KECANTOL DOSEN GALAK

KECANTOL DOSEN GALAK

BAB 1

"Astagfirullah..." Pria berhidung mancung itu terkejut bukan main, begitu merasakan lima jari mendarat tajam di wajah tampan Arkana Wibowo, yang tertutup slayer. Gadis bermata bulat itu, menatap pria berhidung mancung itu dengan penuh kemarahan dan rasa terhina. Karena merasa dilecehkan. "Dasar pervert! Bisa-bisanya kamu meraba bokongku," teriak Kanaya dengan suara melengking penuh amarah.

Arka menyipit, mendengar ucapan mahasiswinya itu. "Apa yang kamu katakan?!" Arka membantah dengan wajah memerah. Bagaimana tidak, dia dipermalukan di depan para mahasiswanya oleh gadis tak tahu berterima kasih itu.

"Hei! Jelas-jelas tanganmu yang meraba bokongku," semakin berang ucapan, Kanaya.

"Ya Tuhan, susah sekali berbicara dengan gadis tolol seperti kamu!" balas Arka, frustasi dengan tuduhan tak berdasar yang diterimanya. "Makannya kecilkan suara musikmu," ucap Arka dengan nada mengejek, kemudian menarik kasar handsfree dari telinga mahasiswi semester empat itu. Lalu, dengan tangan besarnya, Arka melemparkan handsfree, milik Kanaya ke semak-semak dan berlalu meninggalkannya dengan langkah tegap dan penuh amarah.

"Heh, dasar mesum...!" teriak Kanaya dengan penuh kekesalan. Gadis itu pun, lalu melemparkan botol air mineral ke arah Arka. Arka tak menggubris, pria berhidung mancung itu terus berjalan meninggalkan Kanaya, dan mahasiswa yang lainnya. Wajahnya merah padam menahan kekesalannya. Sementara itu, Kanaya segera memungut handsfree yang dilemparkan oleh Arka ke semak-semak tadi. Tak lama setelah kepergian Arka, Defi mendekati Kanaya dengan raut wajah kaget. "Nay, kamu menampar dia? Kamu gak tahu? Itu loh dosen baru kita, Pak Arka," ungkap Defi dengan nafas terengah-engah, memberi tahu temannya, tentang identitas Arka yang sebenarnya. Kanaya menatap Defi dengan kening berkerut.

"Apa...! Kamu serius, Def?" Defi mengangguk yakin.

"Ya Tuhan..." Kanaya sontak menutup wajahnya dengan kedua tangannya, merasakan kepanikan mulai menyergapnya.

"Kenapa kamu tidak kasih tahu aku, Def?" Kanaya mulai panik, setelah mengetahui bahwa orang yang ia tampar tadi adalah dosen barunya.

"Gimana aku mau kasih tahu, orang kamunya dipanggil gak dengar," ujar Defi tak mau disalahkan.

"Lagian tadi, kami dan Pak Arka sudah mencoba memanggil kamu, tetapi kamu tidak mendengar karena musik di earphone-mu terlalu keras. Pak Arka tidak bermaksud melecehkan kamu, Nay. Dia hanya ingin membantu menghilangkan ulat bulu yang menempel di celanamu, dan dia melakukannya dengan botol minum, bukan dengan tangannya langsung," jelas Defi, berusaha meluruskan kesalahpahaman antara Kanaya dan Pak Arka.

Kanaya menarik napas dalam-dalam, "Ya Tuhan, Def... Terus, aku harus bagaimana? Pasti Pak Arka sangat marah padaku," gumamnya dengan nada khawatir.

"Ya iya lah, dia marah. Kamu gak lihat, dia sampai buang handsfreemu?, Coba deh minta maaf pada padanya, Nay. Cepat kejar Pak Arka!" saran Defi dengan tegas. Kanaya pun segera mengejar dosen yang tengah berlalu dengan langkah terburu-buru itu.

Sejak kejadian itu, Pak Arka selalu terlihat kesal setiap kali melihat Kanaya. Dosen tersebut bahkan, tidak pernah menanggapi upaya Kanaya yang berusaha mendekat untuk meminta maaf. Sungguh, rasa bersalah di hati Kanaya semakin menjadi-jadi, dan ia bertekad untuk merebut kembali kepercayaan dosen barunya tersebut, dengan cara apapun.

Tiga bulan berlalu, setelah kejadian peristiwa memalukan itu, Kanaya terus berusaha, mendekati Arka untuk meminta maaf. Namin hingga detik ini, Kanaya belum juga mendapatkan maaf dari dosen killer itu.

Pagi ini, mentari menyilaukan mata. Menjadi pemantik rasa semangat pagi, bagi gadis bermata bulat itu. Kanaya bergegas ke kamar mandi, dengan pontang panting ia menyambar handuk yang tergantung di kamarnya.

Suara air yang mengguyur tubuh Kanaya terdengar keras menghantam lantai kamar mandi. Gadis bermata bulat itu terburu-buru mandi, hanya memastikan tubuhnya basah, karena jam sudah menunjukkan pukul 07.15.

Gadis itu terlambat bangun.

"Nay, sudah jam tujuh. Kamu belum bersiap juga? Mas tinggal, pagi ini Mas ada rapat di kantor. Ayo cepat jika ingin berangkat bareng," teriak Al-Faruk, kakak semata wayang Kanaya, dari ruang tamu.

"Bentar, Mas," sahut Naya sambil mencoba mempercepat gerakannya. Air yang mengucur dari shower membasahi rambut panjangnya, dan dia segera menggosok tubuhnya dengan sabun.Dalam hitungan menit, Kanaya sudah mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaian yang ia ambil asal dari tumpukan pakaiannya di dalam lemari. Rambut basahnya terlihat masih berantakan, namun dia tidak punya waktu untuk mengurusnya. Dia segera mengambil tas ranselnya dan berlari ke ruang tamu, di mana Al-Faruk sudah menunggu dengan kunci mobil di tangan. Al-Faruq terbengong melihat rambut Kanaya yang berantakan seperti sarang burung. Namun ia tak sempat untuk berkomentar, karna waktu yelah mendesak.

"Maaf, Mas. Aku telat bangun," kata Kanaya dengan napas terengah-engah. Al-Faruk mengangguk dan membuka pintu rumah, mempersilakan adiknya keluar lebih dulu.Mereka berdua bergegas menuju mobil, berharap tidak terlambat untuk rapat.

Di dalam mobil yang melaju menuju kampus, Al-Faruq tak berhenti mengomeli, Kanaya.

"Lain kali, tidur tepat waktu, kamu selalu begadang. Entah apa yang kamu kerjakan di malam buta, tidur hingga larut. Kalau kamu terlambat bangun lagi, Mas gak akan kasih ampun. Silahkan kamu pergi ke kampus naik angkutan umu," ucap Faruq, omelannya sudah melebihi, nenek lampir.

Sementara Kanaya, yang diomeli hanya tersenyum menggemaskan."Hum, maaf. Nay janji, gak telat bangun lagi," ucap Kanaya dengan polos sambil mendekap manja lengan kiri Mas Faruq-nya. Faruq melirik Kanaya, lalu mengusap lembut rambut adiknya Itu. Senyum Kanaya yang menggemaskan itu, membuat Faruq tak tega untuk terus marah.

"Kamu itu," ucap Al-Faruq, mencubit pipi Kanaya.Dalam perjalanan itu, Kanaya mencoba mengalihkan perhatian Faruq dengan bercerita tentang kegiatan kampus dan teman-temannya. Sedangkan Faruq mencoba melupakan kekesalannya dan menikmati momen bersama adik kesayangannya. Di tengah perjalanan, diwaktu genting sekalipun, mereka berdua masih bosa tertawa bersama.

"Turunlah cepat, belajar yang benar," ucapnya sambil bersiap menjalankan mobilnya.

"Terima kasih, Mas Faruq! jangan hawatir, pasti aku belajar dengan serius. Nay, janji besok bangun lebih pagi!" teriaknya sambil melambaikan tangan. Faruq tersenyum melihat adiknya yang bersemangat, lalu melambaikan tangan sebagai jawaban sebelum melanjutkan perjalanannya ke kantor tempatnya berkerja.

Kanaya berlari sekuat tenaga menuju kelas, napasnya terengah-engah dan rambutnya tergerai liar mengikuti langkah kakinya. Sambil berlari, ia menggenggam erat tasnya yang berisi modul. Gadis itu menyadari waktu yang sudah mepet, Kanaya terus berlari dengan cepat hingga tiba di depan pintu kelas.Dalam sekejap, Kanaya melangkah maju untuk membuka pintu, namun tak disangka, daun pintu itu tiba-tiba tertutup dengan cepat. Hingga daun pintu itu, menghantam kuat Kening, Kanaya.

Akibat dari hantaman itu, sontak tubuh Kanaya, terpental ke belakang.Namun anehnya, Kanaya tidak langsung jatuh.Tak diduga, punggung Kanaya justru menabrak dada bidang seseorang yang berada tepat di belakangnya.Akibat refleks tubuh yang tidak kuat menahan beban dan benturan, mereka berdua pun terhuyung ke belakang dan akhirnya terjatuh berhimpitan tepat di depan pintu kelas.

Kanaya berusaha bangkit, sambil memegangi kepalannya yang terasa sakit. Sat Kanaya mengangkat wajahnya, Kanaya sontak terkejut.

"Pak Arka..."

"Kamu..." ucap mereka berbarengan.

Kanaya, sontak berusaha bangun, menarik tubuhnya dari atas dada bidang Pak Dosen-nya. Dengan tubuh terhuyung, Kanaya berusaha berdiri.

"Ya Tuhan, bagaimana bisa aku seceroboh ini?"

pikirnya sambil menahan malu. Untuk saat ini rasa malunya lebib besar ketimbang rasa sakit di keningnya. Di sisi lain, Arka tampak terkejut dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Mereka saling melemparkan tatapan yang tampak canggung.

"Haa...apa yang harus aku katakan padanya?" batin Kanaya sambil mendekap erat tas ranselnya. Rasa kikuk kian menguar di antara mereka, membingungkan kedua manusia beda usia itu, yang berusaha mencari cara terbaik keluar dari situasi yang memalukan.

Lalu, Kanaya pun berinisiatif, mengulurkan tangannya untuk membantu Pak Dosen bangun.

"Saya bisa sendiri," ujarnya dengan wajah datar, dingin, dan terasa menakutkan.

"Dasar, ceroboh," omel Arka, menatap tajam pada Kanaya. "Kamu gak papa?" tanya Arka merasa sedikit khawatir, karna suara benturan di pintu tadi terdengar begitu keras. Arka pun kembali menatap mahasiswinya itu, sembari mengibaskan celananya yang kini kotor oleh debu lantai yang menempel.

Kanaya menggeleng cepat. "Ya, saya gak papa, Pak. Maaf, saya tidak sengaja," ujar Kanaya dengan suara mencicit malu yang terpancar di wajahnya. Karena menjadi tontonan teman satu kelasnya. Tampaknya gadis itu tak menyadari jika kepalanya benjol sebesar telur.

"Hoh, kalau begitu cepatlah masuk," ujar Arka, seraya berusaha menyembunyikan rasa khawatir. Namun, tiba-tiba, suara Arka kembali menggema. Saat melihat kening Kanaya memar, "tunggu," ucap Arka lagi. Kanaya menoleh, menatap Pak Dosen dengan perasaan canggung, penuh penyesalan dan ketakutan.

"Ya Pak, ada apa?" tanya Kanaya dengan suara lirih. Arka tak menjawab, ia malah mendekat dan menarik kepala Kanaya perlahan.Pria itu mengamati kening Kanaya dengan seksama. Tiba-tiba, jantung Kanaya berdegup kencang seperti kuda yang siap berperang.

"Ya Tuhan, apa yang akan dia lakukan," batin Kanaya ketakutan, nafasnya pun sesak, seakan oksigen di sekelilingnya terhisap habis. Sungguh Kanaya benar-benar merasa takut, saat bersentuhan dan berdekatan dengan seoran pria,"Pak, Bapak mau ngapain? Banyak yang lihatin," ucap Kanaya gemetar, sembari menunjuk ke arah pintu dengan bibirnya. Arka menoleh, menatap para mahasiswanya yang berdesak-desakan ingin menyaksikan peristiwa langka itu.

"Kalian lihat apa? Siapa yang menutup pintu tadi? Sampai mencelakai teman kalian, seperti ini?" ucap Arka dengan mata tajam dan wajah datarnya. Sontak, mereka kembali berlari masuk dan duduk di kursi mereka masing-masing, takut terkena amarah Arka. "Keningmu memar dan benjol. Pergilah ke ruang kesehatan," ucap Arka sambil memperhatikan wajah Kanaya yang tampak luka, kemudian Arka melangkah masuk ke dalam kelas.

"Tapi, Pak, telapak tangan Pak Arka, juga berdarah dan terluka," ucap Kanaya dengan wajah yang penuh kekhawatiran, sambil menunjuk luka di tangan Arka. Arka seketika menghentikan langkahnya, mengangkat tangannya untuk melihat luka yang Kanaya maksud. Tampaknya pria berjambang tipis itu, bahkan tidak menyadari luka yang ada di telapak tangannya sendiri. Arka menatap tangan terlukanya dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca, kemudian tersenyum tipis. 

"Oh, ini hanyalah luka kecil. Tak perlu dikhawatirkan, saya bisa mengobatinya sendiri,nanti" ujar Arka dengan suara lembut yang berusaha menenangkan. Namun, tanpa memberikan kesempatan kepada Kanaya untuk menanggapi, Arka pun kembali melangkah masuk ke dalam ruang kelas, meninggalkan Kanaya yang terpaku di tempat. Gadis itu terdiam, menatap pintu ruang kelas yang telah tertutup rapat, berusaha menentukan pilihannya: mengikuti Pak Arka dan melupakan luka benjol di keningnya yang semakin terasa sakit atau pergi ke ruang kesehatan untuk mengobati lukanya terlebih dahulu. Kebimbangan dan kecemasan, jelas terpancar dari rona wajah Kanaya yang menatap bingung pada daun pintu yang tertutup rapat.

Terpopuler

Comments

muna aprilia

muna aprilia

lanjut

2024-07-19

0

Anonymous

Anonymous

.

2024-07-08

0

Dedi Pedi

Dedi Pedi

Keren, aku suka

2024-07-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!