Kamu anak pelakor

...Sekedar mengagumi, tapi tidak berharap untuk memiliki...

...~Dara~...

Jangan tanyakan posisi Galang seperti apa, Dara saja meringis sakit melihat model Galang. Motor besarnya itu sudah menindih badan kekarnya dan kepala sudah jatuh ketanah.

“Butuh bantuan?” tawar Dara, seraya maju mendekati Galang.

Galang membuka kaca helmnya, karena suara itu tidak asing. Galang sudah memasang wajah dinginnya kepada Dara.

“Nggak!” balas Galang cuek.

Dalam keadaan begini masih saja mempertahankan egonya, nggak mungkin lah ia harus ditolong sama cewek yang sering ia bully.

Dara tersenyum tipis, ternyata lelaki didepannya itu sangat-sangat sombongg.

Tapi Dara masih mengulangi tawarannya untuk kali ini, kalau ditolak, yaudah dia akan pergi.

“Jangan jual mahal jadi orang, masih bagus saya berbaik hati nolongin. Sini, tanganmu!” pinta Dara, sambil mengulurkan tangannya.

“Emang gua kayak Luh, yang muraaah?!” ejek Galang, sambil menaikkan alis sebelah.

Dara masih diam, mencoba tidak mendengar ejekan Galang kepadanya. Sekarang Dara harus menurunkan egonya kalau berhadapan dengan manusia kulkas seperti Galang.

“Hmm, terserah mau bilang saya apa, yang penting niat saya baik nolongin.” Dara masih terus mengulurkan tangannya.

“Cihhh!" decih Galang. “Sana, tarik tanganmu. Aku nggak butuh ditolong, apalagi dari Anak Pelakor!” ucap Galang sinis.

Dara membulatkan matanya, sehabis itu menarik kembali tangannya. Ia menundukan pandangan yang sudah buram, rasanya begitu pedih. Tapi Dara nggak boleh sedih pada kebohongan itu.

Aldara Putri itu sudah berjalan masuk ke sekolah dengan mendorong sepedanya ikut masuk. Perkataan Galang membuat mood wanita berjilbab itu jadi diam membisu.

“Kena mental, 'kan? makanya Galang mau dilawan.” Galang tersenyum puas melihat perubahan wajah Dara yang terlihat sedih.

Bukannya merasa bersalah, malah ia senang atas penderitaan Dara membuat ia merasa begitu senang, sampai-sampai posisinya masih tertimpa Motor.

Galang menggeleng-gelengkan kepala, habis itu langsung bangun dan menjajarkan dirinya dengan motor tersebut.

Sedangkan disisi lain, Satpam itu sudah menutup gerbang sekolah. Disisi lain, Galang berjalan santai sambil mendorong motornya.

“Gue telat?” tanya Galang tak percaya.

Galang melirik arlojinya, bahwa sekarang sudah jam 08.00. Mata dingin itu sudah membulat sempurna. Pantesan gerbang sudah ditutup, sudah jam keramat!

“Pakk, buka gerbangnya, saya mau masuk!” ucap Galang tegas.

Satpam itu mengangguk.

Gerbang itu telah dibuka, tapi Satpam itu terlihat khawatir.

“Tapi Den, nanti saya dihukum kalau biarin siswa masuk.”

Galang hanya menatap datar sang satpam, dan langsung merogoh sakunya untuk uang tutup mulut.

“Kalau ini?” tanya Galang, seraya memperlihatkan uang merah satu lembar.

Satpam itu menggaruk tengkuknya. “Kalau itu mah, beres Den. Den langit boleh masuk,” katanya.

Galang langsung memberikan uang itu kepada satpam dan segera pergi ke parkiran untuk menyimpan motornya.

Setelah selesai, Galang berjalan mengendap-endap melihat kelasnya yang sudah masuk, dan sudah ada Bu Guru Tini mengajar matematika untuk kelas sini.

“Sttt?” Galang bersiul pelan, sambil melambaikan tangannya keatas agar teman the Genknya itu melihat kearah pintu.

Satria dan Bima menoleh kearah Galang diluar.

“Bos telat,” bisik Bima kepada Dodi.

Dodi yang dibisik itu langsung melihat keluar bahwa Galang memang telat, serta tangan ketuanya itu kayak berdadah selamat tinggal.

“Dadah Boss!” ucap Dodi sambil berdadah kearah Galang.

Hahhhh?

Sorot mata langsung menatap Dodi, apalagi Bu Tini sudah memasang wajah masam.

“Kamu dadah siapa Dodi?” tanya Tini, “ohh yah, murid pembuat onar itu kemana? kemana Bos kalian?”

Dodi merutuki kebodohannya. Waduuh, bisa bahaya kalau Galang dihukum karnanya!.

Galang sudah bersembunyi didinding kayak cicak yang sedang menempel. Momen yang lucu sih, Pria dingin itu takut pada guru matematika.

Bukan takut pelajarannya, tapi sama orangnya! yah, Galang takut sama Bu Tini yang terkenal sangat cerewet kayak cewek.

Lahh, emang cewek, 'kan? bedanya Bu Tini sudah ibu-ibu anak dua.

“Ahh ti-tidak Bu,” jawab Dodi gagap.

Kedua temannya sudah menaruh kepala didjidat, emang Dodi ni agak lainn.

“Hmm Ibu tanya, mana Bos kalian Dodi?” tanya lagi Tini, yang memang baru menyadari muridnya kurang satu.

“Ka-kami nggak tahu.” Ketiganya menjawab serempak, membuat siswa-siswi itu cekikikan sendiri.

“Bohong!” sanggah Tini, “wahh kayaknya ada bau parfumnya nih, tapi mana orangnya?”

Sontak Satria, Dodi dan Bima saling pandang, dan langsung menutup mata Mereka ketika Bu Tini berjalan pelan keluar.

“GALANGGG!” teriak Tini.

Teriakan itu sangat membuat telinga tuliii. Galang hanya bisa tersenyum kikuk kepada Tini, yang sudah menjewer telinganya sebelah.

“Aihhh kasihan calon jodoh gua, Bu!” ucap Rara, wanita tercantik dikelas..

Ingat, dikelas! bukan sekolah:)

“Aiss, dijewer aja belum hilang tampannya.”

“Seketika kulkasnya mencair dijewer Bu Tini!”

“Nggak papa dong, malahan ini sangat manis. Foto ahh, gemes banget wajah Galang!” puji cewek lain, seraya ingin mengambil gambar.

Galang menatapnya tajam, Satria yang melihat itu langsung berdiri menghalangi wanita itu agar tidak mengambil gambar wajah Bosnya.

Mereka bertiga sangat tahu betul, kalau Galang tidak suka ada yang memotretnya apalagi saat begini. Memang Galang sangat anti kamera, ponselnya saja tidak ada satupun foto disana.

“Loh, Satria?”

“ Yah, nggak usah difoto. Kamu masih sayang ponselmu,'kan? jadi nggak usah cari masalah!” ucap Satria tegas.

Siswi itu langsung terlihat takut, dan langsung memasukan lagi HP-nya kedalam tas.

“Sampai mata pelajaran Ibu, kamu berdiri disitu!” Tini menunjuk disamping mejanya.

Galang hanya mengangguk mengiyakan ucapan Bu Tini. Biarpun nakal, ia mempertanggung jawabkan kesalahannya.

‘Ckk awas kamu, Dara! aku akan memberimu pelajaran.’ Galang membatin geram mengingat Dara lah yang salah.

.....

“Beli, tidak. Beli tidak beli tidak, beli!” ucap Dara seraya menimang-nimang keinginannya untuk membeli nasi kuning.

“Nggak papah, beli aja Dar, tapi besok-besok jangan beli lagi!” ucap Dara berbicara sendiri.

Hingga begitu yakin, Dara gegas berjalan kearah kantin untuk membeli nasi kuning. Selama Bunda Maria pergi, ia harus pintar menabung. Untuk makan saja ia harus meluangkan waktu istirahatnya untuk bekerja di kafe. Gajinya lumayan untuk ia bagi sebagian bayar uang khas kelas, sebagian juga untuk makan sehari-hari.

Dara hari ini memang belum sempat untuk masak dirumah, karena semalam ia pulang dari kafe sudah jam sepuluh malam, ditambah lagi ia harus mengerjakan tugas sekolah. Akhirnya Dara lambat bangun dan tidak sempat untuk masak.

Kakinya melangkah takut sih, Kantin Buk Marni itu banyak siswa-siswi yang sudah menempati tempat duduk. Bukan cuman itu, Dara sebenarnya malu harus melewati laki-laki disana. Tak henti-hentinya mereka menatap Dara, Dara hanya bisa menunduk.

‘Allahu laa ilaha ilaa huwal hai-yul qai-yuumu laa ta'khudzuhu sinatun walaa naumun lahu maa fiis-samaawaati wamaa fiil ardhi man dzaal-ladzii yasyfa'u 'indahu ilaa biidznihi ya'lamu maa baina aidiihim wamaa khalfahum walaa yuhiithuuna bisyai-in min 'ilmihi ilaa bimaa syaa-a wasi'a kursii-yuhus-samaawaati wal ardha walaa ya-uuduhu hifzhuhumaa wahuwal 'alii-yul 'azhiim.’ Dara melafalkan Ayat kursi dalam hati, saat melihat ada Langit and the Genk.

Dara semakin berdebar-debar saat Galang berdiri mendekatinya dikantin Buk Marni.

“Habis ini, temuin gue di lapangan.” Galang berucap pelan, habis itu kembali di tempat duduknya.

Degh!

Jantung Dara berdetak mendengar suara Galang yang begitu dekat.

‘Jangan ya Allah, hamba tidak sanggup jatuh terlalu dalam dengan rasa ini!’ batin Dara.

Siapa yang nggak baper sih mendapat perlakuan begitu, tapi Dara juga sadar diri dia nggak boleh punya rasa seperti ini.

Dara menggelengkan kepalanya.

Buk Marni yang terus memanggil Dara tapi tidak digubris remaja itu, terpaksa Marni menyentuh lengan Dara.

“Dara?” panggil Marni sekali lagi, “Neng Dara, ini nasi kuningnya.”

Dara terlonjak kaget, seraya tersenyum. “Ohh iya Buk. Ini uangnya,” ujar Dara.

Dara memberikan uang lima ribu kepada Buk Marni.

“Makasih Neng,” kata Marni.

Dara tersenyum ramah seraya mengangguk. “Sama-sama, Buk.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!