Pagi belum menjauh dari bulir-bulir embun di dedaunan, hari yang seharusnya masih hening, namun suara gaduh dari luar rumah telah membangunkanku. Aku segera bangkit dan memburu ke luar kamar. Ternyata kegaduhan itu berasal dari jeritan ibuku. Para pembantu rumah turut panik menyaksikannya.
Hanya membaca koran ibuku sampai berteriak dengan kerasnya, pasti ada berita yang tak beres.
“Ada apa, Bu?” tanyaku.
“Ini lo, berita yang sangat menyakitkan, rupanya aksi demo beberapa hari lalu dimuat diberita Koran nasional langganan kita,” jawab ibuku sambil menyodorkan berita dikoran yang biasa diantar setiap pagi oleh pengantar Koran.
Aku sampai tersedak mendengar perkataan ibuku, benarkah sampai sebegitunya. Aku menghampiri ibuku turut membaca Koran itu. Benar saja, di situ ada gambar para pendemo, gambar ibuku, gambar kepsek, dan gambar guru BK dan Wali Kelasku. Rupanya ada wartawan waktu itu.
“Ibu bisa tuntut Koran ini,” kata ibuku geram.
Aku tahu berita seperti itu akan mudah dipelintir, apalagi oleh media-media online yang bertebaran dewasa ini. Bergegas aku mencari beberapa media online di hanphoneku. Benar saja, berita tentang pemerkosaan
yang memuat tentang diriku tertera dengan jelas. Aku mengepalkan tinju pertanda geram.
“Ibu lihat ini di media online,” kataku pada ibuku sambil menyodorkan beberapa media online yang memojokkanku dan keluarga ini. Anak Pengusaha Besar Menodai Temannya Sendiri di Sekolah’ tulis salah satu judul
media tersebut. Hal ini tentu membuatku tak habis pikir, apa sebenarnya yang terjadi, kenapa mereka sampai tahu tentang latar belakang keluargaku, oh.. barangkali mereka mengenal wajah ibuku.
“Pokoknya, ibu akan tuntut seluruh media itu, kalau perlu ibu akan gandeng pengacara sekelas Hotman Paris untuk menyelesaikan ini,” tukas ibuku serius.
“Pengacara itu harganya miliaran, Bu,” kataku pada ibu.
“Ah itu urusan kecil,” jawab ibuku.
“Ibu akan coba hubungi Hotman Paris sekarang,” kata ibuku sambil mencari-cari kontak yang dimaksud di Handphonenya.
Belum sempat aku mendengar pembicaraan ibu dengan pengacara kondang itu, aku segera beranjak meninggalkan ibu menuju kamar. Aku ingin tahu, apakah pemberitaan ini sudah sampai di televisi nasional.
“Astaga,!!!!” jeritku lirih. Bahkan berita tentang diriku jadi berita utama, kemana muka hendak kusembunyikan.
Aku kembali keluar kamar, mengatakan pada ibuku tentang hal ini, ibuku baru saja selesai bicara dengan seseorang di seberang telepon.
“Bu,berita ini sudah masuk TV,”
“Jahat,” jawab ibuku.
“Bagaimana, Bu. Apa Ibu berhasil menghubungi Bang Hotman,”
“Belum. Pokoknya jalur hukum akan ditempuh hari ini, juga, tak ada Hotman Paris pengacara lain
juga banyak yang hebat,”
Usai melontarkan kalimat seperti itu, Ibuku bergegas masuk ke kamarnya. Barangkali saja ibu akan mendatangi sebuah kantor pengacara hebat di kota ini. Barangkali kasus ini akan menjadi viral di berbagai media nantinya.
***
Semenjak kasus pemberitaan tentangku viral aku jadi semakin jarang masuk sekolah, begitupun Feby Romansa kadang aku tak pernah lagi melihat keberadaannya. Hari ini aku kuatkan pergi ke sekolah, itu semua karena ingin
melihat Feby. Informasi yang kudapat dia pindah ke kelas lain. Jadilah setiap hari aku menahan rindu dan lara hati saja. Aku bahkan sesekali mencuri pandang ke kelas barunya Feby Romansa, namun
hasilnya nihil, aku tak melihat keberadaannya.
Apa yang harus kuperbuat, semakin aku merindukannya mimpi-mimpi indah bersamanya juga terus hadir, membuat aku selalu teringat padanya. Aku gundah gulana saja memikirkan Feby, lalu aku ajak teman sekelasku Zibran mengelilingi lokasi sekolah ini tempat Favorit abak-anak cewek, barangkali saja Feby hari ini sekolah.
“Zib. Temani aku keliling yuk,” ajakku pada Zibran.
“Ayo, lagi bete nih” sambut Zibran antusias.
Zibran satu-satunya teman sekelasku yang mau mengerti keadaanku, dia selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Dan dia memahami keadaanku.
“Zib, dapat info terbaru ngak tentang Feby,” tanyaku pada Zibran setelah kami melewati beberapa
kelas sepuluh.
Zibran menggeleng, lalu tiba-tiba melonjak kegirangan. Menghadang langkahku dan menatapku serius.
“Aku lupa memberitahumu,”
“Apa itu?” Jakunku sampai turun naik saking tak sabaran mendengar jawaban Zibran. Alhasil dia hanya melongo
beberapa saat, menepuk-nepuk jidatnya mencoba untuk berpikir.
“Sory, bro. Aku ngak ingat,”
Aku sampai menelan ludah mendengar jawaban itu.
“Ayo ingat-ingat,”
“Aduh,!!!” katanya mencoba mengingat-ingat lagi.
Lalu kami tetap melangkah menyusuri setiap tempat di sekolah
ini. Tidak lama kami melangkah, lagi-lagi Zibran berteriak kegirangan.
“Jilbab,” katanya sambil menunjuk segerombolan anak-anak perempuan berjilbab yang hamper berbapasan dengan kami.
“Jilbab?” aku mengulangi perkataan Zibran dengan nada bertanya.
“Iya. Aku baru ingat sekarang, Feby sudah megenakan jilbab ke sekolah,” kata Niko penuh kegirangan.
Aku tentu senang mendengar informasi itu.
“Mungkin dia dapat hidayah,” jawabku ceria.
“Pantasan selama ini aku tak pernah melihat batang hidungnya, rupanya ia berjilbab,” kataku dalam hati.
“Oh. Iya Zibran. Kamu update setiap waktu info tentang dia, ada fulus untukmu setiap memberi informasi terbaru tentang Feby, seperti hari-hari kemarin kataku,” aku lantas mengeluarkan uang seratus ribu dan memberikan pada Zibran.
“Siap Bos,” balas Zibran dengan semangatnya sambil merebut uang di tanganku.
****
Aku awalnya agak risih dengan viralnya pemberitaan yang menyesatkan itu di berbagai media. Awalnya aku malas untuk ke sekolah lagi. Untunglah Bu Risma selaku psikolog menanganiku kondisi psikologisku dengan cepat. Bahkan Bu Risma dan orang tuaku menyambut baik keputusan aku untuk berjilbab. Penampilan baruku ini cukup efektif melindungi diriku dari pandangan miring orang-orang, semenjak aku pindah kelas dengan mengenakan jilbab taka da satupun yang tahu bahwa kaulah orang yang selalu diberitakan itu. Memang pihak sekolah menyabotase keadaanku. Aku di kelas baru dianggap sebagai pindahan dari sekolah lain pula. Bahkan teman sekelasku sebelumnya sduah menganggap aku pindah sekolah, karena tak mengenali lagi keadaan diriku dengan penampilan berjilba seperti ini. Aku juga tak tahu lagi bagaimana keadaan Tampan Menawan, walau seringkali dia bolak-balik di depan kelasku, tetap saja aku sembunyikan wajah di balik pandangannya.
Kini untuk makin melupakan kisah kelam itu, aku selalu berkunjung ke sebuah desa yang memiliki hamparan sawah
yang luas. Kadangkala aku pergi dengan Bu Risma psikologku dan kadangkala dengan asisten rumah tangga. Aku
mulai berkenalan dengan beberapa pemuda dan pemudi desa Sukamurni, Desa Sukajaya, Desa Sukamaju dan beberapa desa lainnya. Aku menyamar sebagai seorang vlogger atau youtuber kepada warga desa yang ku kunjungi. Cita-citaku memiliki suami seorang kekasih dari kalangan petani membuatku harus memburu banyak tempat untuk mendapatkannya. Banyak sudah yang aku jumpai, ada yang gagah dan lain sebagainya namun belum begitu sreg di hatiku. Aku tak putus asa brusaha mencari dan terus mencari apa yang aku inginkan, semua ini tentu banyak sedikit melupakan kasusku dengan Tampan Menawan.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments