4.Sindrom Pernikahan

Tenda sudah terpasang rapi, dekorasi saat ijab kabul dan resepsi pun sudah terlihat indah sekali, aku pun juga sudah merasa lebih tenang karena masalah baju pengantinku sudah terkondisikan, walau rasa kesal ini masih terus menghantui tapi satu persatu masalah sudah teratasi, dan hari ini adalah malam menjelang hari pernikahan.

Suasana Dapurku masih begitu ramai dengan tetangga dan sanak saudara yang masih lembur masak besar untuk acara esok hari.

"Ki, kamu udah buka puasa belum?"

Ibu menyuruhku puasa sehari sebelum hari pernikahan, kata orang jaman dulu agar nanti saat dirias menjadi ratu sehari wajahku terlihat 'Manglingi', percaya atau tidak itu terpulang kepada pribadi masing-masing, tapi menurutku jika memang untuk tujuannya baik juga apa salahnya.

"Udah tadi, minum air putih hangat."

Lagi pula aku juga nggak begitu berselera makan, padahal di Dapurku mereka sedang masak beraneka makanan dan cemilan, namun perutku rasanya sudah 'enek' duluan.

"Kok cuma air, Ibu ambilin nasi ya, kamu harus makan sekarang, kalau tidak besok kamu nggak punya tenaga."

"Nanti aja aku ambil sendiri Bu."

Soalnya kalau Ibu yang ngambilin pasti satu piring penuh dia taruh nasi dan lauk, sedangkan perutku rasanya sudah begah, entah ini penyakit atau semacam sindrom pernikahan karena terlalu gugup dan gelisah saat akan menikah.

"Ya sudah, ingat kalau kamu nggak makan bisa pingsan besok acara seharian, nanti semua bisa jadi repot, jadi kamu harus paksain makan ya."

"Iya Bu."

Aku jadi teringat masih punya mie instant, karena makanan yang gampang masuk disaat kondisiku seperti ini hanya itu, jadi aku memutuskan untuk mengambil air panas dan merebusnya di mangkok saja, malas mau ke Dapur yang dipenuhi bau makanan yang baunya terasa menyengat.

Krosak!

Gubrak!

Saat aku sedang melamun sambil menunggu mie instant didalam mangkok itu mengembang dan matang, terdengar suara-suara krasak-krusuk yang sedikit berisik dibelakang kamarku, walau tak begitu jelas, karena saling bersahutan dengan suara canda tawa ibu-ibu di Dapur.

"Siapa sih?"

Dibelakang kamarku memang tidak didirikan Tenda, karena disampingnya ada sungai kecil, jadi memang jarang untuk lalu lalang.

Ceklek!

Walau agak susah, namun akhirnya jendela kamar belakangku akhirnya bisa terbuka, namun tidak ada sesiapa disana, yang ada bulu kudukku yang berdiri semua, akhirnya aku memilih metutup kembali jendela itu dan memilih menikmati rendaman mie instantku tadi sambil menggunakan earphone ditelinga untuk mendengarkan musik, agar hati lebih terasa tenang.

"Aish, si kucing lagi beternak kali yak? Woi cing, jangan pamer lu, besok malam kita tanding mendesah ya!" Umpatku dengan gilanya, yang seolah tidak terima, bahkan iri saat kucing dengan sesuka hatinya berproses produksi tanpa harus memikirkan biaya pernikahan.

Dan saat aku ingin mengembalikan mangkok kotor ke Dapur, aku melihat Irma yang berjalan kearah kamarnya dengan susah payah.

"Dek kamu dari mana? Kenapa jalanmu begitu?"

Ada yang aneh dari cara berjalannya Irma, dia seperti bocah yang baru aja disunat, sambil memegangi pinggangnya dengan kondisi rambut yang masih sedikit acak-acakan.

"Em, aku jatuh Mbak." Ujarnya dengan jalan yang terlihat terseok-seok.

"Jatuh dimana? Itu rambutmu juga ada daun keringnya, jorok banget sih kamu." Sepertinya apa yang dia katakan memang benar kalau dia baru saja jatuh, karena didalam rambut pirangnya itu terselip beberapa daun kering disana.

"Eh, iya tadi jatuh di Gang depan sana, jalannya agak licin." Dia mengacak rambutnya dan segera merapikannya kembali.

"Astaga, ya sudah cepat mandi sana, besok katanya mau jadi pager ayu, tapi jam segini masih ngeluyur aja kamu!"

"Iya Mbak."

Dia kembali berjalan tergopoh-gopoh sambil memegang tembok menuju kamarnya, yang letaknya ada disamping kamarku.

"Eh, bocah tadi udah makan belum ya? Nanti lupa makan gara-gara kebanyakan ngonten dan maag nya kambuh lagi."

Aku memang sering bertengkar dengan dia, tapi namanya juga saudara satu rahim, walau beda Ayah, jadi sebenarnya juga ada rasa sayang yang terselip disanubariku.

"Dek, kamu sudah makan atau---"

"Hiks.. hiks."

Saat aku ikut menyusul dan menerobos masuk kedalam kamar Irma, betapa terkejutnya aku saat melihat dia duduk dilantai sambil menyembunyikan kepalanya diantara kedua kakinya dan terdengar jelas sekali bahwa Irma sedang menangis saat itu.

"Irma, kamu kenapa?" Rasa khawatirku mulai muncul disana.

"Eh Mbak, anu-- aku nggak papa kok, ngapain kesini?" Dia langsung mengusap wajahnya dan pura-pura tegar, padahal wajahnya memang terlihat sendu.

"Nggak papa gimana, orang kamu sampai nangis begitu?" Dia memang paling jago jika bersandiwara, namun jika dia sedang ngonten dan pura-pura menangis kenapa tidak ada ponsel dan kamera disana pikirku.

"Sakit Mbak, hiks.. hiks.." Dan akhirnya dia kembali menumpahkan tangisan itu, karena memang sepertinya dia sedang kesakitan.

"Ya ampun, apa jatuhnya keras sekali? atau terkena batu tadi, mana coba yang sakit? biar aku lihat?"

"Nggak usah, udah aku tempelkan plaster dan koyok cabe tadi." Dia langsung menghindar saat aku mendekat kearah tubuhnya.

"Mau Mbak panggilin tukang urut sekarang? Atau mau aku anterin ke Klinik saja biar diperiksa Dokter nanti?"

"Nggak mau!" Tolaknya sambil menggelengkan kepalanya.

"Kenapa? Siapa tahu tulang belakangmu sakit loh, atau retak mungkin, bahaya loh kalau nggak diperiksa?"

"Aku baik-baik saja, aku mau ke kamar mandi dulu." Namun dia sama sekali tidak takut dengan ucapanku, dia berusaha bangkit untuk pergi ke kamar kecil disudut ruangannya, walau terlihat susah payah.

"Ngapain? Kalau sakit nggak usah mandi, sini Mbak pel saja tubuh kamu pakai kain."

"Aku mau pipis Mbak." Teriaknya tanpa mau menoleh kearahku.

"Ck, kasian amat kamu, ya udah sono, nanti kalau ada apa-apa panggil Mbak ya, atau mau aku temenin?"

"Aku bisa sendiri." Dia kembali menjerit dari dalam sana.

"Ya sudah, Mbak ambilin kamu minum dulu ya?"

Dia sudah besar pikirku, jadi dia tahu apa yang terbaik untuk dirinya, mau dipaksa pun percuma, karena aku tahu bagaimana sifat keras kepalanya.

Namun saat aku kembali masuk kedalam kamar Irma dengan membawa segelas air hangat, kembali terdengar suara Irma yang merintih kesakitan dari dalam kamar mandi itu.

"Aw, argh, hiks.. hiks!"

Suaranya memang lirih, seolah dia tahan dan masih terdengar juga suara isakan tangis disela-sela rintihannya.

"Jangan-jangan beneran patah tulang lagi tu bocah, apa aku panggil Ibu aja ya?" Aku ngedumel sendiri sambil nguping didepan pintu kamar mandinya.

"Mbak, mau kemana?" Namun saat aku ingin beranjak pergi, tiba-tiba pintu kamar mandi itu terbuka dan keluarlah Irma dari sana.

"Mau mbak panggilkan Ibu, sepertinya kamu perlu dibawa ke Klinik Dek."

"Nggak usah, udah enakan kok, mungkin karena sedikit memar saja."

"Beneran nggak ada yang patah Dek?" Aku ragu, namun lagi-lagi saat aku mendekat dia kembali menghindar.

"Nggak ada Mbak."

"Sini coba aku periksa."

Aku langsung menarik paksa kaos yang Irma pakai dari bagian belakang, karena aku ingin memeriksa pinggangnya ada yang terluka atau tidak.

"Masih mulus kok, tapi---"

Aku mencium bau wewangian yang seolah tak asing bagiku, tapi wangi apa? pikiranku benar-benar tidak bisa menebak saat ini, karena terlalu penuh dengan rentetan kegiatan acara esok hari.

"Aku beneran nggak papa Mbak, sudah sana keluar, aku mau istirahat." Dia langsung melepas paksa tanganku dan menjauhkan tubuhnya dariku.

"Kamu yakin nggak papa Dek? Memang tidak ada luka, tapi ada sedikit bekas lebam kecil-kecil yang memerah tadi kayaknya, mau Mbak kasih balsem nggak?" Karena sepertinya tubuhnya sedikit memerah tadi, tapi kurang begitu jelas karena lampu kamar Irma saat ini tidak begitu terang.

"Nggak usah, sana keluar, jangan ganggu aku, istirahat sana besok Mbak itu acaranya full seharian."

"Huft, ya sudahlah, tapi kamu makan sedikit ya?"

Tapi setidaknya aku sudah sedikit lega karena sepertinya tidak ada tulang yang patah dibagian punggungnya, buktinya dia bisa melengkingkan kembali suara cemprengnya itu.

"NGGAK MAU, nggak usah sok perhatian deh, awas sana!"

Dia langsung mengusirku begitu saja dan mengunci diri didalam kamar, padahal maksudku baik, ingin membatunya, tapi Irma memang keras kepala orangnya, jadi aku memilih mengalah saja, toh sakit ia rasakan sendiri, lebih baik aku istirahat agar saat ijab kabul dan resepsi besok badanku tetap fit dan semuanya berjalan dengan lancar.

Terpopuler

Comments

@⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔Tika✰͜͡w⃠🦊⃫🥀⃞🦈

@⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔Tika✰͜͡w⃠🦊⃫🥀⃞🦈

pasti Irma habis ninu" sama calon kk iparnya

2024-07-03

2

Anik Trisubekti

Anik Trisubekti

sepertinya Irma habis dijebol gawang sm Kaisar

2024-06-30

2

Wisang Geni

Wisang Geni

jodoh mu kang tenda mbk kidung😁😁asal tebak Thor✌️✌️

2024-06-28

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!