"Kenapa lo kepo?" tanya Femi dengan mata memicing. Sontak Silvana mengubah ekspresi wajahnya yang kentara sekali terlihat antusias.
"Enggak. Cuma aneh aja, harusnya kalau memang seseorang berniat gak nikah, ya jangan pengen punya anak, 'kan?" komentar Silvana mencoba terlihat biasa.
"Iya sih, gue juga mikir gitu. Zaman sekarang 'kan banyak cewek yang lebih mentingin karir dibandingkan nikah apalagi punya anak, tapi ada juga ternyata yang malah pengen punya anak tanpa nikah. Kasihan anaknya gak sih nanti? Dia jadi gak punya bapak. Soalnya setahu gue kalau donor sprma itu, si pendonor gak boleh tahu ke siapa sprmanya didonorkan."
Dalam hati, Silvana memekik girang. Rasanya ia seperti menemukan cahaya setelah ia berjalan dalam kegelapan yang tiada henti selama ini.
"Cuma, kalau di Indonesia gak mungkin deh bisa hamil dengan cara kayak gitu. Biasanya yang bisa donor sprma itu pasangan yg gagal punya anak," imbuh Femi.
Sontak perasaan girang Silvana berubah kecewa. Di Indonesia hal-hal seperti itu, hamil di luar nikah, hamil tanpa suami, adalah sesuatu yang illegal. Bisa-bisa sang anak nanti tidak bisa mendapatkan surat-surat legal atas kelahirannya.
"Bener. Di Indo gak akan bisa kayaknya hamil tanpa adanya suami kayak gitu," keluh Silvana tanpa sadar.
"Lagian ngapain juga hamil tapi gak punya suami. Aneh-aneh aja gak sih orang-orang zaman sekarang? Entar anaknya kita gak tahu kayak apa sifatnya. Mending yang donorin sprmanya itu cowok ganteng dan baik, gimana kalau ternyata cowoknya 'zonk'?"
"Eh?" Silvana merinding sendiri. Hatinya memekik ngeri, benar juga, bagaimana bisa ia terpikirkan hamil dengan cara seperti itu? Sifat, kepintaran, dan fisik seorang anak akan sangat berpengaruh pada anaknya kelak.
Setelah itu Femi kembali ke kamar hotelnya yang terletak di samping kamar Silvana. Silvana sendiri tak bisa berhenti memikirkan percakapannya dengan Femi mengenai kehamilan tanpa pernikahan itu.
Di sisa hari itu, Silvana terus mencari tahu mengenai menjadi seorang 'single mom' tanpa adanya pernikahan. Ia buka banyak artikel dan juga video di youtube.
"Jadi sprma terbaik itu dihasilkan sama cowok umur 20-40 tahun?" gumamnya dengan kedua mata yang lekat menatap layar ponselnya. "Fisik dan sikap anak juga diturunkan lebih banyak oleh ayah dibandingkan oleh ibu ya?"
Tatapan Silvana akhirnya menatap ke arah dinding kaca yang kini sudah menunjukkan warna biru kelam, tanda senja sudah mulai datang di negeri gajah putih itu. Kepalanya mengangguk-angguk. Sebuah rencana sudah tersusun rapi di dalam kepalanya.
"Gue harus nemuin cowok itu. Cowok perfect, yang bakal hamilin gue."
***
Rakai berjalan-jalan seorang diri di tengah sebuah pasar malam yang menjajakan berbagai street food khas Thailand. Setiap kali ada sesuatu yang menarik perhatiannya, ia mengarahkan kameranya dan mengambil gambar.
Setelah beberapa saat melihat berbagai macam hal, perutnya pun mulai minta segera diisi. Ia duduk di sebuah kursi yang menghadap ke sebuah meja besar. Ia memesan seporsi pad thai, kemudian sambil menunggu ia membuka kamera dan sibuk melihat-lihat hasil jepretannya.
"Mas, orang Indonesia ya?" sapa seseorang.
Sontak Rakai menoleh ke arah kirinya dan melihat seorang perempuan menggunakan hoodie berwarna hijau botol, kacamata dengan bingkai hitam yang tebal, juga masker yang menutup sebagian besar wajahnya.
"Iya, Mbak juga dari Indo?" tanya Rakai ramah.
"Iya, Mas. Wah, gak nyangka ketemu sama orang Indo juga di negeri orang," ujar perempuan itu. "Lagi liburan, Mas? Sama siapa?"
"Sendiri, Mbak. Solo traveling," sahut Rakai ramah. "Mbak sendiri?" tanya Rakai tak melihat siapapun bersama perempuan itu.
"Iya, saya juga sendiri. Namanya siapa, Mas?"
Rakai mengulurkan tangannya dengan ramah, "saya Rakai. Mbak siapa?"
"Saya... Anna," sahut wanita itu.
Kemudian pad thai yang dipesan oleh Rakai pun datang, ia segera melahapnya sambil mengobrol hal-hal ringan mengenai destinasi yang sudah didatanginya selama ia berada di Bangkok.
"Lo gak pesen makanan?" tanya Rakai dengan bahasa yang lebih santai karena ternyata Anna berusia sama dengannya. Rakai merasa tak enak saja ia makan sendiri sedangkan Anna tidak. Bahkan Anna tak melepas masker yang dipakainya.
"Enggak. Gue udah kenyang. Gak apa-apa, gak usah sungkan, makan aja yang banyak," Anna mempersilahkan. "Gue cuma agak haus sih, bentar ya gue beli minum dulu."
Anna pun beranjak dari kursinya di sebelah Rakai dan mendatangi sebuah kedai minuman boba. Setelah beberapa saat ia kembali dengan dua cup minuman berwarna jingga di tangannya, "nih buat lo." Anna menyimpan minuman itu di depan Rakai.
"Gak usah, An. Makasih," tolak Rakai tidak enak.
"Gak apa-apa. Anggap aja hadiah karena kita sesama orang Indo yang solo traveling ketemu di sini," Anna sedikit memaksa.
Wajah Rakai masih keberatan. Ia memang tak terlalu suka dengan hal-hal seperti ini. Walaupun niatnya baik, tapi tetap rasanya beban saja jika menerimanya.
"Please, gue udah beli dua loh. Kalau lo gak mau, masa gue minum dua cup?" mohon Anna lagi.
"Ya udah deh gue terima. Makasih ya," akhirnya Rakai menerima minuman itu.
Kemudian mereka kembali mengobrol, namun Rakai memerhatikan Anna sama sekali tidak menyentuh minumannya dan ia semakin merasa penasaran mengapa Anna terus menggunakan maskernya. Padahal Bangkok malam itu sedang cukup panas.
'bukannya tadi dia bilang haus ya? Tapi kenapa dia gak minum minumannya?' tanyanya dalam hati di tengah percakapannya dengan Anna.
Kemudian Anna pun pamit untuk pulang ke hotelnya yang tak jauh dari sana, "ya udah gue duluan ya. Seneng ketemu lo, Rakai. Have fun ya travelingnya," pamit Anna.
"Okay, Anna. Seneng bisa ketemu lo juga," sahut Rakai.
Anna pun bangkit dari kursinya dengan satu tangan membawa cup boba miliknya. Namun entah bagaimana, tiba-tiba ia tersandung dan satu cup penuh itu terbentur pada pundak Rakai, membuat tutup cupnya terbuka dan seluruh isi minuman itu tumpah ke tubuh Rakai.
"Ya ampun, Rakai! Maaf, maaf! Gue gak sengaja!" Anna segera mengambil banyak tisu yang ada di meja dan membantu Rakai untuk membersihkan minuman itu. Namun percuma, minuman itu sudah membuat kaus Rakai basah kuyup.
"Gak apa-apa, gak apa-apa," Rakai merasa agak risih saat Anna menyentuh tubuhnya. Ia pun sedikit menghindar.
"Gak bisa, sekarang lo ikut ke kamar gue. Lo harus bersihin badan lo, kalau enggak badan lo nanti lengket. Hotel lo jauh 'kan dari sini?" ajak Anna.
"Gak usah, An! Beneran, gue bisa beli kaus baru di sini. Gue..."
"Please, biarin gue tanggung jawab. Ikut gue," tak menerima penolakan, Anna menyambar tangan Rakai dan membawanya menembus kerumunan orang.
Hingga akhirnya mereka ada di kamar sebuah hotel kecil tak jauh dari sana. Malah lebih cocok disebut penginapan biasa daripada hotel.
"Lo ganti dulu aja bajunya, nih," Anna memberikan sebuah kaus dan mendorong tubuh Rakai masuk menuju kamar mandi.
Di kamar mandi itu, Rakai mulai melepas seluruh pakaiannya dan membersihkan diri. Namun setelah mengeringkan tubuhnya dengan handuk, entah kenapa, Rakai merasa tubuhnya tiba-tiba merasa panas dan ia merasa begitu berhasrat. Ia pun mencoba menenangkan diri.
Namun setelah beberapa menit, Rakai tak juga merasa tenang. Hsrtnya malah semakin menggila, bahkan bendanya kini berdiri tegak tanpa dapat ia cegah.
Lalu terdengar pintu di ketuk, "Rakai, bisa tolong ambilin iket rambut gue? Kayaknya ada di wastafel."
"I-iya, bentar, An," sahut Rakai dengan perasaan yang sudah tak karuan.
Ia tak mengerti mengapa ia merasa seperti ini. Tak ingin Anna curiga, ia pun mengambil ikat rambut itu dan membuka pintu, ia menyodorkan ikat rambut itu keluar, "nih."
Tiba-tiba lampu kamar mandi itu mati, dan Rakai tak bisa melihat apapun. Gelap, segelap-gelapnya. Kemudian Rakai mendengar derap kaki memasuki kamar mandi dan pintu kamar mandi pun ditutup dan dikunci.
"Anna... Akh!"
Sesuatu yang lembut juga hangat, menyentuh inti tubuhnya. Seketika Rakai merasakan kenikmatan yang tak dapat ia cegah lagi. "Anna... lo ngapain..." racaunya.
Rakai benar-benar kehilangan kendali akan dirinya. Tubuhnya terdiam menyetujuinya sepenuhnya apa yang Anna lakukan, namun logikanya menolaknya sepenuhnya.
Anna tak mengatakan apapun, sepatah kata pun. Ia terus melakukan hal yang membuat benda milik Rakai berdiri menegang dengan gagahnya. Anna menciumi tubuh Rakai dan bahkan kini Rakai tahu, tubuh Anna sudah polos, sama seperti dirinya.
Rakai sendiri sudah tak berdaya, sepenuhnya ia dikuasai oleh rasa itu. Hingga dalam kegelapan itu, Rakai merasakan bendanya memasuki sesuatu yang jauh lebih nikmat dari sebelumnya.
"Anna, gue gak bisa..."
Segera Anna membungkam mulut Rakai dengan bibirnya lagi. Hingga Rakai pun merasakan tubuhnya bergetar hebat, dan sesuatu menyembur dari inti tubuhnya di dalam hangatnya inti tubuh Anna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments