TRAGEDI SATU SHAF DIBELAKANGMU
Hidup harus setulus Gula dalam Teh. Saat Teh terasa kurang manis, orang akan berkata: 'Gulanya kurang'. Namun saat rasanya pas, orang akan berkata: 'Tehnya enak'.
Tak penting bagi Gula, apakah ia akan diingat atau dilupakan, asalkan ia telah meredam rasa pahit pada Teh, terkadang itu saja sudah cukup.
Tapi ini bukan tentang Teh dan Gula, ini tentang jalan hidupku yang ternyata penuh dengan lika-liku kehidupan yang tajam dan menyedihkan, walau pada awal mulanya semua terlihat baik-baik saja.
Namaku Kidung Kinanti, orang sering memanggilku dengan sebutan Kiki, biar lebih mudah, kalau dibilang gadis buruk rupa, mungkin aku tidak termasuk didalamnya, tapi kalau dibilang gadis cantik nan rupawan, aku pun tidak termasuk dalam kategorinya, karena memang wajahku hanya pas-pasan saja, jelek ya enggak, cantik bak Bidadari pun enggak juga, namun tetap harus aku syukuri dan selalu berharap agar suatu saat nanti bisa menjadi Bidadari Surga, walau mungkin harapanku terlalu lebih, tapi sebagai manusia tidak ada yang salah jika kita selalu berharap.
Karena aku pernah membaca inti sari dari kisah Yusuf dan Zulaikha, kita belajar bahwa mencintai Sang Pencipta akan menanggalkan NAFSU terhadap RUPA.
Walau terkesan pembelaan diri dengan rupaku yang tak seberapa ini, tapi kisah itu memang sangat bermakna dan berharap suatu hari nanti aku bisa menjadi gadis yang beruntung itu.
"Dek Kiki, aku tidak punya banyak uang untuk meminangmu kelak, hantaran dan mas kawin pun aku tidak bisa memberikan nominal banyak dan juga barang-barang yang mewah, apa kamu tidak keberatan?" Ucap seorang pria yang selalu berhasil membuat wajah dan kedua mataku selalu berseri-seri saat berada dihadapannya.
"Nggak masalah Mas, aku pun bukan gadis bangsawan atau gadis rupawan yang harus diberikan mahar fantastis, jadi apapun pemberianmu akan aku terima dengan tangan terbuka dan dengan hati yang riang gembira."
Namanya juga cinta ya kan? Bahkan bau kotoran ayam pun bisa berubah menjadi harumnya kembang setaman, saat kehidupan asmara sedang anget-angetnya. Lagi pula aku juga berasal dari keluarga yang biasa, bukan milyader juga pikirku, jadi tidak perlu sesuatu yang mewah.
"Serius ini Dek Kiki?" Tanyanya kembali, sambil menggeser kursinya kearah tempat dudukku yang seketika mampu membuat jantungku seolah berbunyi dag dig dug ser.
Walau sebenarnya, jauh didalam angan-angan, pernah terbersit satu harapan bahwa suatu hari nanti aku akan dilamar oleh seorang pria kaya raya, yang memberikan hantaran berupa satu set emas permata dari ujung telinga sampai kaki dan juga mobil mewah yang pintunya bisa digeser, atau mungkin rumah gedongan beserta sertifikat tanah atas namaku, dengan taman asri beserta lampu warna-warni yang indah menghiasi halaman rumahnya.
Tapi sepertinya itu mustahil bagiku, bisa mendapatkan calon suami tampan sepertinya saja, sudah banyak yang mengira aku main dukun pelet, apalagi mendapatkan calon sodagar kaya raya, mungkin bisa satu kampung mengumpat diriku selama tujuh hari tujuh malam.
"Dua rius dong Mas, hehe." Ucapku sambil nyengir yang aku buat semanis mungkin.
Saat aku masih kecil, kedua orang tuaku hanya bekerja sebagai Petani, mengolah lahan sendiri dengan sepenuh hati, karena memang lahan pertanian keluarga kami cukup banyak, namun hanya mampu mengolah sedikit saja karena keterbatasan modal dan tenaga, walau begitu dulu Ayahku selalu mengajarkan kami untuk bersyukur, yang penting tidak kekurangan makan saja sudah Alhamdulilah.
Hingga akhirnya Ayah kandungku meninggalkan Ibuku dan juga aku yang kala itu masih hanya tahu bermain-main saja, untuk menghadap Sang Illahi, mulai sejak saat itu lah keluarga kami mengalami kesulitan ekonomi.
Ada yang bilang saat itu Ayahku sakit komplikasi, namun terdengar gosip simpang siur dari keluarga kami, kalau ayahku itu dulu meninggal karena Santet dan yang lebih mengejutkan lagi, santet itu berasal dari saudara sendiri, hanya karena masalah warisan tanah keluarga dari nenek tetua kami dulu.
Terdengar miris dan mengerikan sih, bahkan seolah antara percaya dan tidak percaya, namun memang begitulah adanya, kalau sudah menyangkut perihal Tanah dan juga batas tanah bagian antar saudara, hal seperti itu didaerahku dulu memang cukup disayangkan sekali, padahal sesungguhnya harta warisan dan tanah kan tidak dibawa mati.
Tapi begitulah manusia yang terkadang punya sifat serakah dan rela menghalalkan segala cara demi harta warisan yang luas dan banyak, tanpa perduli dengan karma yang sudah Allah siapkan.
Namun kini, pernikahan kedua dari Ibuku sudah membawa perubahan, meski tak banyak namun setidaknya kehidupan kami lebih baik dari yang sebelumnya hingga aku kini tumbuh dewasa.
"Terima kasih ya Dek, kamu memang selalu bisa mengerti dengan keadaanku, itu kenapa aku ingin segera menikah dengan kamu."
Dan percaya nggak percaya, sampai aku sedewasa ini, baru dialah sosok pacar pertamaku, bukan aku menutup diri dengan seorang pria, namun memang hanya dia lah yang seolah mau menyatakan keberaniannya denganku, jadi apapun kekurangannya selalu aku tutupi dengan wajah penuh dengan senyuman.
Kalau ditanya teman atau saudara, kenapa tidak punya pacar, aku sering berdalih dengan embel-embel 'nggak mau pacaran' karena hanya akan menimbulkan fitnah dan dosa, padahal sebenarnya memang aku nya saja yang belum laku.
Dan kini banyak sekali orang yang berkomentar, bahwa aku yang punya wajah pas-pasan begini begitu beruntung mendapatkan pacar pertama sekaligus calon suami setampan dia. Itu mengapa aku tidak mau buang-buang waktu, begitu dia memberikan sinyal keseriusan, aku langsung pepet aja dia terus, aku pegang dia erat-erat hingga akhirnya dia mengatakan ingin melamar diriku.
"Mbak, dipanggil Ibu dibelakang, katanya suruh bantuin masak, ini sudah hampir waktunya makan malam."
Lain dengan nasip yang aku terima, gadis yang memanggilku saat ini begitu cantik nan rupawan, bahkan sering disebut si Kembang Desa, dialah Adikku Irma Indira.
Irma adalah adikku, satu rahim denganku namun beda Ayah, karena setelah kepergian Ayahku dulu, tiga tahun kemudian Ibuku dipinang oleh seorang perjaka yang sudah tak lagi muda, hingga mereka berhasil mencetak Irma dan membawanya ke dunia ini.
"Dek, aku lagi ada tamu, bisa tolong kamu saja yang bantu Ibu masak?" Ucapku dengan wajah kesal.
"Aku nggak bisa masak, lagi pula itu kerjaanmu, tanganku juga baru selesai aku hias, nanti kalau kegores jadi jelek." Tuturnya sambil memamerkan kukunya yang sudah berwarna-warni.
Adikku memang hanya lulusan SMA, dan katanya malas untuk Kuliah, namun karena dia punya kelebihan kecantikan, jadi dia bisa menghasilkan lebih banyak uang dari media sosial daripada aku yang susah payah dan berkeringat bekerja di Kantoran.
"Irma, kan kamu bisa---"
Belum juga aku selesai bicara, namun adikku sudah langsung memotongnya begitu saja, apalagi adikku juga ikut membantu kebutuhan dirumah sehari-hari, bahkan dia yang berhasil merubah rumah kami yang awalnya hanya terbuat dari papan kini menjadi gedongan, jadi dia memang sedikit dimanjakan oleh orang tua kami, apalagi kecantikan adalah modal utamanya agar dia tetap terlihat beken di kanal media sosial miliknya.
"IBU! mbak Kiki malas nih, dia nggak mau bantuin Ibu, maunya asyik berduaan aja dia!"
Dan karena dia sudah merasa menjadi artis media sosial, jadi mulutnya memang sering tidak terkontrol, bahkan tidak perduli dengan yang lain, yang penting dirinya senang.
"Ssstt, jangan keras-keras ngomongnya, malu-maluin aja kamu ini, okey aku bantu Ibu masak sekarang!"
Aku langsung berlari kearahnya dan membungkam mulutnya yang selalu berwarna merah merona itu.
"Nah gitu dong, biasanya juga kamu juru masaknya, mentang-mentang ada cowoknya aja jadi manja, sana masak yang enak!"
Dia berjalan melenggak-lenggokkan tubuhnya, yang memang modis itu sambil mengibaskan rambutnya dihadapanku.
"Berisik deh!"
Andai calon imamku tidak ada disini, mungkin kami sudah bergaduh hingga membuat tensi darah ibuku naik, namun kali ini aku harus tetap terlihat tenang, agar nilai plus ku terlihat oleh calon imamku.
"Dek Kiki, aku pamit saja ya, besok kita bisa berjumpa lagi."
Pria yang bernama Kaisar Prihadi itu langsung menatapku, seolah meminta persetujuan dariku, karena sepertinya Mas Kaisar merasa tidak enak hati dan langsung bangkit dari tempat duduknya, bagaimana tidak, suara adikku benar-benar melengking di ruang tamu kami.
"Santai aja Bang, jangan buru-buru, aku bisa nemenin Abang kok, sampai Mbak Kiki nanti selesai masak." Irma dengan santainya malah sengaja duduk disamping Kaisar, bahkan sambil meluruskan kakinya yang memang mulus itu.
"Oh, nggak usah, takut nanti malah menggangu kamu." Kaisar bahkan sampai menundukkan pandangannya, entah karena malu, segan atau karena apa, aku pun tak tahu.
"Tidak, aku baru nungguin kutek ditanganku ini kering, daripada bengong sendiri kan lebih baik ngobrol sama Abang?"
Karena kelebihannya itu, Irma selalu percaya diri dalam segala hal bahkan saat berhadapan dengan siapa pun.
"Em---?" Kaisar melirik kearahku seolah minta persetujuan dariku.
"Ya sudah, aku bantu Ibu dulu ya, nanti Mas sekalian cobain masakan buatanku." Mau tidak mau aku menggangukkan kepalaku tanda setuju, karena menolak pun Irma pasti akan berulah.
"Kalau kamu repot, aku bisa pulang aja kok Dek." Lagi-lagi Kaisar merasa canggung, bahkan aku lihat keringatnya mulai membasahi keningnya, padahal yang ngajakin dia ngobrol baru adikku, belum ayah dan Ibuku.
"Jangan mas, apa kamu nggak mau cobain makanan buatanku? Jadi besok kalau sudah menikah nggak kaget lagi, ya kan?"
Sebenarnya memang aku juga belum rela untuk berpisah dengannya hari ini, karena dia belum lama datang, dan aku juga belum puas ngobrol sambil memandang wajah tampannya.
"Tapi aku--?"
"Nggak apa-apa, nggak lama kok Mas, nanti biar ditemani ngobrol sama Irma dulu." Aku mencoba menenangkan dirinya dan menyuruhnya kembali duduk.
"Iya biar aku temenin Bang, aku asyik kok orangnya, gimana kalau kita ngobrol sambil main catur, mau nggak?"
Irma memang sosok gadis yang ceria dan mudah bergaul dengan siapapun dan jarak umurku dengan dia terpaut cukup jauh, dia umur 20 tahun, sedangkan aku sudah berumur 26 tahun, jadi aku pikir kekasihku pun sudah menggangap Irma sebagai adiknya juga.
Didalam keseharianku aku selalu mencoba menanamkan rasa syukur dalam segala hal, namun siapa sangka berawal dari sini, ternyata Allah sudah menyiapkan kejutan yang sangat luar biasa dengan kisah hidupku, yang bahkan tidak pernah aku duga dan tidak pernah bisa aku tebak alur cerita sebelumnya.
Terkadang dalam sunyinya malam, aku menangis seorang diri sambil menahan rasa sesak didada, dan hanya bisa bertanya-tanya, dari sekian banyaknya makhuk ciptaan-Mu, kenapa harus aku yang mengalami kisah getir ini Tuhan? Apa salah dan dosaku begitu banyak, sampai seolah-olah aku harus menerima hukuman berat ini?
Namun sampai saat ini aku belum menemukan jawaban dari semuanya, walau aku pernah mendengar kajian dari seorang Ustad, jika sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam hidup ini, Allah memang tidak menjanjikan hidup itu selalu mudah. Tapi dua kali Allah berjanji bahwa: "Sesungguhnya sesudah kesulitan itu akan ada kemudahan".
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
tria ulandari
isi absen dulu
2024-09-20
0
Mutiara
p
2024-07-16
0
@⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔Tika✰͜͡w⃠🦊⃫🥀⃞🦈
bisa" si Irma nikung kakaknya ni
2024-07-01
2