Mohon saran dan dukungannya...
°
°
°
Di kantor
“Lili, Bunda mau memperkenalkan rekan bisnis kita yang baru. Nanti urusan mengenai penjualan tanah biar kamu yang urus bersama rekan bisnis kita yang baru. Biar kamu bisa belajar mengenai penjualan,” kata Bunda.
“Baik Bunda. Lili mengerti.”
“Ibu, utusan dari PT Abadi Jaya sudah datan," kata sekretaris Bunda.
“Persilahkan masuk,” sahut Bunda menuju kursi tamu.
“Baik,Bu.”
Aku sangat terkejut mengetahui rekan bisnis Bunda adalah Dika. Dika diutus ayahnya untuk urusan ini. Apakah Bunda sudah mengetahui hal ini? Sepanjang percakapan aku hanya bisa bicara sedikit saja. Aku merasa seperti gunung es yang tiba-tiba cair karena lava panas dihadapan Dika.
“Bagaimana kabarmu,Li?” tanya Dika selesai rapat.
“Kabarku baik,” jawabku singkat.
“Jadi kamu yang akan meneruskan usaha Bundamu, Li?”
Aku mengangguk, enggan menatap matanya.
“Lama ya kita tidak bertemu. Sudah dua tahun kita tak berjumpa.”
“Iya, Dika. Waktu yang lama membuat aku sedikit tidak mengingatmu,” candaku walau itu kedengaran sangat garing.
“Iya, Li. Kamu sekarang sudah berbeda dengan Lili yang dulu.”
Aku berusaha melihatnya, ada rasa rindu di hati.
“Aku tidak pernah berubah, Dika.”
“Apakah kamu sudah punya pacar, Dika?”
“Tidak Li. Kalau kamu pasti sudah punya, ya. Pasti Rendi?”
Tebakannya salah.
“Kami hanya bersahabat saja, Dika.”
“Aku kira kau sudah menikah dengan Rendi.”
“Tidak,.aku malah menyuruhnya untuk mencari wanita yang dia dicintainya,” kataku berusaha cukup tenang.
“Li, aku harap dengan adanya kerjasama ini kita bisa memulai lagi seperti dulu.”
“Maksudmu?”
“Ya, persahabatan kita. Aku ingin persahabatan kita kembali seperti dulu lagi.”
“Senang bertemu denganmu, Kawan ” kata Dika sambil memelukku.
Aku bisa merasakan pelukan itu hanya pelukan seorang sahabat saja. Ingatlah bahwa aku tidak pernah ada di pikirannya.
Semenjak terikat kerjasama ini aku dan Dika selalu bepergian bersama keluar kota mengurusi penjualan tanah yang ada di Subang. Dika yang selama ini aku kenal sebagai sesosok yang periang telah berubah menjadi orang yang dingin. Dia hanya berbicara apabila aku yang memulainya sehingga aku merasa Dika orang lain yang baru kukenal bukan Dika sahabatku sejak kecil.
“Dua tahun yang lalu aku dan Jesi menikmati pemandangan ini tapi kini aku hanya sendirian memandang lautan yang sepi ini,” kata Dika saat aku menghampirinya di tepi pantai.
“Bagiku dia adalah gadis yang tegar menghadapi penyakitnya," lanjut Dika dengan menerawang.
“Apakah kau tidak bisa melupakannya, Dika?” Ini yang ingin aku ketahui.
“Tidak, Li. Bagiku dia adalah wanita yang terbaik yang pernah aku cintai. Sampai kapanpun aku akan tetap mengenangnya dalam hatiku.”
“Dan apakah selamanya kau akan menutup hatimu untuk wanita lain?”
“Aku tidak bisa menjawabnya, Li."
“Dika,kau harus bisa melupakannya. Jesi juga tak ingin kau seperti ini terus.”
Aku mencoba mengajaknya bicara. Ia sudah lama terpuruk dalam duka dan sedihnya. Ia harus berubah. Namun sayangnya, ucapanku tidak ada artinya.
“Kau tidak berhak berbicara seperti itu,” ketus Dika sambil melangkah pergi meninggalkanku sendiri di pantai.
“Mengapa kau tidak membuka hatimu untuk yang lain, Dika walau wanita itu bukanlah diriku.”
*****
Akhirnya selesai juga perjanjian kerja antara aku dan Dika. Sejak saat itu Dika mulai menjauh lagi walau terkadang ia mengajak aku keluar untuk makan saja dan mengenang masa-masa kita sekolah SMA bukan pada waktu kita di bangku kuliah. Tapi yang membuat aku sebal dengannya adalah pembicaraan mengenai hubungannya dengan Jesi. Saat ia membicarakan Jesi terlihat jelas bahwa Dika sangat mengagumi dan mencintainya.
Aku tidak pernah tahu sampai kapan Dika bisa benar-benar melupakan Jesi yang sudah lima tahun meninggalkan Dika seorang diri. Perih yang hanya bisa kurasakan saat Dika mengatakan tak kan ada yang bisa menggantikan Jesi di sisinya.
“Apakah kau tahu, Li? Jesi sangat menyukai deburan ombak sama sepertimu. Dia juga menyukai nasi goreng. Aku pikir-pikir kamu dan Jesi memiliki kesamaan. Andai dia masih ada pasti kalian seperti saudara kembar.”
Entahlah berapa kali ia selalu menyebut nama Jesi tiap bertemu dan aku bosan.
“Apabila kami dilahirkan kembar apakah kau tetap memilih Jesi?”
Aku memancingnya agar menjawab pertanyaanku.
“Kau bicara apa sih, Li?"
“Ya ... aku ingin tahu saja. Mana yang akan kau cintai?”
“Kalau aku bertemu dengan Jesi dulu pastinya aku akan mencintainya lebih dulu.”
Benar kataku, bukan? Rasanya ingin aku tertawa.
“Seberapa besar kau mencintainya, Dika?"
“Aku mencintainya dengan sepenuh jiwaku.”
“Apakah kau masih mencintainya walau Jesi sudah tiada, Dika?”
“Sampai kapanpun dia tetap menjadi bagian dalam kisah hidupku.”
“Selama dua tahun ini kau telah banyak berubah, Dika.”
“Maksudmu ….?”
“Sejak Jesi tiada. Kau seperti orang lain yang baru aku kenal. Kau bukanlah Dika yang aku kenal dulu. Dulu sewaktu kau menghadapi masalah yang lebih berat dari ini kau tidak pernah sekalipun mengeluh dan kau begitu cepatnya melupakan masalah tersebut. Sekarang kau adalah orang yang dingin dan tak seriang dulu. Apa yang membuatmu berubah?”
“Mungkin waktu yang membuatku berubah.”
Dika pergi meninggalkan aku dengan rasa marah di hatinya. Sore ini membawa kelabu bagi jiwaku.
“Apa sesulit inikah aku harus berjuang untuk mendapatkan hatimu, Dika?”
*****
Di rumah
“Non Lili dipanggil nyonya di ruang tamu,” kata mbok Minah.
“Iya Bi. Lili ganti baju dulu.”
“Memang siapa yang datang, Bi?"
“Bibi tidak tahu, Non.”
Di ruang tamu aku melihat kedua orang tua Dika. Om Burhan dan Tante Lani. Aku sudah mengenal mereka sejak aku kecil. Mereka adalah rekan bisnis ayah dan bunda.
“Aduh … Lili tambah cantik saja ya,” sapa Tante Lani.
“Terima kasih Tante. Bagaimana kabar tante dan om?”
“Baik, Sayang," ucap Om Burhan.
“Berarti Lili yang menggantikan bundanya dong memimpin perusahaan?” lanjut Tante Lani bertanya.
“Lili belum siap, Tante.”
“Pasti siap kok apalagi kalau ada pendamping di sisi Lili," kata mereka yang membuatku bingung.
“Sudah punya kekasih Lili, Bu Nina?" Tanya Om Burhan pada Bunda.
“Lili belum memikirkan itu, Om.”
“Bagaimana Bu Nina? Apakah anda setuju mengenai pembicaraan kami tadi. Kami sudah mengenal keluarga ini jauh sebelum anak-anak kami lahir."
“Kalau urusan itu biar anaknya saja yang mengaturnya, Pak," jawab Bunda.
“Betapa bahagia kami apabila hal ini terlaksana. Kalau begitu kami mohon pamit.”
Apa yang Bunda dan mereka rencanakan? Aku merasa ada suatu hal yang Bunda sembunyikan dari aku. “Betapa bahagia kami apabila hal itu terlaksana”. Apa maksud pembicaraan mereka tadi?
*****
“Lili, bunda ingin membicarakan sesuatu dengan kamu,” kata Bunda saat makan malam.
“Iya bunda ada apa?”
“Sudah berapa lama Jesi meninggal, Li?”
“Hampir dua tahun, Bunda.”
Tumben Bunda bertanya.
“Apakah selama ini Dika masih mengingatnya?”
“Entahlah Bunda. Sepertinya Dika tidak mungkin melupakan Jesi.”
“Apakah kamu mencintai Rendi, s
Sayang?"
“Bunda, Lili sudah mengatakan ini dengan jelas bahwa Lili dan Rendi hanya bersahabat saja.”
“Apakah Dika tetap mengganggapmu sebagai sahabatnya?” ulang Bunda yang membuatku tambah bingung.
“Iya Bunda. Tapi kenapa Bunda ingin tahu semuanya. Lili tambah bingung, Bunda. Tidak seperti biasanya bunda ingin tahu dan bertanya terus. Memang kenapa bunda?”
“Sayang,sebelumnya bunda maaf kalau hal ini membuatmu marah.”
“Ada apa bunda?” Jangan buat Lili penasaran dong.”
“Waktu Om Burhan dan Tante Lani ke sini untuk meminta bunda menyetujui kamu menjadi menantu meraka. Kedua orangtua Dika sangat mengharapkan kamu menjadi menantu mereka dan mengobati luka batin Dika selama ini karena hanya kamu, Li yang bisa memahami Dika.”
“Jadi maksud Bunda Lili harus menikah dengan Dika agar Dika bisa melupakan Jesi?” Lili tidak bisa, bunda dan Lili tidak mampu untuk menjadi bagian hidup Dika."
Tentu saja aku menolak. Untuk apa menerima pernikahan ini jika tidak ada cinta.
“Tapi kamu mencintainya, s
Sayang. Bunda tahu itu sejak lama. Bunda juga tahu mengapa selama ini yang kamu tidak bisa mencintai Rendi.”
“Lili bukan untuk Dika, Bunda.”
“Karena Dika masih mencintainya Jesi?” Bunda sudah tahu rupanya.
“Entahlah bunda. Lili tidak tahu sampai kapan Dika bisa melupakan Jesi?”
“Berusahalah, Sayang apabila kamu benar-benar mencintai Dika."
Bunda menepuk punggungku dan tersenyun penuh kehangatan.
“Apakah Bunda menyetujui ini?”
“Apapun yang menurutmu baik. Bunda selalu menyetujuinya.”
Aku menangis di pelukan bunda.
\=Bersambung\=
Mohon beri dukungannya, ya. Silakan beri komentar dan bintang. Kalian boleh promosi di kolom komentar. Terima kasih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Anjum Zuhriyah
sedih
2021-05-15
0
Linne
nggak ada yg komen. Biar aku aja yg coment 😊
2020-08-17
0