3

Hari Minggu, kunjungan ketiga.

Giass tiba pada pukul 9 tepat dan menunggu di posisi yang sama pula.

Kali ini dengan perasaan yang lebih antusias meskipun di permukaan tidak ada bedanya seperti hari-hari sebelumnya.

Tetap stay cool...

Tidak ada ketidaksabaran selama menunggu. Karena dia masih belum menemukan alasan yang tepat untuk masuk. Jadi, dia hanya bisa berharap pada keberuntungan dari pertemuan dia dan gadis 7 tahun lebih tua darinya itu.

Entah dia sadar atau tidak, tapi kalaupun sadar dia juga akan acuh tak acuh. Sebab, penampilannya terlalu mencolok, tidak ada yang tidak melirik kearahnya dengan rasa ingin tahu. Tapi, tidak ada yang berani mendekat karena aura dingin dan ekspresi datar seolah tertulis disana 'dilarang mendekat!' terlalu terasa.

Tapi, sepertinya tidak berlaku pada wanita paruh baya yang baru saja pulang dari belanja di pasar. Terlihat dari beberapa kantong belanjaan yang isinya bahan pokok seperti sayur-sayuran, buah-buahan, dan lainnya.

Wanita paruh baya bertubuh gemuk namun berparas ramah berjalan menghampirinya walau merepotkan. Tapi, dia tak berpikir begitu. Maklum, wanita paruh baya yang baik hati.

"Nak, apa yang kau lakukan disini?"

Ditanya tiba-tiba seperti itu membuat Giass tak langsung menjawab, tapi memandangi wanita paruh baya itu lebih dulu.

Tidak dijawab, wanita paruh baya itu melanjutkan. "Aku melihat mu 2 kali sebelumnya. Kau di sini saja tanpa bergerak. Apakah kau mencari seseorang?"

Barulah Giass menjawab tanpa merubah nada suaranya yang berat dan datar.

"Apa Nyonya mengenal seseorang bernama Qiena?"

"Panggil Bibi saja." tolak wanita paruh baya itu untuk panggilan Nyonya.

"Qiena? Kalau yang tinggal di gedung apartemen ini memang ada yang namanya Qiena. Kebetulan kami tetanggaan satu lantai apartemen. Apa yang kau cari itu bernama Qienasa Luovanna? Anaknya mendiang Pak Qioda Luovanna yang meninggal beberapa waktu lalu? Seorang guru TK?" terang wanita paruh baya itu dengan sangat baik membuat Giass seketika mendapatkan banyak informasi.

Qienasa Luovanna...

Qioda Luovanna...

Seorang guru TK...

Sudah terkonfirmasi.

Giass mengangguk yakin. "Benar."

"Kalau boleh tahu kau siapanya?" tanya Bibi itu terus terang, lalu mulut gosip khas ibu-ibunya pun keluar. "Karena, setahuku Qiena tidak pernah memiliki teman pria, tepatnya tidak pernah ada pria yang datang kerumahnya. Pak Qio itu ayah yang over protektif pada putrinya. Mereka sudah tinggal di gedung apartemen ini sejak Pak Qio menikah. Jadi, kami tahu banyak. Termasuk profesi Pak Qio yang sebagai sopir taksi sejak sebelum menikah, jadi terkadang taksinya digunakan untuk mengantar-jemput putrinya..."

Menelan ludah karena tenggorokannya kering sebelum melanjutkan. "Qiena itu tidak pernah kemana-mana, selama masa sekolah dia hanya punya sekolah dan rumah sebagai tujuan. Lalu, setelah lulus kuliah dia langsung melamar pekerjaan di sebuah taman kanak-kanak tidak jauh dari sini. Jadi, aneh rasanya tiba-tiba ada pria datang mencarinya."

Mata Bibi itu memicing curiga. "Apa karena ayahnya sudah tiada, kau mencoba sesuatu?"

Mata Giass berkedip dua kali karena tertegun dengan dugaan wanita paruh baya didepannya ini. Sepertinya sekarang dia paham dari mana datangnya gosip dan fitnah, pasti itu karena imajinasi seseorang terlalu diluar dugaan.

"Anda salah paham, Bibi. Saya diutus oleh Tuan Droov, orang yang mengurus pemakaman Pak Qio tempo hari." jelas Giass ingin memutuskan imajinasi konyol wanita paruh baya itu.

"Ouhhhh... Jadi, kau orangnya pengusaha hebat itu? Kenapa tidak bilang dari tadi... Ayo, aku bawa kau ke tempat Qiena. Gadis itu pasti tidak akan keluar karena ini akhir pekan, kecuali stok barang di rumahnya habis. Dia itu anak rumahan. Kau akan kering terbakar matahari kalau memilih menunggunya diluar."

Lagi, informasi lainnya dia dapatkan tanpa banyak bertanya. Betapa menyenangkannya itu.

Sebagai ucapan terimakasih tak terucap atas informasi yang Giass dapatkan tanpa usaha itu, Giass langsung mengambil alih beberapa belanja Bibi tersebut.

"Biar saya bantu, Bibi."

Bibi itu sempat terkejut dibuatnya, tapi kemudian tersenyum semakin ramah. Ternyata masih ada pemuda baik hati, pikirnya.

Tak tahu saja Bibi itu, gelar badboy nya Giass.

Akhirnya, Bibi tetangga itu benar-benar membawanya ke apartemen kecil Qiena.

Karena ini bukan apartemen kelas atas, jadi untuk naik tidak menggunakan lift, tapi tangga. Untungnya, tempat Qiena tinggal berada di lantai 3.

"Ini dia apartemen Qiena." lalu, dengan baik hati, Bibi itu mengetukkan pintu didepannya.

Tok... Tok... Tok...

"Qiena, ini Bibi!" seru wanita paruh baya itu dengan suara agak keras. Tanpa menunda, suara segar seorang gadis muda terdengar menyahut dari dalam.

"Sebentar, Bibi!"

Bibi itu menoleh kearah Giass sambil tersenyum. "Nah, itu dia."

Ceklek!

Mata Giass sudah menatap terfokus pada pintu yang mulai dibuka sampai tidak menyadari keanehan di hatinya.

Dan muncullah wajah cantik nan menggemaskan seorang gadis muda yang sebelumnya hanya bisa dia lihat dari jauh.

"Oh, Bibi ada apa?" matanya berkedip polos menatap Bibi tetangga.

"Ini Bibi bawakan seseorang padamu. Katanya dia utusan dari pengusaha besar itu. Yang pernah datang padamu beberapa kali bersama istrinya. Ayo, jamu dia. Jangan khawatir dia berbuat macam-macam, Bibi yang membawanya kesini dari luar. Kasihan juga kepanasan nanti, sayangkan ganteng orangnya. Jadi, jangan khawatir! Bibi tidak akan diam saja. Oke, Bibi tinggal dulu. Dari tadi Bibi menanggung kantong belanjaan sebanyak ini, baru sekarang sadar kalau tangan Bibi sudah kebas. Buka saja pintunya kalau kau takut." setelahnya Bibi itu pamit untuk kembali sambil mengambil belanjaan yang dipegang Giass ke rumahnya yang pintunya ada di seberang sebelah kanan dengan jarak 3 meter dari pintu rumah yang ditujunya.

Sangat dekat, kan!

Keheningan menyapa keduanya sejenak usai ditinggal berdua. Qiena yang bingung harus bagaimana dan Giass yang asik menikmati ekspresi tertekan gadis didepannya ini sampai dia tersenyum pun dia tak tahu.

Dia berdehem sebelum bicara. "Mari, masuk. Kita bicarakan didalam saja." kata Qiena.

Dibukanya pintu lebar-lebar dan mempersilakan Giass untuk masuk. Seperti kata Bibi tetangga, Qiena tidak berani menutup pintu rapat-rapat. Lagipula, ini pertama kalinya rumahnya kedatangan tamu pria.

Yang utama... Dia tidak tahu cara bergaul dengan pria dalam keadaan berdua saja!

"Duduklah dulu. Anda ingin minum apa?" tanya Qiena berusaha menjadi tuan rumah yang baik seperti yang sang ayah ajarkan. Jadi, dia sudah siap untuk mengambil pesanan tamunya.

"Apapun baik-baik saja." Qiena mengangguk sekilas, setelah itu pergi ke dapur untuk mengambilkan minuman dengan perasaan masih tidak nyaman, sementara Giass menggunakan kesempatan ini untuk memindai sekitarnya.

Rapi, tertata, wangi pengharum ruangan tidak ketinggalan, bersih, dan nyaman ditinggali. Sekilas saja, Giass sudah suka. Mungkin cukup nyaman untuk dia ditinggali saat mencoba untuk hidup merakyat.

Qiena kembali dengan satu set alat minum teh. Dia mendudukkan diri diseberang Giass, lalu menuangkan air teh di teko ke cangkir dan sajikan ke hadapan Giass.

"Silakan di minum tehnya." Qiena persilakan.

Giass pun tanpa malu-malu menyesapnya sedikit. Hmm... Cukup enak... batinnya.

Qiena melihat waktu terus berjalan dan tidak baik membiarkan lawan jenis berlama-lama di rumahnya, diapun segera bertanya. "Anda utusan Tuan Droov?"

Tak!

Meletakkan cangkir teh lebih dulu baru menjawab. "Benar."

Giass memiliki wajah tampan yang mau muda atau dewasa tidak terlalu terlihat, sebab tubuhnya tinggi kekar. Kecuali bertanya umurnya, sulit mengetahuinya.

Giass seperti bisa menyesuaikan diri di segala usia.

Itulah yang terpikirkan oleh Qiena saat melihat Giass. Di matanya, Giass sudah dewasa dan mungkin lebih tua darinya.

Jika, Giass tahu apa yang dipikirkan Qiena tentang dirinya, dia pasti akan berdiri didepan cermin untuk memastikan kebenaran itu.

Apakah dia setua itu?

Dia tak pernah memperhatikan hal-hal seperti itu soalnya.

"Tapi, untuk apa, ya? Bukankah sudah selesai?" tanya Qiena bingung.

Mendengar itu Giass menatap wajah chubby Qiena yang menggemaskan dengan intens sampai jiwanya meronta ingin memakan pipi tembem serupa bakpao itu.

"Sayangnya, belum, Nona Qiena." suara berat dan rendah Giass saat menyebut namanya membuat pipi Qiena merona tanpa disadari si empunya kenapa bisa begitu.

Dia hanya merasa tergelitik mendengarnya. Tapi sialnya, Giass melihatnya. Membuat remaja itu menggigit pipi dalamnya gemas.

.

.

.

.

.

.

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!