Part 3 Masa Penuh Kenangan

Mohon saran dan kritiknya...

°

°

°

Di mataku, Dika adalah orang yang tampan dan atletis. Siapa yang tidak menyukainya? Semua teman-teman mengagumi ketampanannya. Dika itu orang yang sangat sulit didekati oleh siapapun kecuali aku, Rere dan Rendi.

Berbanding terbalik dengan Dika. Rendi adalah kakak kelas yang humoris, sama usilnya denganku dan perhatian.

Sedangkan Rere, temanku sejak bayi. Maklum saja ibu kami bersahabat sejak kecil. Ia teman yang menyenangkan, berbagi rahasia bersama, cerewet dan penyayang.

"Lili ....!"

Aku senang menjahili Rere yang terkejut secara tiba-tiba. Kali ini, aku mengerjainya dengan menjewer telinganya dari belakang saat makan di kantin.

"Salahmu nggak dengar aku panggil," kataku sambil tertawa melihat Rere mengusap telinga.

"Aku bukannya nggak dengar. Tuh ... aku lihat Dika lagi didekatin sama anak kelas sebelah." Rere menunjuk ke taman yang berdekatan dengan kantin.

Feni namanya, gadis imut berbando itu selalu mengikuti Dika bahkan seperti seorang stalker yang mengetahui kegiatan Dika. Kali ini, ia memberikan kaos asli dari klub kegemaran Dika yaitu Real Madrid.

"Menurutmu Dika terima nggak ya tuh kaos?" Rere penasaran, begitu juga diriku.

Alih-alih menerima, Dika malah pergi tanpa mengucapkan apapun. Kasihan Feni, untuk ketiga kalinya pemberiannya tidak diterima Dika.

"Sudah aku duga. Dika tidak akan menerimanya."

Aku menggangguk menanggapi perkataan Rere. Memang susah untuk menjalin kedekatan dengannya. Tidak sembarangan teman yang bisa ia ajak bicara.

"Untungnya dia nggak sedingin es batu sama kita," sahutku disertai anggukan Rere.

Aku sudah menaruh pada Dika hati sejak kami sama-sama di bangku sekolah dasar. Awalnya aku tidak tahu itu perasaan apa, ketika Dika berdekatan dengan teman gadis lain, hatiku merasa tidak nyaman.

Aku baru menyadarinya ketika aku sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Di saat itulah, rasa suka ini semakin menjadi. Namun, aku tak mau mengungkapkannya. Aku tahu persahabatan kami putus.

"Aduh ... yang lihat Dika sampai ngiler," ledek Rere. Aku segera menjitak kepalanya.

Aku meninggalkan Rere yang masih makan di kantin.

*****

Kami berempat selalu menghabiskan waktu akhir pekan dengan keluar. Kadang menonton di rumah Dika atau masak bersama di rumah Rere yang kebetulan ibu Rere dulunya koki terkenal.

Seperti hari ini, kami sedang keluar ke kota untuk mencari materi ujian.

"Wah ... nggak nyangka, ya. Rendi sebentar lagi masuk kuliah," kataku sambil melihat Rendi memilih buku.

Meskipun usia kami terpaut setahun, Rendi tidak mau dipanggil kakak. Menurutnya panggilan itu terlalu tua.

"Otaknya dia cerdas. Nggak seperti Rere dan Lili."

Aku mendengkus kesal Dika mengatai otakku tidak cerdas. Dasar Dika to the point sekali.

"Meskipun otakku nggak cerdas, yang penting aku punya otak untuk berpikir," balas Rere yang merasa tersindir.

Rendi hanya tersenyum melihat tingkah kami. Ia memang paling sabar menghadapi perdebatan antara Rere dan Dika jika bertengkar atau adu mulut.

"Memangnya otakmu bisa berpikir? Kamu kadang lelet kok." Dika kembali meledek Rere.

"Biar lelet, tapi aku cantik." Rere membalasnya seraya menyentil telinga Dika.

Dika terlihat kesal. Ia langsung menuju kasir untuk membeli buku lalu keluar. Rere dan Dika selalu seperti anak kucing dan anjing kalau bertemu.

"Nanti kalau kamu kesepian, bisa telepon aku."

"Bukannya jadi anak mahasiswa baru akan sibuk, Ren?"

Rendi menggeleng,"Tidak kok. Aku selalu punya waktu untuk kamu, Li."

Andai yang bicara itu adalah Dika, mungkin aku akan bahagia.

"Ya, kamu tahu sendiri. Saat kamu masuk SMA, kita berpisah dan kamu sibuk sekali. Sekarang saat kita sudah satu sekolah, kadang saja kamu sibuk," ocehku pada Rendi.

Rendi mengacak poniku hingga tak beraturan lagi.

"Meskipun aku sibuk, aku tak mungkin bisa melupakanmu."

Namun sayang, ucapannya tidak bisa ia tepati. Rendi terlalu sibuk dengan kuliahnya yang berada di luar kota hingga perlahan hubungan kami mulai menghilang.

****

Hal yang paling aku ingat kedekatanku dengan Dika yang notebene dari kecil sangat pendiam, saat aku jatuh sakit di sekolah dasar. Maagku kambuh dan membuat Bunda panik, karena saat itu Bunda lagi rapat.

Alhasil aku dititipkan kepada ibunya Dika sampai Bunda menjemput, sambil menahan sakit dan meringis karena nyeri. Dika membaringkan aku ke pangkuannya. Ia mengusap kepalaku dan memijitnya. Semua perhatiannya membuatku senang.

"Kalau sakit, jangan diam. Katakan padaku, ya."

Aku berdehem pelan, tak kuat rasanya menahan sakit di ulu hati.

"Kamu jajan sembarangan, sih."

Kecerewetan Rere malah membuatku semakin sakit. Dasar sahabat nggak peka.

"Diamlah Re! Kamu itu buat Lili tambah sakit," omel Dika dan langsung Rere diam seketika.

Sampai detik ini, kenangan itu tak pernah kulupakan. Namun, semuanya telah berbeda. Seiringnya waktu mendewasakan kami, ia berubah dan bukan seperti Dika yang dulu. Hanya Rere yang selalu ada bersamaku. Sedangkan Rendi semakin sulit dihubungi.

Perlahan tapi pasti, Dika tak lagi bersamaku dan Rere melewati akhir pekan seperti janji yang pernah kami buat dulu. Ia lebih memilih menghabiskan waktunya dengan seorang gadis manis, teman sekampus dan memilih menghindar jika bertemu.

*****

"Kamu yakin mau pergi, Li?"

Sore ini aku menemui Rere di sebuah kafe dekat kampus. Aku berpamitan padanya untuk pergi melanjutkan kuliah di luar negeri.

"Apa Dika tahu perasaanmu?"

"Iya dia tahu, Re. Namun, ia tak bisa menerimaku."

"Dasar cowok bodoh! Si Jesi udah meninggal, masih aja diingat," umpat Rere yang kesal.

"Sudahlah, Re. Jangan dibicarakan lagi. Biar Jesi tenang di sana," ujarku memberi pengertian pada Rere yang tak suka melihat Dika terlalu tenggelam dalam dukanya.

"Lalu kamu mau pergi ke sana sama Rendi?"

Beberapa tahun tak bertemu Rendi, kami dipertemukan di rumah sakit saat Jesi dirawat. Kami memulai lagi persahabatan yang lama tak terjalin.

"Iya, aku dan Rendi akan kuliah di tempat yang sama. Apa kamu mau ikut, Re?" Aku menawarkan pada Rere untuk kuliah di sana.

Rere hanya menggeleng. Aku tahu ia berat meninggalkan ayah dan ibunya. Apalagi Tante Voni sedang sakit. Rere memilih kuliah di dalam negeri.

Sebenarnya, akupun ingin di sini. Namun, jika aku tetap tinggal maka kesedihanku tak akan hilang untuk melupakan Dika.

"Berapa lama kamu akan pergi, Li?" tanya Rere dengan sedihnya.

"Entahlah Re, sampai aku menuntaskan kuliahku."

"Aku harap Rendi bisa menjagamu di sana. Jangan lupa selalu hubungi aku, ya."

Kami saling berpelukan, selama ini aku dan Rere tak terpisahkan. Kami bukan lagi sahabat melainkan saudara.

"Hati-hati, gadis usil." Rere menyeka air matanya sambil mengejekku.

"Iya kamu juga, Re. Jangan banyak makan. Nanti tidak ada pangeran menyapa," balasku disertai tawa.

Mungkin ini yang terbaik baikku. Pergi untuk sementara melupakan peristiwa tersebut.

\=Bersambung\=

Dukung saya dengan memberi vote dan komen. Kalian boleh kok promosi karya di kolom, nanti saya kunjungi satu persatu. Saling mendukung. Terima kasih semuanya.

Terpopuler

Comments

Mulyanthie Agustin Rachmawatie

Mulyanthie Agustin Rachmawatie

Yach mmg itu jln terbaik utk melupakan seseorg , pergi utk melupakan nya...😞

2023-01-07

1

🐝⃞⃟⃝𝕾𝕳Simple Hayati

🐝⃞⃟⃝𝕾𝕳Simple Hayati

lanjuuuut.....

2020-09-18

1

Linne

Linne

lanjut lagi

2020-08-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!