Berkenalan dengan Senopati

Hari ini aku berkunjung ke Desa Medang yang berjarak 45 KM dari kotaku, semenjak aku memasuki desa ini aku

sudah mulai jatuh cinta dengan suasananya yang masih asri. Di Desa ini padinya sudah mulai menguning menghampar dengan sedikit melereng ke atas. Persawahan dan desa ini berada dekat kaki gunung, jadi hamparannya tidak begitu datar.

Aku minta asisten rumah tanggaku mengeluarkan kamera dari dalam tasku yang ditentengnya, dan aku mulai mengamera diriku sendiri  kadang minta asisten mengabadikan semua momen itu, layaknya aku seorang vlogger.

Aku mulai berekspresi di depan kamera dengan latar belakang padi yang menguning, dan beberapa pohon pinus yang ditanam di kaki bukit. Kadangkala aku jadi pusat perhatian banyak orang, dan para penduduk ada yang minta tanda tangan.

Puas mengabadikan pemandangan lewat video camera, aku dan asisten rumah tangga lantas segera masuk mobil

untuk mencari tempat lain. Maka sebuah tempat pemuda yang sedang memanen jadi menarik perhatianku. Begitu aku berhenti, mata-mata mereka segera memandangku

lekat-lekat. Namun, lain halnya dengan seorang pemuda yang berdiri seorang diri di tenggara sana dia tak mempedulikan kehadiranku, terus saja bekerja.

“Ijinkan aku mengambil video, ya,” kataku pada mereka.

“Silahkan, Neng,” jawab mereka hampir bersamaan.

Puas mengambil video dengan para pemuda tani itu, aku kembali memperhatikan  pemuda yang tadi tak memperhatikan aku sama sekali, namun dia masih tak bergeming. Sibuk dengan pekerjaannya menghitung jumlah padi-padi yang siap dinaikkan ke dalam sebuah truk besar.

“Neng, Atuh memperhatikan Senopati terus dari tadi,” celetuk salah seorang pemuda yang memanen padi.

“Hati-hati Neng, dia gagah anak juragan sawah desa ini,” tambah yang lainnya.

“Belum punya pacar, Neng,” mari saya kenalkan. Ajak seorangnya lagi.

Aku jadi tersipu malu, mendengar celotehan para pemuda tani yang sedang panen itu. Jadi namanya Senopati dan

anak juragan sawah. Dalam sekejap aku naluriku mengatakan dialah orang yang aku cari selama ini.

“Seno!!! Kadiyek nyah, ada neng gelis yang mau kenalan,” kata salah seroangnya lagi tanpa aku aba-aba.

Aku hanya tersenyum-senyum saja mendengar bahasa indah mereka, bahas sunda yang kadang kala popular diucapkan di TV.

“Kadiyek, apa atinya, Mas” tanyaku penasaran.

“Jangan panggil Mas, Atuh Neng, kita urang Sunda, panggil Aa,” jawabnya.

“Iya, Aa,” jawabku.

“Kadiyek itu artinya kemarilah,” katanya menjelaskan singkat.

“Tapi Aa Senonya kok diam saja, disuruh ke sini,” tanyaku lagi.

“Dia, mah tak terlalu suka dengan wanita, kecuali cantik sekali kaya, Neng,”

Asisten rumah tangga yang kuajak sampai terpingkal-pingkal mendengar perkataan para pekerja di sawah itu.

“Baiklah sudah cukup, kita permisi dulu ya para Aa,” kataku akhirnya memutuskan.

Aku lalu membalikkan badan menuju mobil diikuti oleh asisten rumah tanggaku.

Saat aku sudha duduk di jok mobil aku melihat lagi ke arah Senopati, barulah aku sadar ternyata Senopati juga

sedang memandangku.  Bahkan seseorang di antara para pemuda yang memanen padi itu berlari-lari kecil ke arahku.

“Neng! Senopati mau kenalan,”  katanya.

Aku tentu terkejut dengan pemberitahuan itu. “Aku menunggu di mobil,”

Lalu salah satu pemuda itu bergegas berlari kecil ke arah Senopati. Lalu keduanya kembali berjalan ke

arahku.

Dari dalam mobil kuamati langkah Senopati yang berjalan ke arahku, wajahnya juga makin tampan ketika makin

mendekat ke arahku, kulitnya kuning langsat dengan sedikit kumis dan jenggot di dagu, perawakan yang terbilang tinggi.

“Saya Senopati Adi Raka,” katanya sambil mengulurkan tangan.

“Saya Feby Romansa, senang berkenalan dengan Aa,” balasku.

Lalu kami mengobrol sekitar kehidupan di desa ini, desa yang diceritakan penuh dengan kedamaian karena

dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang adil dan bijaksana.

“Jadi Aa Seno Kepala Desa di sini,” aku terperangah dengan pengakuannya.

Senopati mengangguk, “Aa nyambi sebagai Kepala Desa, terpilih menggantikan ayah yang mengundurkan diri,”

“Tapi mereka bilang Aa anak juragan sawah,” tanyaku makin penasaran.

“Betul, seluruh area sawah yang di sini milik ayah, namun saat ini pengurusannya diserahkan pada Aa saja, ia

terlalu sibuk sebagai anggota dewan tingkat provinsi,” kata Senopati.

Ternyata keluarga Senopati orang berada dan penguasa, tapi mengapa masih berpanas-panasan di area sawah ini

dengan berbaur dengan pemuda pekerja.

“Aa Seno kenapa mau ke sawah, apa kebetulan saja ada di lokasi” tanyaku lagi.

“Tidak Neng, ini Rutin Aa lakukan bila kegiatan di kantor Kades tak terlalu padat dan bisa diwakilkan. Sawah

bagian dari hidup Aa, tak boleh ditinggal karena itu dasar kehidupan dari dulunya, pamalih kata orang Cina,”

Ternyata kita ada persamaan, sama-sama mencintai sawah, bergetar rasanya hati ketika mendengar kalimatnya

barusan. Aku tatap matanya, mata itu balas menatapku dengan penuh pesona dan kewibawaan, dalam sekejap rasanya aku hilang di telan luasnya pandangan mata itu, aku merasa tiba-tiba jatuh cinta.

“Neng Feby seorang youtuber, ya” tanyanya tiba-tiba, menyentakan lamunanku.

“Seperti yang Aa Seno lihat, ini iseng saja,” jawabku.

“Neng hebat pisan, euy. Kata orang youtuber itu penghasilannya miliaran, perkerjaan impian para milenial,”

kata Senopati.

“Saya masih pemula Aa, belum monetisasi. Yang penghasilan miliaran itu kaya Ria Ricis, Atta Halilintar, Baim

Wong, Raffi Ahmad, yang sudah memiliki ribuan subscriber.”

“Boleh Aa tahu, nama akun youtubenya, Neng Feby,”

“Boleh,”

“Feby Romansa,”

Entahlah kenapa keakraban begitu cepat terjalin antara kami, inikah yang dinamakan jodoh itu. Cinta ini rasanya

telah ditabur dihatiku oleh pemuda itu. Entah kenapa aku juga merasakan Senopati juga mempunyai perasaan yang sama. Berkali-kali ia menatapku lekat-lekat seolah-olah kita sudah kenal sebelumnya.

“Neng Feby usianya, berapa,” tanya Senopati lagi.

“Aku, masih 16 tahun,”

Dia agak terkejut mendengar jawabanku, mungkin saja penampilanku agak sedikit dewasa dengan berbalut jilbab

seperti ini.

“Aa kira sudah lulus SMA,”

“Aku masih kelas 10,”

Iya hanya mengangguk saja, lalu memperhatikan mobil milikku dan juga asisten rumah tanggakku.

“Aa sudah berapa tahun,” tanyaku padanya.

Jika dilihat dari tampilannya bisa diterka dia sedang menjalani sebuah perkuliahan, tapi dia sudah menjabat

kades dalam usia semuda itu.

“Aa sudah 24 tahun,” jawabnya.

Sebuah kekaguman kembali menyelubung di hatiku, di usia semuda itu tanggung jawabnya sudah sangat besar

sebagai kepala desa. Kalau berjodoh dalam seusia itu pasti jodohnya berumur sekita 16-20 tahun nantinya. Mudah-mudahan orang itu aku.

Tanpa kusadari sudah satu jam aku mengobrol dengan Senopati, waktu yang cukup lama di awal berkenalan tapi tidak begitu terasa. Orang bilang itu salah satu pertanda bahagia menjalani kehidupan, waktu berjalan tanpa beban. Perkenalan yang diawali dengan indah dengan seorang bernama Senopati. AKhirnya aku berpamitan juga, walau masih ingin rasanya mengobrol lebih lama lagi. Aku berharap kisahku dengannya akan berlanjut lebih jauh lagi, aku tentu dengan sangat senang menunggunya.

 

 

bersambung....

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!