Hari yang sudah di janjikan oleh Sinta. Di mana Sinta akan mengajak adik-adik nya jalan-jalan ke Dufan.
Semuanya nampak bahagia karena mereka bisa liburan bareng lagi.
Tiga mobil berangkat ke Dufan pagi-pagi sekali karena mereka takut terhenti oleh kemacetan.
"Bermainlah sepuas kalian. Ingat! Kita akan bertemu di tempat ini lagi."
"Siap kak."
Sinta memang membebaskan adik-adik main apapun yang mereka suka. Apalagi mereka memang sudah pada besar-besar. Di mata Sinta memang mereka masih anak kecil. Tapi, di luar mereka sudah dewasa. Pergi kemana mereka mau.
Semua adik-adik berpencar ada juga yang bareng. Semuanya begitu akur walaupun sudah besar tapi dalam hal ini semuanya selesai kompak.
Sinta tinggal sendiri memilih tempat yang tidak terlalu banyak pengunjung yang minat.
Duduk sambil menikmati jus dan stik tidak jauh dari mushola agar ketika adzan tiba Sinta tidak terlalu jauh mencarinya. Di Dufan memang mushola pada jauh-jauh jaraknya. Jika berjalan kaki, terasa melelahkan bukan. Kecuali menyewa sepeda motor listrik agar memudahkan keliling.
Sinta memang gadis suka jalan-jalan. Namun, jika permainan di Dufan Sinta kurang suka. Tepatnya, Sinta trauma karena waktu kecil pernah jatuh waktu naik kora-kora. Sinta hanya menikmatinya saja.
Memilih masuk ke rumah hantu, rumah kaca, museum itupun kebetulan di buka.
Sinta berjalan-jalan sambil mengabadikan momen di sana dengan kamera yang melingkar di lehernya. Merasa lelah, Sinta memilih kembali ke tempat tadi agar anak-anak tidak repot mencarinya.
Seharian penuh anak-anak benar-benar menghabiskan waktu bermain. Sampai dimana tiba waktu berkumpul.
Sinta mengabsen para adiknya takut ada yang kurang. Merasa sudah lengkap semaunya. Mereka memutuskan pulang. Sebelum pulang ke rumah Adam Hawa. Sinta membawa para adik nya makan terlebih dahulu.
"Aurora?"
"Eh, Nandini. Sini,"
Nandini menghampiri Aurora. Tak lupa juga mencium tangan Sinta dan yang lain.
"Mas mu kemana? Din?"
"Mas beli buku Dini, tadi buku Dini basah."
"Oh, udah makan?"
"Belum, mba. Nunggu Mas Hendra dulu."
"Sini, ikut gabung sama kami saja."
Sinta tak pernah malu mengajak Nandini ikut makan bersama mereka. Nandini begitu sungkan. Namun, Aurora menarik tangan gadis imut, sedikit tomboy itu.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Mba Nani, pesanan biasa."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Siap mba. Laksanakan."
Sinta terkikik mendengarnya. Sinta memang sudah hapal setiap menu kesukaan adik-adik nya.
Restoran cukup ramai. Apalagi memang ini malam Minggu. Ada yang semeja dengan pasangannya, keluarga, dan teman-temannya. Semuanya beragam dengan menu kesukaan masing-masing.
Hendra yang baru datang membeli buku adiknya yang tak sengaja basah karena ketumpahan kopi milik dirinya. Hendra mencari-cari adiknya tapi tidak ada. Hendra panik takut adiknya ada yang menculik. Namun, mata Hendra menatap mobil yang terparkir. Hendra mengenali siapa pemilik mobil itu. Mumpung gak ada yang datang. Hendra berlari mengintip ke dalam.
Hati Hendra merasa hangat melihat tawa adiknya yang ikut bergabung dengan Sinta. Merasa adiknya aman. Hendra kembali berjaga takut ada yang datang.
Sudah selesai makan, mereka bergegas kembali.
"Terimakasih mba. Sudah mengajak Nandini makan."
"Sama-sama. Maaf ya mas. Nandini harus makan duluan bersama kami."
"Tidak apa. Mau langsung pulang?"
"Iya, kami pulang dulu. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
Sinta dan adik-adik nya meninggalkan restoran.
"Mereka baik ya, mas."
"Iya. Untuk itu, Nandini harus giat belajar agar jadi anak sukses dan bisa membalas kebaikan mereka."
"Baik mas. Nandini akan rajin belajar."
"Adik mas, memang pintar. Sana belajar, lalu tidur."
"Siap."
Hendra benar-benar bersyukur di pertemukan dengan orang-orang baik. Yang Sudi menampung mereka bahkan memberikan pekerjaan juga. Entah kebaikan apa yang dulu Hendra lakukan hingga Allah begitu baik padanya.
...
Sesampai di rumah Adam Hawa, Sinta menyuruh adik-adik untuk segera tidur.
Sinta bersyukur sekali karena Allah memberi dia kebahagiaan yang berlipat. Tidak ada kebahagiaan yang paling membahagiakan hati Sinta kecuali melihat adik-adik akur dan bahagia.
Sinta segera membersihkan tubuhnya. Karena tadi belum sholat isya. Sinta melaksanakan kewajibannya.
Sudah sholat isya, Sinta duduk di kursi meja belajar sambil menatap sertifikat kedokteran nya.
Sebentar lagi mungkin Sinta akan disibukan dengan pekerjaan nya. Rasanya Sinta tidak sabar segera bekerja kembali. Tangan Sinta sangat merindukan memegang alat-alat medis. Membantu setiap orang yang membutuhkannya.
Puas menatap keberhasilannya. Mata Sinta beralih pada buku catatannya. Sinta membuka buku tersebut. Entah kesekian ribu kalinya Sinta membaca bait tulisan itu. Seakan Sinta tak pernah bosan membacanya.
Sinta tersenyum sendiri, jantungnya berdegup kencang. Besok adalah pertemuan bagi mereka.
Selama ini memang mereka tak pernah berkomunikasi. Namun, kenapa Sinta tahu besok hari pertemuan mereka. Tidak lain tidak bukan dari Malik. Malik yang selama ini menjadi perantara bagi keduanya.
Dan Malik juga yang melarang Farel bertemu Sinta walau ingin. Malik hanya ingin Sinta fokus tanpa ada hambatan sama sekali.
Jika Allah merestui mereka tentu akan selalu ada jalan mudah bagi mereka melewatinya. Namun, jangan pernah lupakan bahwa di setiap perjalanan itu ada cobaan juga. Allah yang maha tahu akan semaunya.
Tiba-tiba Sinta merasa gugup sendiri. Padahal besok pertemuan mereka. Kenapa harus gugup sekarang. Entahlah, tapi itu yang Sinta rasakan.
Sinta kembali menutup buku catatan nya. Sepucuk surat yang tersimpan rapi di sana. Menemani perjalanan Sinta selama enam tahun ini. Ada obat tersendiri bagi Sinta membaca bait itu. Tak ada kata bosan dalam membacanya seolah menjadi teman Sinta sendiri.
Sehebat itukah? hanya sepucuk surat bahkan rangkaian kata, tidak banyak.
Sinta terdiam sebentar sebelum menyimpan buku itu dalam laci. Tak lama Sinta membukanya kembali.
...Besok adalah pertemuan bagi kita....
...Perjalanan babak baru yang harus aku putuskan. Sebegitu hebat kah dirimu menunggu ku. Enam tahun bukan waktu yang sebentar kau mau menunggu. Apa masih sama kah kata yang pernah kau ucap. Aku pun tidak tahu! Kenapa juga aku menjaganya. Dia (sepucuk surat) selalu berada di tempat nya. Tak bosan aku membacanya. Dia bagaimana penyemangat ku, kekuatan ku hingga berada di titik ini. Terimakasih atas rangkaian kata yang kau buat. Semoga Allah memudahkan pertemuan kita besok. Aku menunggu mu....
Pada tanda titik, Sinta menghentikan tulisannya. Kini Sinta benar-benar menutup buku catatannya. Memasukannya ke dalam laci. Lagi, mata Sinta tak mau pergi dari sana. Kini bukan tentang buku catatan itu lagi. Melainkan kotak cincin yang dulu Farel berikan.
Sebuah cincin tertata di sana. Di hiasi berlian kecil. Walau kecil tapi cincin itu sangat cantik. Sinta mengangkatnya. Selama enam tahun ini Sinta belum pernah sekali pun mencoba.
"Pas!"
Gumam Sinta tatkala cincin itu tersemat di jadi manisnya. Sinta tak menyangka jika cincin itu akan sangat pas di jari manisnya. Padahal ini sudah enam tahun, tentu jari jemari Sinta pun berubah. Tapi, kenapa cincin itu malah pas di jari Sinta.
"Apa aku layak memakai nya?"
Tanya Sinta pada dirinya sendiri. Kemudian, Sinta melepaskannya kembali. Menyimpan ke tempat semula.
"Belum waktunya. Tunggu besok."
Sinta memutuskan segera tidur dari pada pikirannya ke sana kemari. Semakin terpikir, jantung Sinta semakin tak karuan.
Bersambung ...
Jangan lupa Like, Hadiah, komen dan Vote Terimakasih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments