Happy reading..
"Aarrrgh. Sial," umpatnya dengan penuh rasa kesal.
***
Maliek Putra Bramasta, di usianya yang baru 28 tahun, ia sudah terkenal sebagai CEO muda yang berbakat dan pintar dalam strategi bisnisnya.
Perawakannya yang tinggi tegap, wajah yang rupawan dengan hidung mancungnya mampu menutupi sikap dingin, angkuh, dan ambisiusnya.
Terbukti, dimanapun dia berada selalu jadi pusat perhatian kaum hawa, tak terkecuali para karyawan wanita yang ada di perusahaannya.
Tok.. Tok.. Tok...
Seseorang mengetuk pintu ruangannya.
"Maaf, Tuan. Anda di tunggu di ruang rapat."
Seorang pria masuk, lalu ia tertegun melihat ruangan dengan kertas-kertas yang berserakan di lantai.
"Kenapa, Liek? loe lagi ada masalah?" tanya pria itu.
"Kesel gue," jawab Maliek.
"Rik, hari ini schedule gue padet nggak?"
"Nggak juga sih. Sekarang rapat, terus nanti sore ada meeting sama client. Itu aja." Dengan ekspresi datarnya Riky menjawab. Sambil memunguti satu persatu kertas di lantai, sesekali ia melirik tuannya.
Riky adalah asisten kepercayaan Maliek. Pribadinya yang cekatan, jujur, cepat tanggap, serta loyal menjadikannya nilai tambah dimata seorang Maliek. Selain itu, Riky juga teman sekampusnya ketika di London. Sehingga tak jarang ia mempercayakan tugas-tugasnya bila keadaan memungkinkan.
***
Seorang gadis berlari tertatih-tatih sambil menahan sakit di lututnya yang sedikit lecet, menghampiri satpam yang baru keluar dari dalam gedung. Ya, dia adalah Meydina, yang tadi terjatuh karena menubruk seseorang.
"Maaf, Pak. Toilet di sebelah mana,ya?" tanya Meydina.
"Mbak nya kerja disini?" Satpam itupun malah balik bertanya. Ada keraguan dari raut wajahnya yang datar.
"I,, iya, Pak. Saya terlambat, karena tadi ada sedikit hambatan," Meydina mencoba meyakinkan.
"Saya baru masuk hari ini," ujarnya lagi.
"Oh, ya sudah. Mbak jalan dari sini, lurus, lalu belok kanan, lurus lagi, belok kiri, lurus lagi, ada belokan, naah disitu. Yang paling ujung toilet nya." Satpam itu menunjukan arah layaknya seorang komando paskibra.
"Terima kasih, Pak." Meydina pun berlalu.
"Sama-sama."
"Baru masuk udah berani terlambat, dia belum tahu atasan disini lebih galak dari singa, lebih dingin dari mayat,he..he.." gumamnya sambil terkekeh tak bersuara.
Di dalam toilet...
Meydina masih belum keluar setelah sekian menit lamanya. Bingung, takut, sedih, semua bercampur baur dalam hati dan pikirannya.
Bagaimana tidak, kemeja putih yang dipakainya hari ini sudah tak putih lagi. Tumpahan kopi laki-laki yang di tubruknya tadi sukses membuat penampilannya yang pas-pasan itu jadi berantakan.
"Huufth,, gimana ini?" ucapnya lirih. Sudah tak di rasa lututnya yang lecet. Ia pun keluar dari bilik toilet, menuju wastafel. Berdiri mematung menatap pantulan wajahnya di cermin.
"Hai, Kamu kenapa?" suara seseorang membuyarkan lamunannya.
"Oh, ini... Tadi aku jatuh dan ketumpahan kopi, untung nggak terlalu panas," dengan ekspresi gugup Meydina menjawab.
"Kamu, baru yaa? Kenalin, aku Dila dari bagian Resepsionis. Tadi aku lihat kamu berlari ke arah sini, makanya aku susul" celotehnya.
"Eh, jangan-jangan kamu yang lagi dicariin sama bu Indah." Tambahnya lagi.
"Siapa Bu Indah?" tanya Mey penasaran.
"Menejer HRD," kali ini di jawab singkat oleh Dila, membuat seakan jantung Mey berhenti sesaat.
"Buruan sana keruangan HRD! di lantai atas," Sambil menunjukkan telunjuknya Dila memberi tahu.
"Tapi bajuku,,," Meydina mulai kebingungan.
Seolah berpikir sangat keras, Dila mengernyitkan dahinya sambil menatap Meydina yang tentu saja di jawab dengan tatapan yang lebih membingungkan olehnya.
Tak lama kemudian...
"Ahha!" tiba-tiba Dila berucap seakan ada sebuah bohlam menyala menerangi kepalanya.
"Bentar, ya. Tunggu disini!" Dila pun berlalu.
Masih dengan tatapan membingungkan, Mey memilih untuk tak bergeming dari posisinya.
***
Di ruangan HRD, Indah yang sedari tadi menatap dengan kedua tangan melipat di dada, merasa tak habis fikir dengan tingkah karyawan baru ini.
"Meydina Brata Adisurya," ucapnya lantang. Membuat Mey yang tertunduk semakin tertunduk karena menyadari kesalahannya dan tak kuasa membayangkan konsekuensi dari kesalahannya itu.
"Hari pertama kamu kerja, kamu telat hampir satu jam. Kamu pikir, kamu siapa bisa seenaknya, haah!" bentakan Indah benar-benar mengagetkannya.
"Lalu, apa ini?" tanganya menarik lengan baju yang dikenakan Meydina. Lebih tepatnya baju hangat alias sweather.
Yaa, sweather pinjaman Dila untuk menutupi noda tumpahan kopi di kemejanya.
"Ah, dasar si Dila." Batinnya.
***
Dengan langkah gontai, ia berjalan menyusuri tempat kerja barunya, menuju bagian resepsionis.
Tatapan aneh para karyawan lain yang berpapasan dengannya membuat hatinya semakin menciut.
Apa kira-kira yang dipikirkan mereka, melihat seseorang dengan sweather yang dikenakannya berada di gedung perkantoran dengan cuaca di luar yang terik seperti saat ini???
Mungkin,, 'nglindur', 'rada-rada',,, atau apalah ia tak tahu. Ia hanya mampu memaksakan senyum pada orang-orang yang menatapnya.
Setelah berbagai omelan dari menejernya memerahkan telinga, serta berbagai alasannya yang dibuat sebegitu meyakinkan, hingga mengerahkan kekuatannya untuk mengumpulkan air mata agar terjatuh,, memang tak mengecewakan hasilnya.
Sang menejer akhirnya memberinya kesempatan untuk melanjutkan bekerja di perusahaan ini, setidaknya sampai masa magangnya selesai.
Meydina merasa senang bisa bekerja bersama Dila. Setidaknya, kesan pertamanya pada Dila sangat baik. Tidak hanya mereka berdua, ada Amir yang bersama mereka di bagian resepsionis.
**"CEO kita galak banget lho!"
"Tapi gantengnya juga pake banget."
"Semoga aja hari ini kamu nggak ketemu Dia, kalo enggak?"
"Hii, lihat baju kamu yang model gitu, pasti deh..." Amir sengaja menggantung kalimatnya, membuat Meydina penasaran.**
Celotehan teman-temannya di kantin tadi seakan melayang-layang dalam pikirannya. Mungkin untuk itu sebabnya Amir ngegantung kalimatnya, membuat seorang Meydina harap-harap cemas. Berharap tidak bertemu CEOnya, cemas bila sampai bertemu dengan CEO yang katanya, galak.
"Kamu. Ikut ke ruangan saya!" telunjuk pria itu mengarah tepat diantara dua mata Meydina.
Bagai di sambar petir di siang bolong, mendapati tatapan dingin dengan sorot mata tajam seakan siap untuk menerkam.
Dengan terburu-buru, Mey mengekor pada kedua pria tadi sambil sesekali menengok ke belakang melihat kedua temannya yang menatap penuh cemas akan dirinya.
***
Tingg.
Pintu lift terbuka. Mereka masuk ke ruangan yang diatas pintunya bertuliskan "RUANGAN CEO".
Bagai mangsa yang sudah menyerah sebelum bertarung, Mey kali ini benar-benar pasrah bila karirnya berakhir dihari pertama, alias dipecat.
Tatapan kedua pria itu sama sekali tak berubah, masih tetap dengan mode ON untuk menerkam. Tak terlihat belas kasihan sedikitpun padanya yang seorang wanita.
"Nama!" salah satu dari pria itu bertanya dengan tegasnya.
"Meydina Brata Adisurya," jawab Mey dengan lantang. Ia sudah bertekad untuk tidak perduli dengan kelanjutan pekerjaannya.
"Kamu pikir,," ucapan pria yang berdiri di sudut meja itu terhenti saat pria satunya lagi yang duduk di hadapannya mengangkat sebelah tangan pertanda perintah untuk berhenti.
Sepertinya, pria yang sedang duduk itu CEOnya. Nggak mungkin kan ada yang berani duduk di kursi itu kalau bukan seorang CEO.
Tatapannya semakin tajam pada gadis yang tertunduk sambil kedua tangan di eratkan itu. Sambil mengernyitkan dahinya, ia seperti mencoba untuk mengingat.
"Brata Adisurya??"
"A disurya.." Ucapnya berulang-ulang.
"Sepertinya nama itu tidak asing.." Batinnya.
"Siapa kamu?"...
---------------
Nah lhoo... Ada apa dengan nama belakang Meydina?
Apakah ia akan kehilangan pekerjaannya?
Di tunggu update episode selanjutnya, ya.
Jangan lupa tinggalkan jejakmu, readers. Like dan komen nya👍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Vivo Smart
waduh
2024-05-31
0
Mella Soplantila Tentua Mella
suka ceritanya
2022-09-11
0
bunda syifa
vampir dong klo lebih dingin dari mayat
2022-06-10
0