Di Tepi Hamparan Sawah

Tampan Menawan kembali menatapku, bahasa mata itu seolah-olah ingin aku meralat ucapan yang sudah terlontar tadi. Bahwa aku harus menerima permintaan maafnya, bukan dengan menolaknya secara halus begitu. Hanya matanya yang terlihat di balik masker, selebihnya tertutup. Tapi tatapan mata itu lebih halus lagi, lebih lemah lagi, lebih lembut lagi. Seolah mata seorang kekasih yang sedang mengagumi pasangannya.

 "Dia tulus meminta maaf, terimalah..." bisik Bu Risma padaku.

Aku mengangguk pertanda setuju, aku akhirnya pasrah saja.

"Aku terima permintaan maaf Tampan," kataku kemudian.

"Maafkan aku," kata Tampan sambil mengukurkan tangan.

"Iya. Kamu tak bersalah," Aku membalas uluran tangan itu.

Genggaman itu walau sekejap namun terasa sangat mesra, mungkin permintaan maaf itu berasal dari hati yang begitu tulus.

"Terimakasih," jawabnya pelan.

"Terimakasih Feby," kata ibunya menyela.

"Sama-sama, Bu,"

"Kami pamit dulu,"

'Iya, Bu,"

Mereka berdua akhirnya melambaikan tangan, dan pulang, aku hanya terharu melihat ketulusan mereka berdua.

***

Di tepian hamparan sawah yang masih hijau, aku tak henti-hentinya memandang pesona keindahan pagi menjelang siang itu. Perputaran roda jaman membuat banyak yang berubah di permukaan Bumi ini. Walau masih tergolong pagi hari, hawa panas sudah mulai terasa, untunglah angin cukup semilir membelai tubuh ku dan Bu Risma yang menemaniku.

Nun jauh di sana Gunung Salak masih berdiri dengan kokohnya, puncaknya kelihatan mulai dilingkup oleh awan yang putih-putih menggumpal membentuk boneka. Setiap kali memandang awan berbentuk boneka, saat itu pula aku mulai melayangkan ingatan pada masa kecilku dulu. Aku mempunyai dua boneka hadiah ulang tahunku yang ke lima. Boneka itu sepasang, satu menyerupai boneka wanita satu lagi menyerupai pria. Boneka itu kiriman hadiah ulang tahunku dari Tanteku yang di jepang. kedua boneka itu berbaju putih menyerupai awan, dan boneka itu hilang begitu saja dari rumah, aku sudha mencari-carinya tapi tak bertemu.

"Apa yang kamu pikirkan, Feby,"

Pertanyaan Bu Risma menyentakkan lamunanku tentang boneka masa silam milikku.

"Aku memikirkan keindahan alam milik Sang Pencipta," jawabku berkelit.

Aku kembali mengamati para petani yang sibuk menyiangi sawah mereka, tak terbayangkan susahnya pekerjaan seperti itu. Apalagi mereka masih memakai cara yang manual. Tak terperikan besarnya jasa para petani tersebut. Beberapa petani mulai tampak memasang bebegik pengusir burung, walau padi masih hijau dan baru mengandung bulir-bulir.

"Semoga panen mereka melimpah dan bebas dari hama," kataku pada Bu Risma.

"Amin, jasa mereka sungguh mulia, tulus dan penuh keiklasan" jawabnya pelan.

Entah mengapa perkataan Bu Risma yang barusan membuat aku teringat akan Tampan Menawan, dia penuh dengan ketulusan dan keiklasan dengan permintaan maaf, berarti hatinya juga sungguh mulia, pikirku.

Terbersit keinginanku untuk menanyakan pada Bu Risma, bahasa tubuh Tampan selama dua kali berkunjung ke rumah, dan di tepian hamparan sawah ini aku baru menyadarinya.

"Bu. Setulus apa Tampan dan Ibunya meminta maaf padaku," tanyaku pada psikolog itu.

Bu Risma hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku, entah apa maksud senyuman itu. Iya kau tahu saat ini waktunya refreshing dan melupakan segalanya, tapi tatapan mata tampan yang sangat lembut itu tentu perlu juga kuutarakan pada Bu Risma, untuk mencari makna dan penjelasannya.

"Setulus cinta yang terpatri di hatinya," jawab Bu Risma kemudian.

"Apa?"

Aku hampir terhenyak saking tak percaya dengan jawaban Bu Risma ini. Aku tak sudi kalau harus dicintai oleh seorang Tampan Menawan, meski ia anak konglomerat sekalipun.

"Dia mulai mencintaimu, Si Tampan,"

"Sejak kapan,"

"Sejak kamu mulai hadir dalam setiap mimpinya,"

Sebenarnya aku tak ingin mendengar itu terlontar dari mulut Bu Risma, tapi...

"Ibu tahu dari mana,dan mengapa ini bisa terjadi,"

"Dari gerakan badan dan cara memandang dan bertutur," jawab Bu Risma.

Ohhh.. jadi ini arti semua bahasa tubuhnya... aku tak percaya.

"Ini menjengkelkan,"" kataku pelan.

"Bahkan ibunya juga tahu anaknya mencintaimu,"

"Gawat,"

"Semoga kita tak berjodoh ya, Bu," kataku kemudian, tiba-tiba ucapan Bu Risma kembali terngiang, dia membicarakan perjodohan pagi tadi di rumah, dan mencari ayah dan ibu, jangan-jangan dia ingin melamarku.

"Jangan takut, kamu boleh menolak cintanya, kalau tidak suka"

"Tentu aku tak akan pernah suka pada Tampan, Bu,"

"Ya, saya tahu itu,"

Hanya saja keluarga Tampan itu kaya raya dan konglomerat, aku hanya takut saja orang tuanya memaksakan kehendak pada kami.

"Bu. Risma," kataku pada Psikolog itu, aku seolah ragu untuk berucap.

"Ya. Katakan saja,"

"Aku jadi teringat jaman Siti Nurbaya, dia dijodohkan paksa dengan Datuk Maringgih pria tua yang rakus dan tamak, apa itu masih berlaku jaman sekarang,"

"Kenapa kamu berpikiran seperti itu," tanya Bu Risma Penasaran.

"Latar belakang keluarga Tampan yang sepertinya priyayi jaman dulu, menak yang kaya raya, aku takut orang tuanya akan melobi orang tuaku yang sedang dilanda masalah keuangan perusahaan,"

"Tapi, bukankah karakter Datuk Maringgih dan Tampan Menawan berbeda, dia anak yang sholeh dan santun, mana mungkin dia mau berlaku seperti itu,"

Aku baru menyadari bahwa Bu Risma belum pernah melihat wajah Tampan Menawan yang selalu tersembunyi di balik masker yang ia kenakan, kalau saja wajah itu terlihat oleh Bu Risma, mungkin pandangannya kan berbeda.

"Dia sangat jelek, Bu," aku akhirnya menyampaikan hal itu.

"Saya sudah tahu, bukankah kamu pernah cerita, walau belum melihat secara langsung, tapi wajah bukan menghalangi seseorang untuk berjodoh, karena jodoh itu sudah tertulis semenjak manusia masih di alam rahim,"

"Oh.. begitukah, Bu,"  Aku hanya menganguk-angguk saja.

"Iya. Sekarang lupakan saja Tampan menawan kalau itu yang diinginkan oleh hatimu," kata Bu Risma.

Aku kembali mengarahkan pandangan ke hamparan sawah, sejauh mata memandang hanya nuansa hijau yang terlihat. Seperti permadani yang dibentangkan hingga ke kaki langit, aku juga tak tahu ujung sawah ini berakhir dimana? Aku hanya mengira dan menduga berakhir di sebuah perkampungan penduduk pada kaki Gunung Salak. Dari kejauhan juga terlihat petani yang saling bercengkrama satu sama lain di sela-sela istirahatnya sejenak lalu bekerja lagi. Di beberapa sisi lokasi yang lain, tampak petani laki-laki mengayunkan cangkulnya membersihkan pematang sawah yang mulai ditumbuhi rumput liar. Di lokasi yang lain, tampak pula para petani mulai keluar dari sawah dan pulang ke rumah.

"Terus terang aku suka dengan kegiatan sawah," kataku pada Bu Risma.

"Kamu boleh mencoba, menyemai, menanam padi, menyiangi, memanen padi suatu saat nanti," kata Bu Risma menanggapi.

"Aku ingin jodohku seorang petani saja, aku cinta hamparan sawah,"

"Tentu saja bisa dengan mudah kamu dapatkan. Pemuda desa banyak yang gagah-gagah, kamu tinggal menentukan pilihan hati," Bu Risma menanggapi dengan semangat.

"Apa ada yang mau denganku, Bu,"

"Tentu banyak, kamu cantik jelita," jawab Bu Risma, ini membuatku tersipu.

"Sepertinya pemuda desa itu polos-polos ya, Bu,"

"Iya, karena kehidupan desa sangat bertolak belakang dengan kehidupan kota, pergaulannya juga beda,"

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bersambung,.......

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!