Lidah memang tidak bertulang, tapi lisan yang telah diucapkan seseorang mampu membuat hal-hal yang menakutkan itu terjadi. Maka berlakulah di sini apa yang dimaksud mulutmu harimaumu. Mungkin karena ulah Bi Ranum yang telah menyebarkan sesuatu yang sepertinya tidak sesuai dengan kenyataan. Kabar itu tentu akan dengan cepat berhembus dari mulut ke mulut, sehingga demo itupun terjadi.
Dari ruang BK aku dan Psikolog Bu Risma bisa menyaksikan apa yang terjadi di luar sana di harin kemarin. Aku tak berani langsung ke lokasi para pendemo seperti yang dilakukan oleh Si Tampan bersama Ibunya tersebut. Aku hanya mendengar teriakan-teriakan para pendemo diselingi oleh seruan Kepsek, guru BK dan Walas yang berusaha menenangkan para pendemo itu. Atau suara Ibunya Tampan yang lantang membentak para pendemo.
Pernah aku mencoba berdiri dari tempat duduk, ingin berusaha mendekat tempat itu untuk membela diri, tapi semua dicegah oleh Bu Risma dan aku kembali terdiam.
Psikologku bergegas mengajakku pulang ketika tahu demo itu berhasil diredam oleh ibunya Tampan dengan uangnya yang bejibun. Aku pun menarik nafas lega waktu itu, berharap tak terjadi apapun jua dengan diriku. Dikeluarkan dari sekolah yang tak sembarang orang boleh masuk. Hanya orang-orang berada dan memiliki otak pintar yang mampu menembus sekolah tersebut. Masuk sekolah dengan jaminan uang seratus juta dan memiliki nilai rapor yang sempurna di SMP atau sederajat, maka SMA ini menjelma menjadi sekolah yang terkenal bagus dan berprestasi.
Hari ini aku tidak sekolah, aku tahu berita tentang kejadian yang ganjil bersama Tampan di ruang itu masih hangat-hangatnya dibicarakan oleh segenap warga sekolah. Psikolog menyarankan agar aku sekolah pada waktu yang tepat.
Psikolog juga menyarankan aku segera melupakan peristiwa yang telah terjadi, tidak didramatisir, dan mengalihkan pada hal-hal positif yang lain. Psikolog itu akan datang sebentar lagi, ingin mengajak ku jalan-jalan di lingkungan yang asri di sekitar sini.
Di Desa sebelah merupakan desa yang masih ada hamparan sawah, dan padi yang sedang menghijau akan membuat suasana hati akan sejuk dan rindang jika melihat hamparannya. Angin yang berhembus semilir semakin indah dengan kehadiran burung-burung kecil dengan aneka warna, dan urung pipit atau burung sawah lainnya.
Aku bergegas menyiapkan diri menyambut kedatangan Bu Risma, melangkah ke luar kamar menuju ruang tamu.
Benar saja, tak lama tiba-tiba bel pagar rumah berbunyi, aku yakin itu Bu Risma psikolog yang telah datang menjemputku.
Bu Sisil pembantu rumahku segera membuka pintu pagar, mobil Bu Risma masuk, dan aku juga melihat mobil lainnya juga masuk ke pagar rumah. Apakah Bu Risma tak datang sendirian, kalau dengan teman kenapa harus ada dua mobil segala, pikirku.
Aku terkejut buka alang kepalang, ternyata di mobil yang satu lagi ada Tampan dan ibunya. Tak lama setelah keluar dari mobil, Tampan lalu menyalami Bu Risma disusul oleh ibunya.
"Apakah Tampan dan Ibunya akan diajak serta ke sana, aku tidak setuju" aku berkata-kata dalam hati.
Terus terang saja walau rasa benci pada pemuda bernama Tampan itu telah reda, namun entah mengapa aku belum ingin juga melihat kehadiran dirinya di sekitarku.
"Kenapa ada Tampan Bu," tanyaku pada Bu Risma.
"Ini hanya kebetulan saja, saya juga kaget kita datang bersamaan," jawab Bu Risma.
"Apa yang harus saya perbuat, Bu," tanyaku lagi.
"Kita beri dia waktu,"
"Bukankah kita mau ke desa sebelah,"
"Kita tunda dulu, mungkin ada kabar penting yang disampaikan Tampan dan Ibunya,' jawab Bisma.
Mau atau tidak aku harus menyambut kedatangan Tampan dan Ibunya, aku takut dicap tidak menghormati tamu kalau misal aku tinggal begitu saja. Ayah dan Ibuku juga tidak berada di rumah untuk menerima mereka semuanya, tidak mungkin para asisten rumah tangga yang menjamu mereka.
Aku sudah melupakan Tampan Menawan sebagai cowok mesum, hanya saja aku tak ingin melihatnya lagi. Bahkan kalau sekolah telah tiba aku ingin pindah ke kelas lain, tidak sekelas dengan si Tampan.
"Orang tuanya ada," tanya Ibu Tampan padaku. Sebuah pertanyaan yang sangat lembut dan halus ibarat putri keraton yang menghadapi rajanya. Tentu saja aku terpukau dengan keelokan dan kelemah lembutan yang didukung bahasa tubuh yang sopan tersebut. Aku segenap melupakan kegarangan Ibunya Tampan waktu berada di sekolah.
"Mereka sedang di kantor," jawabku seadanya.
"Sayang sekali, mereka tidak ada, ada perihal penting yang hendak aku bicarakan," sesal ibunya Tampan.
"Semua bisa diwakilkan kepada saya selaku psikolog," jawab Bu Risma.
Apa yang hendak disampaikan Ibunya Tampan ini, sampai harus menemui orang tuaku segala.
"Mungkin lain kali saya bisa berkenalan dengan orang tua Feby Romansa," katanya kemudian.
Aku dan Bu Risma sama-sama mengangguk menanggapi ucapan Ibunya Tampan.
"Mudah-mudahan kita nanti berjodoh, ya," kata Ibu Tampan dengan lemah lembutnya, kemudian ia menatap anaknya dan kemudian menatapku bergantian.
Aku serasa merinding mendengar ucapan Ibunya Tampan, apa maksud-nya dari semua ini. Apakah kedatangannya ke sini hendak menjodohkan aku dengan anaknya yang bermuka jelek itu, tiba-tiba bulu kudukku merinding membayangkan kalau-kalau itu benar terjadi nanti. Bukankah orang tuanya Tampan kaya raya, apa pun bisa dibeli olehnya.
"Oh... tidak, apalagi ayahku sedang terbelit masalah keuangan, banyak pabrik yang dipimpinnya tutup imbas resesi ekonomi," aku bergumam sendiri dalam hati.
"Sebenarnya maksud kedatangan saya ke sini untuk membicarakan masalah Bi Ranum," lanjut Ibunya tampan.
"Ada apa dengan Bi Ranum, Bu," Psikologku yang bertanya.
"Karena dia telah menyampaikan berita menyesatkan, aku meminta pihak sekolah memecatnya dari pekerjaan dan orang-orang yang terlibat dan diduga mata-mata sekolah seorang petuga kebersihan bernama Pak Tomo juga hengkang dari sekolah,"
Aku kaget mendengar pernyataan itu, kasihan Bi Ranum, sampai harus keluar karena masalah ini, tapi apa boleh buat. Lidah memang tidak bertulang, tapi lihatlah akibatnya sekarang.
"Tapi yang patut dihargai di sini adalah pihak sekolah tidak mengeluarkan Tampan dan feby, semua karena Tampan tidak bersalah pada Feby," kata Ibu Tampan kemudian.
Akupun menarik nafas lega dengan pernyataan itu, memang itu yang kau inginkan, tidak dikeluarkan dari sekolah. Karena kalau dikeluarkan berarti masyarakat akan menuduh kami bersalah.
"Baik terimakasih informasinya, Bu," balasku pelan.
"Walau Tampan tak bersalah, namun ia ke sini akan meminta maaf pada Feby atas kelakuannya di alam mimpi tersebut,"
"Tidak usah minta maaf," selaku cepat.
Aku menatap pada Tampan, ia dengan cepat menatapku juga, ada pancaran kelembutan di matanya. Mata itu kenapa begitu tulus, haruskah aku menolak permintaan maafnya seperti ini.
bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Ida Blado
namanya itu kok ya aneh tampan menawan,,, apa gk ada ide buat ngasih nama,,,
2021-03-27
0