BAB 4

Sorot mata Arkana tajam bak elang pemburu yang mengintai dengan seksama, menukik dan berkelebat cepat dari balik jendela kaca. Arka tersenyum sinis, seakan siap menerkam mangsa yang tengah dibidiknya.

Di sisi lain, Kanaya tenggelam dalam dunia bacanya, tak menyadari sepasang mata Arkana yang terus mengawasi setiap gerak-gerik Kanaya.

Kanaya sungguh tak sadar saat, sepasang mata tajam Arkana Wibowo terus menguntit dari balik jendela kaca, mengawasi gerak gerik Kanaya.

Kekesalan tampak jelas tersirat dari mata Arkana. Entah mengapa Arka merasa jika apa yang terjadi diantara dirinya dan kanaya selalu kebetulan. Seakan telah direncanakan Tuhan. Kening Arka berkerut, menajamkan pandangannya ketika, Arka menangkap sosok Mahasiswa tingkat akhir berjalan kearah, Kanaya. Yang tampak asyik dengan kesendiriannya di bawah pohon beringi tua itu. Seperti orang sedang bersemedi.

Mata Arka tak beranjak dari gadis bermata bulat itu, Ia tampak menikmati, rambut hitam Kanaya yang panjang tergerai bebas, tertiup angin. Matanya yang tajam terus menelusuri setiap kata dalam buku yang dibacanya, sesekali bibirnya melafalkan kalimat yang dibaca. Ia duduk bersila dengan tenang, tak peduli dengan pandangan orang sekitar.

Panji yang berjalan menuju gadis itu, tampak melambaikan tangan pada Kanaya dan duduk di sampingnya. Pria itu pun terlihat memberikan satu bungkus coklat pada Kanaya. Terlihat jelas dari balik jendela, tangan Panji hendak membenahi rambut Kanaya, namun gadis itu dengan cepat menjauhkan wajahnya. Tak hanya itu, Kanaya pun lalu menangkap tangan panji dengan cepat. Panji menyipit. Begitupun dengan Arka yang tengan mengintip.

"Kenapa?" tanya Panji heran.

"Jangan menyentuhku lagi, jika tak ingin, tanganmu dipatahkan oleh Mas Faruq," ujar Kanaya dengan jelas.

"Haaa..." Panji terkekeh mendengar ucapan Kanaya.

"Kenapa tertawa?, aku serius, Kak?" ujar Kanaya dengan wajah seriusnya.

"Hoh, baik lah. Aku tak akan menyentuhmu tanpa seizinmu," 

"Hem, itu baru pria sejati," ujar Kanaya sambil menggigit coklat pemberian Panji.

Pria itu pun lalu bercerita. Mereka tampak terlibat dalam percakapan yang serius, namun Kanaya tak henti membaca bukunya. Arka menyipitkan matanya, semakin penasaran dengan gadis aneh itu."Ada apa dengan gadis itu, kenapa Panji juga terlihat begitu serius berbicara dengannya?" pikir Arka, ia merasa semakin penasaran.

Keasikan ngobrol mereka pun tak terasa jika waktu masuk kelas telah tiba. Kanaya bangkit dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan Panji sendirian.

"Dek, nanti pulang, Kuantar ya?" pekik Panji pada kanaya, Kanaya menoleh, lalu menggeleng.

"Aku dijemput Mas Faruq," tolak Kanaya.

"Oh, ya sudah. Kalau gitu, nanti kita makan siang bareng pas jam istirahat," ajak Panji lagi. Kanaya mengangguk.

"Hoh, baiklah," ujar Kanaya lalu melambaikan tangannya, ke arah panji.

Seusai mata kuliah Bu Wati, para mahasiswa langsung menuju kantin untuk mengisi tenaga di waktu istirahat makan siang. Sesuai janjinya, Panji segera menghampiri kelas Kanaya agar bisa makan siang bersama.

Kantin kampus dipenuhi suasana riuh, bahkan dosen-dosen turut menyemarakkan keramaian tempat itu. Semua ingin mengganjal perut sebelum menunaikan ibadah shalat Dzuhur.

Dalam keriuhan kantin, Kanaya berjalan dengan gelas teh es di tangannya. Tapi, takdir buruk menimpanya ketika ia tak sengaja terdorong oleh kakak tingkatnya yang terpeleset tepat di belakangnya. Akibat kejadian itu, teh es yang dibawanya langsung tercebur ke kepala Arka. Arka yang sedang asyik berbincang dengan teman sesama dosen, tiba-tiba merasa sensasi dingin dan basah yang menghujam kepalanya. Keningnya berkerut, lalu ia melirik ke atas dan menyadari bahwa badai teh es dari Kanaya telah menggenangi rambut serta bajunya. Atmosfer kantin seketika berubah tegang, semua mata tertuju pada mereka. Hingga dosen yang lainpun ikut terciprat air teh es yang tumpah.

Kanaya terpaku, tersadar atas kekacauan yang tak sengaja ia ciptakan. "Kanaya!" teriak Arka dengan nada tinggi, kesal dan basah kuyup. "Apa-apaan ini?" Dalam kepanikan, Kanaya segera menyampaikan permintaan maafnya. "Maaf, Pak Arka! Aku tidak sengaja terdorong. Biar aku bantu bersihkan," ujarnya dengan wajah cemas. Arka menghela napas panjang, mencoba menahan amarah yang memuncak. "Tidak usah. Tak perlu, saya bisa sendiri," ucapnya seraya menahan ledakan emosi yang ingin meledak. Dengan langkah tegas, ia berjalan menuju kamar mandi. "Dasar, gadis ceroboh," omel Arka dengan geram.

Beberapa mahasiswa yang menyaksikan insiden itu menatap mereka dengan ekspresi simpati dan keheranan. Sementara itu, Kanaya terus merasakan beban rasa bersalah yang menghantui pikirannya dan berharap Arka dapat memaafkannya kali ini.

Kanaya mematung, menatap punggung sang dosen. Kanaya merasa sangat bersalah. Raut wajahnya menunjukkan penyesalan yang mendalam. "Saya benar-benar minta maaf, Pak Arka. Saya akan ganti kemeja Pak arka," ucap Kanaya dengan suara lirih. Arka tak menyahut pria itu terus berjalan meninggalkan kantin. Panji yang baru datang dari kamar mandi pun  menatap Kanaya penuh tanya, karna gadis itu mematung dengan gelas kosong di tangannya.

"Ada apa ini..?" tanya Panji menatap orang di  sekelilingnya, yang tengah menatap Kearah kanaya. Tanpa berkata apapun Kanaya langsung menarik tangan Panji dengan terburu-buru. Setelah sampai di luar kantin, barulah kanaya berbicara.

"Kak, terjadi masalah besar" ujar Kanaya pada kakak tingkatnya itu.

"Ada apa?" tanyanya hawatir.

"Aku tak sengaja menyiram Pak Arka dengan teh es, sekarang rambut dan bajunya basah kuyup," rengek Kanaya dengan mata penuh rasa takut. Panji terbahak mendengar ucapan Kanaya.

"Kok bisa sih Nay, kamu selalu buat masalah dengan Pak Arka?, dulu kamu nampar Beliau, kemaren barusan jatuh nabrak Beliau, dan sekarang kamu nyiram Pak Arka pakek teh es...? Naya..Naya..." Panji terus terkekeh melihat wajah pucat adik tingkatnya itu.

"Ah sudah lah, entah kenapa aku selalu saja sial, jika bertemu, Pak Dosen satu itu," ujar Kanaya geram," ayolah temani aku, sebelum mulut naganya menyemburkan apa," ujar Kanaya menarik tangan Panji. Panji pun menuruti permintaan Kanaya. Sesampainya di sebuah butik tak jauh dari kampus, Kanaya pun memili-milih kemeja yang cocok untuk Pak Dosennya.

"Kak kalau ini bagus enggak? Kira-kira Pak Arka mau gak ya?" tanya Kanaya meminta pendapat Panji.

"Iya, ini bagus Dek. Kakak rasa, cocok sama Pak Panji, warnanya juga lembut," ujar Panji. Kanaya pun lalu membungkus kemeja dan membelikan satu handuk kecil untuk mengeringkan rambut Arka.

Selesai membelikan kemeja ganti, Kanaya izin pada Panji untuk keruangan Pak Dosen killer itu.

"Mau ditemani gak, Dek?"tanya Panji pada Kanaya. Kanaya menggeleng,"gak usah Kak, aku sendiri saja, takut Pak Arkannya jadi sungkan nerima kemeja gantinya, jika bareng Kak Panji,"ujar Kanaya, memberi pengertian pada Panji.

"Oke, kalau gitu Kakak langsung ke mushola saja ya Dek,sebentar lagi adzan dzuhur soalnya," ucap Panji.

"Hem," Kanaya pun mengangguk. Perlahan Kanaya mengetuk pintu ruangan Arka.

"Masuk"

Kanaya menghela napas sejenak, lalu membuka pintu ruangan Arka dengan perlahan. Begitu melihat sang dosen, Kanaya menggigit bibir bawahnya untuk mengumpulkan keberanian."Mau apa lagi, Kanaya?" tanya Arka tanpa menoleh, tetap fokus dengan berkas-berkas di meja kerjanya."Begini, Pak... Kanaya ingin mengembalikan kemeja yang tadi terkena tumpahan teh es," ujar Kanaya sambil menunjukkan kemeja yang sudah dibungkus rapi di dalam plastik.

"Ini kemeja penggantinya, Pak."Arka menoleh, ekspresinya masih datar. 

"Oh, gitu ya?. Tapi seharusnya kamu tidak perlu repot-repot membelikan kemeja  pengganti." Kanaya tersenyum tipis. 

"Tapi, ini sebagai bentuk permintaan maaf Kanaya, Pak. Semoga Pak Arka tidak keberatan menerima kemeja ini. Lagi pula, sebentar lagi adzan dzuhur, tak mungkin Pak Arka shalat dengan kemeja basah dab bernoda," Dosen tersebut mengangguk pelan, lalu menerima kemeja pengganti dari tangan Kanaya. 

"Baiklah, terima kasih. Permintaan maafmu sudah saya terima. Sekarang, kamu bisa keluar dari ruangan saya." usir Arka dengan tegas. Kanaya menelan ludahnya serat menatap sang dosen yang tetap bergeming di kursinya.

"Tunggu apa lagi, hem?" tanya Arka menatap Kanaya yang tak kunjung keluar.

"Saya akan keluar, setelah pak arka mengganti kemeja Pak Arka yang basah itu," ucap Kanaya seakan mencicit.

"Hah, kamu ini terlalu keras kepala," ujar Arka, akhirnya bangkit dari kursinya dan lalu masuk ke dalam WC yang ada di ruangannya.

Tak lama Arka pun keluar dengan kemeja biru baru yang tampak pas di badan Arka.

"Sudah, kamu puas. Keluar lah," Kanaya bukannya keluar,gadis itu dengan takut-takut menarik kemeja yang kotor dari tangan sang dosen.

"Apa lagi?!" tanya Arka dengan suara naik satu oktaf.

"Berikan sama saya kemeja kotornya, saya akan bertanggung jawab mencucinya,hingga bersih" ujar Kanaya terdengar begitu tulus.

"Kamu tak perlu melakukannya, saya bisa mencucinya sendiri," ujar Arka dengan tegas.

"Tidak pak, saya yang akan mencucinya," ucap Kanaya bersikeras, lalu memasukkan kemeja abu muda itu ke dalam paper bag butik. Arka menghela nafas, menatap mahasiswinya yang super aneh itu.

"Heh, ngidam apa ibunya waktu hamil?" gerutu Arka dalam hati, sembari terus menatap mahasiswinya itu. Kanaya tersenyum kaku lalu memberi hormat singkat dan berlalu keluar dari ruangan dosen tersebut. Ketika pintu tertutup, Kanaya menghembuskan napas lega. Ia merasa berat beban di pundaknya terangkat bebas. Arka menghela nafas. Lalu dosen tampan itu membanting bokongnya ke kursi kerjanya.

Terpopuler

Comments

Dedi Pedi

Dedi Pedi

haha benci jadi cinta ni lama lama

2024-07-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!