BAB 3

Ruang tamu terasa hening, Kanaya perlahan duduk di sebrang kakak tingkatnya yang merupakan asisten dosen.

"Gimana lukamu masih sakit?" tanya Panji, penuh keprihatinan, melihat kening adik tingkatnya yang benjol."Oh Alhamdulillah, udah mendingan. Kak Panji, tau dari siapa kabarnya...?" ucap Kanaya menatap malu pada Panji yang tampak peduli padanya."Tadi kebetulan, ke ruang kesehatan memintakan alkohol dan antiseptik untuk Pak Arka, jadi petugas kesehatan yang memberi tahu" ucap Panji sambil memperhatikan kening Kanaya yang benjol.

"Oh, makasih ya Kak, sudah peduli," ujar Kanaya dengan tulus. Panji mengangguk dengan bibir melengkung, membentuk senyuman hangat yang membuat Kanaya merasa lebih baik.

"Apa masih sakit?" tanya Panji sambil mengusap kening Kanaya dengan lembut menggunakan kapas yang sudah diberi alkohol.

Kanaya menggeleng pelan, merasakan perih yang mulai berkurang. Kanaya pun terkesima menerima perhatian dari Panji. Al-Faruq yang tak sengaja melihat adegan itu, sontak berdehem, pria itu tampak tak rela ada pria lain yang menyentuh adiknya, dengan sembarangan.

"Sini biar Mas, saja," pinta Al-Faruq lalu mengambil kapas dari tangan Panji. Panji menelan ludahnya dengan tergagap.

"Oh, iya. Maaf" ucap Panji jadi merasa tak enak hati.

"Hem," sahut Faruq, sambil memberi jel yang Panji bawakan untuk Kanaya.

"Sudah malam, Kanaya harus beristirahat," ujar Al-Faruq secara tak langsung mengusir Panji untuk segera pulang. Kanaya melirik pada sang kakak. 

"Mas..." bisik Kanaya merasa tak enak pada Kakak tingkatnya itu.

"Gak papa Nay,. Aku juga mau pamit pulang," ujar Panji gegas. Kanaya menghela napas panjang, kemudian memandang kakaknya dengan bibir manyun. "Mas, kamu itu berlebihan deh. Kasihan Kan Kak Panjinya jadi ngerasa gak enakan," ujar Kanaya sambil memanyunkan bibirnya. Dia tahu kakaknya sangat overprotective terhadap dirinya, namun kali ini ia merasa Faruq terlalu keras pada Panji.

"Sapa suruh, dia berani-beraniya pegang pegang kamu, walau niatnya ngobatin lukamu, tapi tetap aja, Mas gak rela, adek Mas disentuh sembarang orang," ujar Faruq dengan tegas, ekspresi wajahnya penuh kekhawatiran dan kemarahan yang tertahan.

"Tapi Mas, kan cuma..." Kanaya mencoba memberikan penjelasan, namun Faruq langsung mengangkat tangan, menyela perkataan Kanaya."

"Gak ada tapi-tapian, Naya. Laki-laki itu punya sifat liar. Sekali dia bisa nyentuh kamu dengan mudah, besok dia akan mencoba hal baru," tegas Faruq, menatap mata adiknya dengan tajam.

Kanaya merasa terpojok, sekaligus bingung harus berkata apa. Di satu sisi, ia tahu bahwa Panji hanya ingin membantunya, tetapi di sisi lain, ia tidak ingin melawan kakaknya yang sangat ia sayangi.

Andai Mas Faruq-nya ,tahu jika, Panji memang dikenal sebagai pria baik dan sopan di lingkungan sekitarnya. Ia mememang memiliki pribadi yang lembut, berbeda jauh dengan, Mas Faruq-nya, yang memiliki sikap tegas karena jiwa kepemimpinan yang ada dalam diri kakaknya itu. Kanaya menghela nafas panjang, lalu berdiri dan mengajak Al-Faruq untuk makan malam bersama."Sudah lah, lupakan soal Kak Panji. Aya, mau makan, Nay lapar," ucap Kanaya lalu menarik tangan Al-Faruq untuk makan malam bersama seperti biasa.

"Hem," kekeh Al-Faruq melihat tingkah sang adik.

Kanaya baru saja selesai makan malam bersama keluarganya. Dengan langkah ringan, ia masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu kamar rapat rapat. Ia merasa ingin menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan teman chatnya di aplikasi OMI yang selama ini menjadi teman curhatnya. Duduk di pinggir ranjang. Kanaya mengambil ponselnya dan mulai membuka aplikasi OMI. Ia menemukan kontak teman chatnya yang menggunakan gambar burung elang sebagai profilnya.

Gadis itu, yang biasa menggunakan nama samaran 'Yaya', langsung mengirimkan pesan ke temannya tersebut."Belum tidur?" tanya Kanaya melalui pesan singkatnya.Tak lama kemudian, balasan dari teman chatnya itu datang.

"Belum ngantuk," jawabnya.Kanaya tersenyum tipis, merasa senang karena temannya juga masih terjaga.

"Oh, sama, aku juga belum ngantuk," ujar Kanaya dalam balasan chatnya.

"Lagi sibuk apa sekarang?" tanya Kanaya ingin tahu, ingin mengetahui kegiatan teman chatnya tersebut."Seperti biasa, sibuk dengan kertas-kertas," jawab teman chat Kanaya, membuat gadis itu semakin penasaran dengan kehidupan temannya itu.

Kanaya ingin mengetahui profesi apa yang tengah ditekuni teman chatnya itu. Lalu teman chatnya pun mengirimkan satu buah foto, tangan seorang pria yang tengah memegang pena, di meja kerja, dengan jam tangan masih melingkar cantik di pergelangan tangannya. Kening Kanaya berkerut, menelisik jam tangan yang dikenakan teman chatnya itu.

"Wau, dia bukan pria sembarangan. Dilihat dari jam tangannya saja, dia jelas pria mapan dan berkelas," batin Kanaya.Jiwa materialismenya mulai bergejolak.

"Oh, masih kerja jam segini...?" tanya Kanaya heran.

"Hem, jika tak dikerjakan tugas akan semakin menumpuk," balasnya.

"Oh, sungguh pria bertanggung jawab," puji Kanaya dalam balasannya. Teman chatnya pun lalu memberi setiker senyuman.

"Ooo...dia sungguh manis," batik Kanaya terus tersenyum sepanjang membalas chat.

Mereka pun melanjutkan obrolan mereka, saling bertukar cerita tentang kehidupan mereka masing-masing. Kanaya merasa nyaman berbicara dengan teman chatnya itu, seolah-olah ia bisa menceritakan apapun yang ada di hatinya, tanpa perlu merasa khawatir akan dihakimi atau dicemooh. Malam itu, obrolan mereka terus berlanjut hingga larut malam, saling mengisi kekosongan yang ada di hati masing-masing.

Keesokan paginya, Kanaya terbangun dengan perasaan cemas. Ia tidak ingin kejadian seperti kemarin terulang lagi. Pagi itu, Al-Faruq mengantar Kanaya ke kampus pukul 06.30, ketika suasana kampus masih sepi. Namun, ternyata Arka, dosen killer yang ditakuti mahasiswa, sudah tiba di kampus lebih awal. Bahkan belum ada dosen lain yang terlihat selain Arkana Wibowo, di kampus itu.

"Tumben kamu datang pagi," ujar Arka dengan nada sinis, seolah mengejek Kanaya yang dianggapnya aneh. Wajah Arka terlihat sangat puas melihat Kanaya merasa terintimidasi, olehnya. Karena Arka masih kesal dengan kejadian beberapa bulan yang lalu, saat Kanaya menampar wajahnya, didepan mahasiswanya, gara-gara Arka membuang ulat bulu yang menempel di celana kanaya tepat di atas bokongnya. Saat itu Kanaya benar-benar memaki Arka habis-habisan di depan mahasiswanya yang lain. Namun akibat kesalah pahaman itu, Arka benar-benar tak ingin berurusan dengan mahasiswinya itu.

"Em, iya Pak," sahut Kanaya dengan suara yang berusaha tenang, namun jelas terdengar gemetar. Arka semakin menyipitkan matanya, menatap dahi Kanaya yang penuh keringat dingin."Bagaimana kepalamu? Apa masih sakit?" tanya Arka dengan nada ketus, namun tampak jelas ada rasa peduli dalam setiap kalimat yang Arka lontarkan.

"Alhamdulillah, sudah baikan, Pak," jawab Kanaya dengan suara mencicit. Ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan rasa takutnya, namun jelas sekali bahwa ia masih terbayang-bayang kemarahan Arka padanya.

"Oh, baguslah. Semoga dengan benturan di keningmu itu, pikiranmu jadi waras,"ucap Arka.

Pria itu pun, tersenyum sinis, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang dosen, meninggalkan Kanaya yang berdiri terpaku di lorong kampus.

"Uh, dasar dosen Killer," gerutu Kanaya kesal.

Kanaya menghela napas lega, berharap hari ini ia tidak harus bertemu lagi dengan dosen yang super menyebalkan itu.

Terpopuler

Comments

Dedi Pedi

Dedi Pedi

haha dasar Dosen Killer, dia ikir Kanaya lagi oleg kaliai🤣🤣

2024-07-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!