Saat Yvaine terbangun, sinar matahari sudah menyengat dari atas kepala. Hari telah siang. Perutnya melilit karena kelaparan, dan matanya segera menangkap piring makanan di atas meja dekat sofa. Dengan susah payah, ia mencoba turun dari tempat tidur.
Begitu kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin, tubuhnya langsung goyah. Lututnya gemetar, tak mampu menopang beban. Ia terjatuh. Sial. Baru sekarang ia menyadari bahwa ia belum makan sejak kemarin. Atau… mungkinkah tubuh ini juga kelaparan sejak kemarin?
Dengan napas tersengal, ia berusaha merangkak kembali ke tempat tidur, tetapi tangannya justru menyenggol vas bunga di atas meja kecil di sampingnya. Suara pecahan kaca menggema di ruangan, disusul perih yang menjalar dari telapak tangan dan pahanya. Darah hangat merembes dari luka-lukanya.
Sangat menyedihkan.
Baru saja terlahir kembali, tetapi sudah hampir mati lagi. Yah, mungkin tidak ada bedanya mati sekarang atau nanti. Cepat atau lambat, Putra Mahkota akan menghabisinya juga. Pandangannya mulai berputar. Ruangan di sekitarnya berputar semakin cepat, hingga akhirnya gelap menelannya.
***
Aroma menyengat obat-obatan menggelitik hidungnya. Perlahan, Yvaine membuka mata. Seorang pria berbaju putih dengan kacamata berdiri di samping ranjangnya, memegang cangkir berisi cairan hitam yang mengeluarkan bau mengerikan. Beberapa pelayan berdiri sedikit lebih jauh, menundukkan kepala.
"Anda sudah sadar, Lady," ujar pria itu datar.
Yvaine menatap cangkir di tangannya dengan jijik.
"Silakan minum obat Anda, Lady," lanjutnya, mengulurkan cangkir itu ke arahnya.
"Tidak mau."
Ia menggeleng cepat. Cairan menjijikkan itu pasti rasanya seburuk baunya. Siapa yang rela menelannya?
Sang dokter mengerutkan dahi, tampak tidak terkejut dengan jawabannya. "Duke berkata ia tidak bisa datang. Bahkan jika Anda ingin mencari perhatiannya, itu sia-sia. Jadi lebih baik minum saja obat ini sebelum Anda mati kehabisan darah."
Mendengar kata mati, Yvaine langsung merebut cangkir itu dan meneguk isinya tanpa pikir panjang. Cairan pahit itu membakar tenggorokannya, membuatnya hampir tersedak. Namun, ia tetap memaksakan diri menelannya.
Siapa yang ingin mati?
Tentu saja bukan Yvaine.
Hidup adalah sesuatu yang berharga. Meskipun ia tidak bahagia, selalu ada alasan kecil untuk bertahan.
Setelah ia menghabiskan obatnya, pria itu pergi, dan para pelayan membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat. Bubur. Pilihan terbaik untuk seseorang yang hampir mati kelaparan. Yvaine menghabiskannya dalam diam. Setelah piring dan gelas kosong dibawa pergi, ia kembali sendiri di dalam kamarnya.
Matanya melirik ke arah jendela, menatap refleksinya yang tampak pucat di kaca.
"Sangat kasihan kamu, Yvaine," gumamnya. "Bahkan keluargamu tidak peduli saat kau hampir mati. Mungkin jika kau benar-benar mati, mereka juga tidak akan peduli."
Kelopak matanya terasa berat. Dengan helaan napas panjang, ia membiarkan dirinya terlelap.
Tanpa ia sadari, seorang pemuda bersembunyi di sudut kamar yang paling gelap, mendengarkan setiap kata yang baru saja ia ucapkan.
Bayangannya yang semula transparan perlahan menjadi nyata. Rambutnya sewarna dengan milik Yvaine, dan wajah mereka pun hampir serupa—hanya saja garis-garis wajahnya lebih tajam, memberi kesan menakutkan. Sepasang mata merah darahnya berkilat tajam, seolah mampu menembus segala rahasia.
Ia melangkah mendekati ranjang Yvaine dan menatapnya lama. Sangat lama.
Lalu, tanpa suara, ia berbalik dan menghilang dari kamar itu.
***
Sudah seminggu berlalu sejak Yvaine berada di dunia ini. Awalnya ia mengira semua ini hanyalah mimpi. Namun, kenyataan bahwa ia tidak juga terbangun dari mimpi itu membuatnya sadar—ini bukan sekadar ilusi.
Dalam tujuh hari itu, ia tidak pernah keluar dari kamarnya. Tidak satu pun anggota keluarga Abelard datang menemuinya. Hanya beberapa ksatria dan pelayan yang sesekali masuk, tetapi tak satu pun dari mereka berbicara lebih dari yang perlu.
Benar-benar keluarga yang… hangat.
Namun, ada satu hal yang tidak bisa ia pungkiri. Makanan di sini luar biasa lezat. Setidaknya, Duke Abelard tidak mengabaikan kebutuhannya.
Ketukan pintu tiba-tiba mengalihkan perhatiannya.
"Lady, ini kepala pelayan Deraan. Bisakah saya masuk?"
"Iya."
Pintu terbuka, memperlihatkan seorang pria paruh baya dengan uban memenuhi kepalanya. Wajahnya penuh keriput, tetapi matanya tetap tajam dan penuh wibawa. Ia membungkukkan badan sedikit, tangan kanan di dada kirinya.
"Lady Yvaine, Duke memanggil Anda ke ruang kerjanya."
Yvaine mengerutkan kening. Duke, yang selama ini mengabaikannya, tiba-tiba ingin bertemu dengannya? Apa yang ia inginkan? Seketika berbagai pemikiran buruk berkelebat di kepalanya.
Deraan, yang melihat Yvaine hanya diam tanpa merespons, segera menambahkan, "Malam ini akan ada pesta perayaan kemenangan perang yang dipimpin oleh Putra Mahkota di Istana. Duke ingin mendiskusikan tentang itu, Lady."
Yvaine menghela napas. Ia tidak bisa menghindari pertemuan ini.
"Baiklah," ujarnya akhirnya. "Aku akan bersiap dulu, lalu pergi ke ruang kerja Duke."
Setelah kepala pelayan itu pergi, Yvaine memanggil para pelayan untuk membantunya bersiap. Meskipun ia tidak terbiasa, ia harus menyesuaikan diri agar tidak mencurigakan.
Para pelayan tampak bersemangat saat mendengar bahwa ia akan bertemu Duke. Mereka sibuk memilihkan pakaian terbaik yang ia miliki. Akhirnya, ia mengenakan gaun biru langit yang dihiasi renda halus, dipadukan dengan sepatu berwarna senada.
Jujur saja, sekarang ia merasa gugup.
Siapa yang tidak gugup di posisinya sekarang?!
Perjalanannya menuju ruang kerja Duke terasa sangat jauh. Langkah-langkah kecilnya tidak cukup cepat untuk menempuh lorong-lorong panjang yang dingin ini. Dia merasa sangat tidak nyaman sekarang, kakinya terasa sakit dan lemah.
Saat akhirnya tiba di depan pintu besar, seorang ksatria penjaga memberi tahu bahwa ia sudah boleh masuk.
Duke Abelard duduk di balik meja kerjanya, menatapnya dengan mata merah darah yang tajam. Wajahnya tetap tampan meski usia telah menambahkan garis-garis tegas di wajahnya. Rambut peraknya berkilauan di bawah cahaya.
Tatapannya turun ke arah Yvaine yang berdiri di ambang pintu. Kecil. Terlalu kecil. Bahkan tingginya belum sampai ke pegangan pintu.
Dengan gerakan tangannya, ia mengisyaratkan agar Yvaine duduk.
Yvaine menatap kursi tinggi di depannya. Bagaimana ia bisa naik ke sana?!
Sebelum ia sempat mencari cara, tubuhnya tiba-tiba melayang. Dalam sekejap, ia sudah duduk di atas kursi.
Sihir.
"Kamu membuat ulah lagi, Yvaine."
Itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan.
Yvaine mengepalkan tangannya. "Maaf."
Duke tidak menjawab. Ia hanya menatapnya lama, sangat lama, hingga Yvaine merinding.
Dan saat pria itu akhirnya membuka mulutnya lagi, hanya satu kalimat yang keluar.
"Jangan membuat masalah di pesta nanti."
Yvaine menegang. Tubuhnya sedikit gemetar, wajahnya menjadi seputih kertas. Jantungnya bahkan berdebar kencang tak karuan, rasa takut mengisi hatinya.
Pesta itu…
Itu berarti ia akan bertemu dengannya.
Putra Mahkota.
Malaikat pencabut nyawanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Tika Alia
....obat sirup sja tamau🤨
2025-02-14
1