
Alhasil, dia tak jadi naik dan malah berjalan ke arah sang ibu, lalu merebut nampannya dengan santai dalam diam yang sukses membuat ibunya kaget.
"Astaga, kau mengagetkan mama saja." Puk! Dihadiahi tepukan di lengan kekar sang anak.
Tanpa menghiraukan perkataan sang ibu, dia malah bertanya. "Papa masih sakit, ma?"
Sang ibu menghela nafas tak berdaya. "Iya. Yah, begitulah."
"Masih memikirkan kejadian itu?" sang ibu hanya melihat kearah putranya dengan makna yang jelas.
Iya.
Melihat ibunya diam, sebagai anak dia tahu pasti ada sesuatu yang belum tuntas.
"Sebenarnya, apa yang ingin Papa lakukan lagi? Bukankah putri korban sudah mengikhlaskan nya dan menganggap selesai masalah ini?" dengan dahi berkerut dia bertanya. Cukup bingung dengan kegelisahan ayahnya yang menurutnya sia-sia.
Dia tahu putranya tak lagi bisa di berikan alasan yang asal-asalan. Sejak awal putranya mengetahui tentang kejadian itu, dia sudah sangat berperan. Siap siaga dan sigap dalam memastikan kalau masalah ini tidak dianggap kesalahan ayahnya. Akan tetapi, pikiran orang tua jelas berbeda. Jadi, ini sudah berjalan 2 minggu lamanya tanpa kabar kesembuhan, jelas mengkhawatirkan. Tentu saja putranya bertanya-tanya.
Karena merasa percuma menjelaskan sendiri, jadi sang ibu hanya bisa berkata. "Tanyakan pada papamu. Jawabannya ada padanya." menepuk dua kali lengan putranya. "Bawalah makanan itu untuk papamu, dia sudah menunggu." tutur ibunya dan meminta bergegas. Jelas tak ingin berbicara lebih jauh, karena semua ini hanya suaminya yang rasakan.
Pemuda itu mengangguk menerimanya dan langsung berbalik menuju kamar orangtuanya usai berkata. "Istirahatlah, ma. Mama juga butuh relaksasi."
Sang ibu hanya mengangguk mengiyakan seraya memandang punggung tegap putranya.
Putranya sudah besar rupanya.
.
.
.
Ceklek...
Pintu dibuka, pemuda itu masuk dan mendekati ayahnya usai menutup pintu kembali. Terlihat, sang ayah berbaring beristirahat lagi dan lagi di ranjang. Wajahnya masih terlihat lesu, pucat, dan lemah, tampak jelas bila terlalu banyak beban pikiran.
"Pa..." panggilnya datar namun sedikit lebih lembut.
Sang ayah menoleh mendengarnya. "Oh, itu kau, Giass. Ada apa? Bukankah kau sekolah?" tanya sang ayah seperti biasanya.
"Aku bolos." tanpa ragu itulah jawabannya dengan wajah datar khasnya.
"Hah. Kau ini." sang ayah tak merespon lebih seolah sudah terbiasa dengan hal ini. "Serius lah belajar. Kau akan menjadi kepala keluarga suatu hari nanti. Jangan sampai istri atau mertua mu meremehkan mu." dan selalu itu nasihatnya.
"Jangan khawatir. Aku tahu apa yang aku lakukan. Jadi, berhenti membicarakan ku. Aku kemari untuk membawakan Papa makan siang." Giass mendudukkan dirinya di bibir ranjang sebelum menyodorkan nampan untuk diberikan ke sang ayah.
"Kemana, istriku?"
"Biarkan Mamaku istirahat. Papa membuatnya lelah."
Ginda sang ayah tak menyahut karena itu benar. Dia jadi merasa bersalah tapi beban itu belum bisa dia hilangkan.
Melihat itu, Ginda menerimanya dan sedikit bertanya sebelum menyuapi dirinya sendiri. "Kau sudah makan?"
"Akan kulakukan nanti." jawaban Giass membuat Ginda geleng-geleng kepala.
Ginda pun memakan makanannya hingga habis, kemudian Giass membantu membereskannya. Tapi, tidak langsung dia bawa pergi, sebab dia memiliki tujuan lain.
"Sebenarnya mau sampai kapan?" tanya Giass langsung ke intinya tanpa banyak berbasa-basi.
Ginda tertegun sejenak seraya menatap mata serius anaknya. Setelah beberapa saat barulah dia menjawab dengan tak berdaya.
Hanya cukup mengerti kalau masalah ini tak akan selesai kalau dipikir-pikir terus tanpa ada solusi. Yang ada dia makin drop dan keluarganya kian sedih.
"Papa bingung... Papa masih merasa bersalah atas kepergiannya. Karena, bagaimana pun penyebabnya adalah Papa... Papa merasa telah menghancurkan seorang anak karena cinta pertamanya Papa buat tiada..." tutur Ginda lesu.
"Papa berpikir terlalu jauh. Ini sudah takdir. Gadis itu juga berpikir begitu, kan." kernyit dahi Giass cukup kuat mendengarnya.
"Huh! Kau tidak mengerti..." Ginda menatap Giass dalam. "Papa tentu percaya kalau ini adalah takdirnya untuk tiada dalam keadaan itu, tapi mengingat Papa sebagai perantara kematiannya... Itu yang membuat Papa semakin merasa bersalah. Sekeras apapun Papa berkata kalau ini semua Tuhan yang tentukan. Tetap saja... Hati nurani Papa masih menyesal. Andai saja Papa tidak terburu-buru."
Giass diam mendengarkan sang ayah mengutarakan isi hatinya saat ini.
Ditariknya napas dalam-dalam sebelum Ginda buka suara. "Kau belum pernah melihatnya, kan?"
Giass menjawab dengan mengernyit bingung.
"Putri sopir taksi itu." jedanya. "Dia cantik dan lembut. Paras dan perilakunya benar-benar bagus. Sekali melihatnya saja, Papa bisa tahu kalau dia pasti di didik dengan baik oleh ayahnya. Apalagi ibunya sudah tiada sejak 5 tahun yang lalu. mereka hanya hidup berdua sampai 3 minggu yang lalu Papa buat ayahnya pergi. Sebagai seorang ayah juga, bagaimana bisa Papa menganggap semuanya baik-baik saja disaat hidup seseorang berubah karena kecerobohan Papa. Papa tidak bisa menerima itu, Giass."
Mata Ginda kembali merah tiap kali mengingat hal itu.
Meskipun Giass merasa itu merepotkan, tapi dia cukup mengerti. Membayangkan dia adalah sang ayah. Sedikit banyaknya dia pasti juga merasakan ketidaknyamanan itu.
"Lalu, kenapa tidak Papa bantu dia?"
"Sudah Papa lakukan. Usai upacara pemakaman ayahnya, Papa mendatanginya menawarkan dia banyak hal mulai dari menjadi anak angkat Papa, memberikan dia posisi di perusahaan, memberikan dia tunjangan bulanan. Tapi, dia menolak semuanya. Sampai Papa mendatanginya beberapa kali untuk membujuknya terus, tapi hasilnya tetap sama. Papa harus bagaimana?" nada tanyanya jelas terdengar putus asa.
"Padahal Papa ingin melakukan itu hanya sampai dia menikah saja. Disamping itu, Papa hanya ingin ketenangan hati Papa sendiri." tatapannya menerawang kembali ke adegan saat dia mencoba membujuk putri korban.
"Kenapa sulit sekali..." keluh Ginda sedih.
Kamar itu senyap sesaat. Giass cukup tertegun mendengarnya. Dia tak tahu, kalau ayahnya memikirkannya sampai sedemikian rupa. Apakah ini yang dinamakan hati orang tua? Tidak heran ayahnya sampai jatuh sakit. Sepertinya sang ayah lebih memikirkan nasib keluarga yang ditinggalkan, karena rasa bersalah yang tak mau hilang.
"Sekarang, Papa ingin bagaimana?" Giass bertanya dengan tujuan ingin membantu.
Ginda menatap putranya sedih. "Papa ingin dia mau menerima bantuan Papa. Paling tidak, bantu papa mengurangi rasa penyesalan Papa dengan memastikan kalau hidupnya baik sampai dia menikah. Tidak peduli berapa tahun Papa harus menunggu sampai dia menikah. Yang penting Papa lega. Hanya itu!" pintanya.
Tanpa menunggu putranya berbicara dia melanjutkan. "Papa gelisah sejak pertama kali melihatnya. Papa tidak menyangka, putrinya dirawat sebaik itu. Papa jadi bisa membayangkan apa yang dilakukan ayahnya dengan pengasuhan seperti itu. Dia pasti hanya ingin yang terbaik untuk putrinya."
"Seperti apa orangnya?" sang ayah menjawab tanpa sadar saking hanyut dalam rasa bersalah. Anak mana yang tega melihat orang tuanya seperti ini.
"Papa tidak tahu berapa umurnya, tapi dia bertubuh mungil seperti gadis berusia 15 tahun. Muda, cantik, dia juga sopan, manis dan polos. Benar-benar masih murni. Mereka tinggal hanya berdua saja disebuah apartemen kecil selama ini, ibunya sudah pergi lebih dulu 5 tahun yang lalu. Korban adalah sosok ayah yang bertanggungjawab, dia sangat menjaga putrinya dengan baik. Papa bisa melihat hasilnya langsung dari orangnya. Itu yang membuat Papa takut. Gadis itu sekarang tinggal sendiri. Papa takut terjadi sesuatu padanya, itu akan membuat Papa kian merasa bersalah. Papa membuatnya kehilangan cinta pertamanya sekaligus pelindungnya. Papa jatuh sakit karena masih belum menemukan cara agar bisa menggantikan mendiang Ayahnya untuk menjaganya. Setidaknya sampai dia menikah."
Giass mengangguk mengerti dengan pemikirannya sendiri.
"Itu pasti yang diinginkan Ayahnya juga. Membesarkan anak gadisnya dengan baik sampai suatu hari nanti datang pria meminangnya. Meskipun Papa tidak mempunyai anak perempuan, tapi Papa tahu. Papa hanya ingin melakukan itu." Ginda sangat emosional mengenai hal ini. Masalah ini seperti anak panah yang menancap di dagingnya. Jika tidak digerakkan rasa sakitnya tidak terasa, tapi begitu digerakkan rasa sakitnya akan seperti di ujung kematian.
Sayangnya, anak panah yang menancap itu tidak mungkin tidak bergerak, sebab dia selalu memikirkannya.
Kasihan melihat ayahnya terbebani sendiri, dia pun berkata. "Aku akan bantu memikirkannya. Jadi, berhentilah menyiksa diri sendiri. Setidaknya, ingat istri Papa. Mamaku pasti ikut merasa sedih dengan kondisi Papa."
Mendengar kata istri membuat Ginda semakin merasa bersalah.
"Aku keluar dulu. Istirahatlah lagi." bangkit lalu mengambil peralatan bekas makan ayahnya untuk ikut dibawa keluar.
"Nak, panggil istriku kemari." pinta sang ayah dari dalam kamar.
Giass langsung melirik jengah pada sang ayah yang selalu memproklamirkan ibunya seolah hanya miliknya seorang. Lalu, dia siapa kalau ibunya hanya milik ayahnya saja?
Mendapati tatapan putranya yang salah, Ginda langsung tersulut. "Apa! Itu kebenarannya. Kau akan merasakannya sendiri begitu kau menemukan tambatan hatimu. Karena, kau keturunan ku, pasti kurang lebih sama seperti ku. Jadi, jangan ganggu istriku! Tunggu saja sampai kau menikah!"
Mendengar ultimatum tersebut Giass malah geleng-geleng kepala. Ini bukan kali pertama, tapi rasanya tetap menjengkelkan. Dia berharap segera bertemu dengan jodohnya sehingga tidak perlu lagi cemburu dengan keromantisan orangtuanya.
Dia iri bisa memeluk, mencium, dan lain sebagainya seperti yang orangtuanya lakukan. Tapi, masalahnya ibunya bukan istrinya jadi tetap ada batasan dalam bersikap. Ini menjengkelkan semakin dia memikirkannya.
Begitulah isi hati terdalam seorang Giass Gianxa Droov yang tak pernah ada yang tahu, bahkan dia sendiri selalu menutupinya. Tak ingin orang lain tahu atau citranya sebagai badboy akan runtuh.
.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
anggita
disemua novel tiap pintu dibuka bunyinya.... ceklek🤭
2024-07-26
0