Mohon saran dan kritiknya...
Sudah hampir dua tahun aku meninggalkan kota ini dan akupun kembali lagi di kota yang menyimpan perih di hati. Dua tahun juga Rendi mengisi hari-hariku tapi kami hanya bersahabat tidak lebih dari itu karena aku masih belum bisa mencintainya dan Rendi menerima hal itu dengan tulus.
“Hei ... kok bengong," kata Rendi mengejutkanku.
“Tidak kok. Rendi, kita langsung ke rumahku ya.”
“Sudah kangen sama Bunda, ya." Rendi menggodaku terus dari kami turun dari pesawat.
“Tahu saja."
Rendi yang mengantarkanku sampai di rumah, ia kemudian pamit untuk segera menemui ayah dan ibunya.
****
Rumah ini tak pernah berubah sejak kutinggalkan dua tahun lalu. Masih kuingat dalam kenangan di mana aku terakhir berbicara dengan Dika. Entah sampai kapan aku bisa berhenti memikirkannya.
“Lili sayang, kamu sudah datang. Bunda sangat rindu denganmu.”
“Iya, Bunda. Maafin Lili, Bunda karena Lili tidak menelepon dulu.”
“ Tidak apa-apa, Sayang. Yang penting anak bunda pulang dengan selamat."
“Kamu dengan siapa tadi dari bandara.”
“Sama Rendi,” sahutku sambil merebahkan di sofa kesayangan.
“Mana Rendi, Sayang?”
“Dia cuma antar Lili saja, Bunda tapi dia janji lain hari bertemu Bunda.”
“Oh begitu. Ya sudah kamu istirahat saja dulu. Bunda sudah menyiapkan masakan kesukaanmu.”
Malam hari adalah waktu aku dan Bunda menghabiskan malam bersama.
“ Akhirnya kita berkumpul lagi." Raut wajah Bunda terlihat bahagia.
Aku hanya tersenyum.
“ Bunda, kalau boleh besok lusa Lili sudah masuk kerja.”
“Terserah kamu saja. Bunda, sudah menyiapkan segala sesuatunya untukmu.”
“Terima kasih, Bunda."
“ Iya sayang. Oh, ya bagaimana hubunganmu dengan Rendi?”
Aku menghentikan makanku sejenak. Bunda menanyaiku hal yang tak ingin aku jawab.
“Kami masih tetap bersahabat, Bunda.”
“ Bunda rasa Rendi masih tetap mencintaimu.”
“Lili tahu, Bunda.”
“Terus apa kamu tidak bisa mencintainya?"
“Entahlah Bunda.”
“Lili, dua tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk kamu belajar mencintainya.”
“Maaf, Bunda. Lili mau istirahat dulu,” jawabku sambil mengacuhkan pertanyaan Bunda.
Memang benar kata\-kata Bunda . Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk aku belajar mencintai Rendi tapi seberusaha apapun aku belajar tapi tetap tak bisa mencintainya. Mungkin suatu saat nanti bisa mencintainya. Aku tahu Rendi mengharapkan diriku dapat mencintainya tapi ia menyadari bahwa di hatiku tetap ada satu nama, Dika yang tak bisa terganti oleh seseorang.
Mengapa aku tidak bisa mencintainya apakah aku masih mengharapkan Dika untuk mencintaiku?
*****
Kantor Bunda
Lega juga akhirnya setelah Bunda mengenalkanku kepada rekan\-rekannya bahwa aku yang akan menggantikan posisinya. Lamanya rapat membuat aku meninggalkan rapat terlebih dahulu. Karena aku tidak pernah masuk kantor Bunda maka aku akan berkeliling sambil mengenal seluruh kantor.
Tiba-tiba terdengar ada yang memanggil namaku.
“Lili ... Lili … dipanggil kok bengong?”
“Sudah tidak kenal sama teman lama.”
“Rere ya?”
Tidak menyangka Rere berubah sama sekali. Ia bukan Rere yang dulu, terlihat lebih dewasa.
“Bukan. Ya, iyalah aku Rere. Masa tidak kenal dengan aku.”
“Bagaimana kabarmu, Re?"
“Yang seperti kamu lihat sekarang. Aku bekerja di sini.”
“Kalau kamu, Li?”
“Aku baik saja-saja.”
“Kamu juga kerja di sini, Li?”
“Iya sama seperti kamu.”
“Oh, ya aku lupa Bunda kamu juga yang punya kantor ini kan?”
Aku memberi jawaban dengan suara pelan agar tidak ketahuan oleh karyawan lainnya.
“Ayo, Re kita makan siang yuk?” Aku sengaja mengajak Rere ke kantin, aku ingin melepas rindu.
“Di Amerika kamu tinggal sama siapa, Li?”
Rere memang sudah berubah, tetapi hanya satu yang tetap sama. Dia lahap sekali kalau urusan makan.
“Budeku.”
“Kamu ini sama teman sendiri tidak pernah nelepon. Sudah lupa?”
Bukannya aku tidak pernah telepon. Tugas kuliah dan kerja magang membuatku tak memiliki waktu untuk menelepon.
“Iya tidaklah, Non. Nomer ponselmu hilang dan aku juga sibuk.”
“Sibuk kuliah atau sibuk pacaran,” ledek Rere.
“Pacaran sama siapa aku, Re? Aku sibuk kuliah. Tanya saja sama Rendi."
“Jadi kamu selama ini tidak pacaran dengan Rendi, Li?”
“Kami hanya bersahabat saja, Re.”
“Kenapa?”
“Entahlah Re. Aku begitu sulit membuka hatiku untuknya.”
“Apa karena kamu masih mencintai dan mengharapkan Dika yang membuka hatimu?”
Aku tak mampu menjawab. Pertanyaan Rere memang benar adanya.
“Kamu mau sampai kapan seperti ini, Li?”
“Entahlah, Re. Aku juga tidak tahu. Apa kamu tahu Dika di mana sekarang, Re?”
“Dika sekarang bekerja diperusahaan ayahnya.”
“Dika juga selama ini tidak pernah kulihat ia berdua dengan wanita. Aku rasa ia tak bisa melupakan Jesi.”
“Sudahlah, Li. Lupakan Dika dan mulailah hari bersama yang lain. Aku tahu itu mungkin sulit tapi belajarlah mencintai orang lain walau itu bukan Rendi,” sambung Rere seraya menepuk tanganku.
“Terima kasih, Re.”
Perkataan Rere ada benarnya tapi bisakah aku melakukan itu. Entahlah biar waktu yang menentukan.
****
"Nak, besok ada klien baru di perusahaan kita. Bunda harap kamu menemuinya sebagai pengganti bunda.
"Memangnya Bunda mau ke mana?" Aku bertanya saat makan malam.
"Kan kamu sebagai penerus perusahaan ini, Li. Kamu harus tahu semuanya.
Sudah waktunya memang posisi tersebut digantikan olehku. Anak bunda hanya aku. Sejak Ayah meninggal, otomatis perusahaan menjadi milik Bunda dan akan diwariskan padaku jika waktunya tiba.
"Li, bunda mau kamu berkenalan dengan seseorang," kata Bunda yang hampir saja membuatku tersedak.
"Maksud Bunda?"
"Ya, semacam perjodohan. Usia kamu sudah cukup matang untuk menikah."
Menikah? Itu bukan prioritasku kini. Aku belum mau menikah dan mengenal seseorang.
"Lili tidak mau, Bunda," jawabku singkat. Bunda melihatku sambil geleng kepala.
"Masih menunggu Dika?"
Ah, untuk apa Bunda mengingat nama itu yang mengakibatkan ada serpihan perih di hatiku. Apa Bunda memang sengaja melakukannya?
"Jika bukan Dika yang ada di hatimu, apa kamu mau menerima Rendi?"
"Bunda, tolong jangan bahas itu lagi. Mengapa Bunda dari kemarin selalu mengingatkan itu?"
Bunda menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil menatapku dengan sedih.
"Bunda tidak mau kamu seperti tersiksa, Li. Untuk apa mencintai orang yang jelas-jelas tidak bisa membuka hati?"
Aku memilih pergi dari hadapan Bunda dan keluar menuju teras menenangkan diri. Perkataan Rere dan Bunda selalu terngiang di pikiran. Namun, aku masih belum bisa. Semakin aku menghilangkan bayangannya di otak ini, ia semakin dekat.
Bagi orang mungkin aku terlihat bodoh masih mengharapkan orang yang tidak pernah mencintaiku. Di teras ini terakhir kalinya, aku melihat Dika. Selama dua tahun kami tak saling kirim kabar. Pernah kucoba menelepon ternyata teleponnya sudah tidak aktif.
"Apa kamu masih mengingatku, Dika?"
\=Bersambung\=
Ayo beri dukungan author dengan cara memberi vote dan komennya. Kalian bisa promosi di kolom komentar, saya akan berkunjung nanti. Saling mendukung dan terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Mulyanthie Agustin Rachmawatie
Sakit rasa nya klo diperlakukan bgtu dg Dika....
2023-01-07
0
🐝⃞⃟⃝𝕾𝕳Simple Hayati
jejak like dari aku thor, ditunggu feedbacknya
2020-09-18
1
Muhammad Ari
keren thor.... ijin promo ya, jgn lupa baca dan mampir di novel dg judul "sudden kiss" ya 😇😇😇
2020-08-13
0