" 15 juta?", Rara terbelalak mendengar total pembersihan dan pergantian isi mobilnya. Untung gue gak sok-sokan mau bersihkan sendiri, batin Rara.
" Terima kasih ya mas", Rara menerima kunci yang di serahkan kepadanya.
Rara membuka pintu mobilnya dan melihat warna kursinya sudah berubah, terlihat lebih baru dan yang paling pasti adalah tidak ada lagi bau darah.
" Boleh juga", Rara tampak senang.
Rara lalu masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan senang.
Di rumah mungil ini Rara tinggal sendiri. Kadang Susi datang menginap kalau misalnya dia bosan di rumah. Orang tua Rara semua berada di Yogyakarta, jadi Rara merupakan anak rantau.
Rara duduk di sofa sambil memutar TV. Setelah sekian lama akhirnya dia bisa bermalas-malasan. Walaupun cuma sehari. Sambil menonton TV Rara menyendok sereal dari mangkoknya dan memasukan ke mulut. Dia benar-benar menikmati hari libur ini.
Setelah itu Rara membaringkan dirinya di sofa, sesekali menutup mata berusaha untuk tidur. Beberapa menit berikutnya di terlelap, suasana pagi jam 10 begitu tenang. Sangat mendukung Rara untuk tidur sepagi itu.
Dalam tidurnya Rara melihat seorang pria berdiri di dekat jendela ruang tamunya saat ini. Rara heran lalu melihat berkeliling untuk memastikan bahwa ini adalah ruang tamu miliknya.
Rara hendak menegur pria itu. Tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Pria itu masih berdiri di sana menatap keluar jendela rumahnya.
Rara masih berusaha menegur pria itu dengan susah payah. Tapi itu sulit sekali, seperti ada sesuatu yang menghambat di tenggorokan Rara.
Tepat saat Rara akan menegur lagi, pria itu berbalik. Rara tidak bisa melihat wajahnya dengan baik, hanya senyumannya yang terlihat oleh Rara. Senyuman ramah dan suaranya yang berkata " Hai" membuat Rara langsung terbangun dari tidurnya dengan nafas memburu.
Rara spontan menengok ke arah jendela, tidak ada siapa-siapa di sana. Rara melihat ke arah jam dinding dan memastikan dia baru tidur kurang dari 10 menit.
Rara menghela nafas, 'gila sih seharusnya gue tidak tidur sepagi ini', batinnya.
***
Rara menatap ponselnya, jam 5 sore kurang. Susi belum kelihatan batang hidungnya. " Duh anak ini ke mana lagi", Rara mulai mengomel. " Jadi pergi gak sih", mengoceh sendiri.
Rara duduk di sofa. Hari liburnya hampir berakhir, besok harus masuk kerja. Betapa malas rasanya pergi kerja besok.
Tanpa sengaja mata Rara menatap ke arah jendela ruang tamunya. Gordennya yang tertiup angin membawa kesejukan hari sore.
Mimpi tadi seolah nyata. Pria di dalam mimpinya itu seolah benar-benar berdiri di sana. Rara terus mengingat senyuman pria di dalam mimpinya itu, tapi Rara tidak bisa melihat setengah wajahnya yang lain.
Rara masih merenung saat pintu rumahnya di ketuk kuat dari luar. Rara terlonjak kaget.
" Anjir.... Haah", Rara menghela nafas sambil mengelus dadanya karena kaget. " Iya bentar", Rara mengambil tasnya dan berlari kecil keluar rumah.
***
Rara menatap status pasien di depannya. Pasien baru masuk ke ICU dari UGD. Kondisi pasien saat ini tidak stabil dan membutuhkan persetujuan keluarga untuk pemasangan infus di vena central.
" Ini keluarganya belum memutuskan ya?", Rara bertanya kepada seorang perawat.
" Belum dokter. Istrinya masih bimbang takut mengambil keputusan tanpa saudara pasien. Karena kalau terjadi apa-apa istrinya takut di salahkan", perawat menjelaskan.
" Oke baik. Kalau gitu saya ke ruangan dokter dulu. Nanti telpon saja ya", Rara tersenyum.
" Baik dokter".
Rara berjalan dengan langkah ringan menuju ruang jaga dokter. Sarapan dulu sambil menunggu panggilan, batinnya.
Di dekat lorong masuk ke ruangan petugas Rara melihat seorang pria berdiri. Pria dengan kemeja hitam dan tampak necis. Bukan remaja tapi pria dewasa.
Rara menatap pria yang berdiri menyamping itu. " Loh ini keluarga pasien kenapa ada di sini. Ini kan ruangan karyawan", Rara berbicara sendiri.
Rara ingin menegur tapi mengurungkan niatnya. Lebih baik memanggil security ruang ICU saja. Itu lebih baik, kalau itu keluarga pasien nanti kesannya tidak enak.
" Pak security", Rara menghampiri meja security.
" Iya dokter. Ada yang bisa saya bantu?", security menjawab.
" Iya itu ada keluarga pasien di lorong karyawan. Tolong dong di kasih tau jangan di situ", pintah Rara kepada security.
" Keluarga pasien di lorong? ", security itu tampak berpikir. " Sepertinya gak ada dok, kan dari tadi saya di sini. Kalau mereka ke lorong harus lewat depan meja saya. Pasti saya lihat", security itu tidak percaya.
" Coba lihat dulu ", Rara memaksa.
" Baik dokter", security itu berdiri dan berjalan menuju ke arah lorong yang di maksud. Rara mengikuti dari belakang.
Tapi lorong itu kosong dan sepi. Tidak ada siapapun di sana. " Nah dokter gak ada", security itu tersenyum.
Rara tertegun melihat tidak ada orang di sana. Jelas-jelas tadi pria itu berdiri di sana dengan menyamping.
" Beneran pak. Tadi ada orang di sini. Cowok pakai jas gitu", Rara masih ngotot.
" Dokter, salah lihat kali", security itu menambahkan. " Mungkin staff perawat, dokter. Kan sebentar lagi jam dinas siang", security itu memberikan penjelasan masuk akal.
" Oh iya kali ya", Rara berkata ragu.
Rara kebingungan dengan apa yang barusan dia lihat. Lalu tersadar dia menjawab. " Iya sepertinya saya salah lihat".
Ponsel Rara bergetar, panggilan masuk dari salah satu perawat di dalam ruangan. Tanpa mengangkat Rara langsung balik badan dan kembali ke ruang perawatan.
Apa sih ini? Mungkin gue lagi sakit. Batin Rara sambil menempelkan telapak tangannya ke jidat.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments