Saat sampai di jalan tempat Bang Ciprut biasa mangkal ia membelokan langkahnya memasuki semak-semak, dibalik semak-semak itu terdapat sebuah gubuk tua yang biasa dipakai oleh Bang Ciprut tinggal dengan anak buahnya.
Arleta membuka gubuk itu tanpa mengetuk terlebih dahulu membuat para preman di sana terkejut, mereka sedang makan bersama saking terkejutnya diantara mereka sampai tersedak.
"Hai Abang-Abang," sapa Arleta dengan tersenyum.
"Ya ampun Let Abang kira siapa ternyata kamu mengagetkan saja!" ujar Bang Ciprut dengan mengusap dadanya sendiri.
"Hehe Maaf Bang." Arleta duduk di salah satu kursi di sana dengan cemberut.
"Nih makan Let Abang tahu kamu itu belum makan kan?" Bang Ciprut menyodorkan nasi bungkus kepada Arleta.
"Iya Bang tapi gak mau ah kalian beli makanannya dari hasil malak," ujar Arleta.
"Ihh sembarangan enggak ya, sekarang kita itu nurutin kata kamu Let," ucap Bang Ciprut dan di anggukki oleh yang lain.
"Emang kalian kerja apa?" tanya Arleta.
"Apa saja lah Let katamu kita harus cari uang yang halal yasudah kita nurutin apa kata mu, dan hari ini kita kerja sebagai penyapu jalan," ujar mereka entah benar atau tidaknya Arleta tidak tahu karena belum menyaksikan langsung.
"Benarkah?" tanya Arleta dengan menyipitkan matanya. "Ya iyalah kita gitu loh," dengan bangganya mereka berbicara secara bersamaan. "Awas saja kalau sampai kalian bohong!" gadis itu melebarkan matanya untuk melototi mereka.
"Ayo cepat makan!" titah Bang Ciprut yang sedikit kesal karena Arleta tidak mempercayainya.
"Tidak ah Bang aku tidak punya selera untuk makan," Arleta berbicara dengan nada lesu.
Mereka telah selesai makan dan Bang Ciprut pun bertanya kepada Arleta karena ia merasa heran kenapa malam-malam gini Arleta mau berkunjung ke tempatnya berteduh ini, karena biasanya Arleta hanya akan datang siang hari sesudah pulang sekolah atau jika hari libur.
"Let tumben kamu ke sini malam-malam ada angin apa?" tanya Bang Ciprut.
"Puting beliung!" ujar Arleta dengan santai.
"Gak nyambung kamu Let, itu kan hanya istilah kenapa kamu jawabnya harus gitu!" Bang Ciprut mendelikkan matanya dengan malas.
"Apa kalian tau?" tanya Arleta, hingga membuat para pria itu penasara.
"Ya enggak lah kan kamu belum ngomong," jawab mereka serentak. "Iya, ini mau di lanjutin" Arleta menatap mereka satu persatu hingga membuat para pria itu mengerutkan keningnya melihat tingkah Arleta.
"Aku di pecat huaaa hari ini aku sial sekali!" Arleta menangis kejer dengan menghentak-hentakkan kakinya.
"Apa? jadi kamu di pecat dari cafe itu!" Bang Ciprut terlihat kaget mendengar penuturan Arleta.
"Iya Bang padahal aku gak salah yang salah itu Tante-Tante itu saja!" Kesal Arleta dengan penuh emosi.
"Sabar ya Let, nanti Abang bantu cari pekerjaan untuk mu," Bang Ciprut mengusap ngusap kepala Arleta untuk menguatkannya.
"Ahh iya makasih Bang," Arleta langsung tersenyum dengan sangat manis.
Para pereman itu mengobrol dan bercanda-canda untuk menghibur Arleta hingga candaan itu terhenti saat ponsel Arleta berbunyi ada panggilan masuk dari ibu Tirinya.
"Halo, iya Bu ada apa?"
"Arleta kamu jangan pulang sebelum mendapatkan uang, awas saja kalau kamu pulang!" Sentak wanita yang sangat tidak tahu malu itu.
"Apa maksudmu, bahkan aku sudah tidak bekerja lagi bagaimana caranya aku bisa mendapatkan uang," Arleta hampir putus asa, ia tidak menyangka kalau ibu tirinya akan sejahat ini.
"Terserah kamu mau bagaimana pun caranya, mau jual diri juga boleh asal kamu pulang bawa uang kalau tidak Ibu pastikan Ayah mu ini hanya akan tinggal nama!" ancam Ibu tiri Arleta.
"Apa maksud mu Bu? jadi Kau akan membunuh suamimu sendiri begitu?" teriak Arleta dengan kesal, mau bagaimana pun juga pria tua kurang ajar itu adalah Ayahnya, Arleta menyayangi pria itu meskipun sikap pria itu berbanding terbalik.
"Ya tepat sekali."
Arleta langsung mematikan telpon itu dan ia berpamitan kepada Bang Ciprut untuk pulang tadinya Arleta akan berjalan kaki untuk pulang tetapi Bang Ciprut memaksa ingin mengantarkannya karena ia khawatir ada apa-apa di jalan.
Setelah berpamitan kepada yang lain mereka pun keluar dari semak-semak itu dengan menaiki motor melewati jalan setapak. "Let kamu yakin mau pulang?" tanya Bang Ciprut.
"Iya Bang," jawab Arleta dengan lesu.
"Bukannya Ibumu mengancam akan mengakhiri hidup ayah mu jika kamu pulang tidak membawa uang?" tanya Bang Ciprut dengan nada khawatir.
"Tidak Bang aku tahu itu hanya sebuah gertakan mana mungkin dia membunuh suaminya sendiri,"
"Iya Abang ngerti, tapi abang itu khawatir sama kamu bagaimana kalau mereka menyiksamu lagi karena kamu tidak membawa uang," Bang Ciprut merasa sangat khawatir dengan Arleta.
"Tidak apa-apa Bang daripada aku harus mencari uang dengan menjual diri gak mau aku!" Arleta mendenguskan nafasnya dengan kesal saat mengingat sang ibu tiri menyuruhnya untuk menjual diri.
"Kamu memang anak yang baik Let abang salut padamu, di usiamu yang masih remaja kau membanting tulang hanya untuk bertahan hidup,"
"Ahh Abang ini kalau ngomong selalu berlebihan," Arleta merasa malu dengan apa yang Bang Ciprut ucapkan.
"Itu faktanya Let,"
"Haha sudah lah Bang jangan terlalu banyak memujiku takutnya nanti aku menjadi besar kepala," Arleta terkekeh mendengar ucapannya sendiri begitu pun dengan Bang Ciprut ia terkekeh mendengar penuturan Arleta barusan. Motor itu berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana.
"Terima kasih bang lagi-lagi abang mengantarkan ku hari ini,"
"Iya sama-sama Let kalau ada apa-apa telpon Abang ya, Abang siap 24 jam untukmu Let,"
"Haha Abang bisa saja," Arleta melenggang pergi memasuki halaman rumahnya, bang Ciprut tersenyum misterius, entahlah tidak ada yang tau senyum apa yang pria itu keluarkan, setelah itu ia melajukan motornya menjauhi rumah Arleta.
Arleta memasuki Rumah sederhana itu, di tengah rumah itu tidak ada siapa-siapa ia heran sebenarnya Ibu tirinya itu sedang berada di mana malam-malam begini, Arleta pikir Ibu tirinya itu sedang pergi keluar tetapi ia salah saat ia melewati kamar Ayahnya ia melihat Ibu tirinya itu sedang bercumbu dengan seorang pria, tetapi yang membuatnya kaget ternyata pria itu bukan Ayahnya, ia bisa melihatnya dengan jelas karena pintu itu terbuka sedikit.
Ayah Arleta biasanya kalau jam segini belum pulang, pria itu sedang minum-minum bersama teman-temannya.
Brakk. Arleta membuka pintu itu dengan kasar.
"Astaga Ibu jadi kau menyuruhku tidak pulang supaya kau bisa bercumbu dengan Pria lain!" teriak Arleta saat pintu itu ia buka dengan kasar.
Mereka yang sedang bercumbu itu kaget dan langsung menyudahi aktivitas itu, Ibu tirinya langsung menghunuskan tatapan tajam kepada Arleta sembari menarik selimut.
"Kau...Dasar anak tidak tahu diri sudah numpang di sini dan berani-beraninya kau mengganggu aktivitasku!" bentak Ibu tirinya itu.
"Mengganggu kau bilang!" teriak Arleta. "Kalau sampai Ayah tahu kau selingkuh dia pasti akan marah!"
"Hey Arleta dia itu miskin, kau kira Rumah ini miliknya!! Bukan! rumah ini adalah milikku awas saja kalau sampai kau membocorkan kegiatanku sekarang akan ku pastikan kau ku usir saat ini juga!"
"Lebih baik aku pergi dari tempat busuk ini!"
"Ya Bagus kau pergi dari sini, tetapi sebelum kau pergi terima ini!"
Plak! plakk! plakk!
Tiga kali tamparan mendarat tepatbdi kedua pipinArleta, di susul dengan siksaan lain dari Ibu tiri dan pria selingkuhannya itu.
Bukk, Pria itu menonjok perut dan dada Arleta dengan keras sehingga menyebabkan Arleta merasakan sesak di dadanya dengan bibir yang berdarah karena sudut bibirnya robek yang di sebabkan oleh tamparan dan tonjokan itu bahkan wajahnya terlihat membiru dan bengkak.
Dengan sisa tenaga yang di milikinya Arleta bangkit dan akan berjalan menuju kamarnya tetapi saat ia bangkit pria itu menendang kakinya sampai Arleta meringgis kesakitan.
"Sudah-sudah dia bisa mati!" bisik Ibu tirinya kepada pria selingkuhannya itu.
Arleta kembali berdiri dan kali ini ia berhasil berdiri ia berjalan menuju kamarnya tetapi Ibu tirinya itu menyeret dirinya keluar rumah dan mendorongnya dengan kasar kemudian pintu rumah itu di tutup kembali dengan kasar.
Sungguh malang nasib gadis itu ia bahkan berjalan dengan sempoyongan wajahnya terlihat sangat bengkak, ia berhasil keluar dari gang rumahnya, ia terus berjalan menyusuri jalanan kota yang tidak cukup ramai, tetapi itu bukan jalan tempat Bang Ciprut berada ia terus berjalan hingga di tempat yang hening itu ia terduduk di bawah pohon dengan air mata yang membasahi pipi putihnya yang memerah karena tamparan tadi.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments