"Syaima banget, dong," seloroh Raisa seraya menggoda sang adik.
"Apa sih, Kak. Aku cuma temenan sama Syaima," elak Rakai.
"Ibu setuju loh kamu sama Syaima. Kamu udah kenal Syaima dari kecil. Dia juga udah deket sama kita. Anaknya baik, pinter masak, dan calon perawat. Cocok sama kamu yang calon dokter," Yanti ikut menggoda sang putra.
Rakai hanya terdiam tak menanggapi. Baginya teman kecilnya itu memang memenuhi kriteria wanita idamannya, tapi Rakai sama sekali tak ada rasa pada Syaima.
"Bukannya dia suka sama kamu, Kai? Udah jadian aja. Nikahin sekalian sebelum kamu lanjut co-ass," saran Raisa.
Sontak Rakai menatap sang kakak, "mau dikasih makan apa Syaima kalau aku nikahin dia sekarang. Aku aja masih jadi beban Kakak, Ibu sama Ayah sekarang. Pernikahan itu masih lama buat aku, Kak. Nanti kalau udah jadi dokter baru aku akan nyari perempuan yang cocok sama aku."
"Kelamaan, Kai. Gimana kalau kamu lagi pengen?"
"Kak!" tegur Rakai segera. Rasanya ucapan sang kakak terlalu frontal untuk dibahas bersama kedua sanak keluarganya itu. Wajah Rakai bahkan memerah.
"Kamu ini, hobinya godain terus adik kamu, Rai. Rakai ini anak baik, pikirannya dewasa dan bersih dari hal-hal kayak gitu. Kamu jangan mencemari pikiran-pikiran Rakai dengan ocehan kamu itu. Udah, ibu setuju Rakai selesain co-ass nya dulu. Baru seudah itu cari kerja, dan nikah."
"Ya aku 'kan manusiawi aja, Bu. Rakai ini cowok normal. Dari segi umur udah ada di usia yang cocok buat nikah."
Tiba-tiba terdengar suara tangisan Nabil dari dalam kamar.
"Kai, lihatin Nabil dong. Kakak sakit punggung nih," Raisa mencari alasan.
Rakai menghela nafas jengah, "makanya jangan loncat-loncat. Jadi sakit 'kan punggungnya?" gerutu Rakai seraya bangkit dari duduknya menuju kamar di mana putra pertama Raisa yang masih berusia empat tahun tertidur.
"Ya udah, ibu juga udah ngantuk. Udah hampir tengah malam ini, kamu jangan terlalu malem tidurnya, Rai," seru Yanti membubarkan diri pada acara menonton bersama itu.
"Iya, Bu. Bentar lagi aku tidur."
***
Selepas acara penghargaan, Silvana pulang ke apartemennya. Ia segera membersihkan diri dan menghapus make up yang menghiasi wajah cantiknya.
"Sil!"
Terdengar suara perempuan memanggilnya.
"Gue di kamar mandi!" sahut Silvana yang masih melakukan rangkaian perawatan kulit sebelum ia tertidur.
Femi, sang manager, menatap Silvana dengan kesal, "kok lo udah bersihin muka? Acara belum beres, Sil. Gue 'kan udah bilang, ada acara party di club hotel."
"Lo tahu gue gak suka ikut-ikut party kayak gitu. Gue harus tidur cepet, kalau enggak muka gue bakal keriput. Mau lo muka gue kayak nenek-nenek?"
"Telat tidur satu malam doang gak ngaruh, kali."
"Gak bisa. Gue harus tidur, supaya kulit gue tetep glowing. Besok gue ada jumpa fans kan di Mall? Makanya gue mau istirahat." Silvana selesai dengan rangkaian skin carenya dan berjalan menuju tempat tidurnya.
Femi pun mengekor Silvana, "gue harus ngomong apa sama si bos? Party itu diadain buat lo! Lo mah gak ada kasihannya sama sekali sama gue. Si bos pasti ngamuk-ngamuk lagi!"
Silvana mulai membaringkan tubuhnya di tempat tidur. "Besok gue yang bilang. Udah lo tinggalin gue. Matiin lampunya sebelum lo pergi ya," pinta Silvana kemudian menutup matanya.
Femi hanya bisa berdecak kesal. Sebelum Femi mematikan lampu, ia melihat sebuah paperbag dari sebuah toko ternama yang menjual perlengkapan bayi. "Lo beli barang-barang buat bayi lagi? Buat apa sih, Sil."
"Suka aja. Lucu," jawab Silvana tak ingin membahas lebih jauh.
Femi menghela nafasnya, "kalau lo pengen punya anak, kenapa lo lebih milih buat cerai coba?"
Silvana tidak menjawab dan berpura-pura tidur. Melihat tak ada reaksi dari Silvana, Femi pun pergi dari apartemen itu.
Setelah mendengar pintu apartemennya ditutup, Silvana kembali membuka matanya dan menyalakan lampu. Ia raih paper bag yang baru dibelinya beberapa hari lalu, lalu ia bawa ke walk in closetnya. Dikeluarkannya sepasang sepatu mungil bergaya balet dengan warna baby pink dan diletakkannya sepatu itu di satu sisi lemari yang di mana ada banyak pakaian bayi di sana.
Silvana menatapnya dengan sendu. Diusapnya perutnya yang rata, setetes air mata mengalir di pipinya, "menyedihkan banget sih gue?"
***
"Ibu, Ayah, aku pamit ya," Rakai mencium kedua tangan orang tuanya sebelum ia pergi bersama Raisa dan suaminya, Rizky ke Jakarta.
"Hati-hati di jalan ya, Nak. Sukses co-ass nya, jangan lupa istirahat dan makan. Jangan kecapean," pesan Yudi pada sang putra.
"Raisa juga pamit ya, Bu, Yah," ujar Raisa juga mencium kedua tangan orang tuanya, diikuti oleh sang suami yang datang menjemput mereka kemarin sore.
"Iya, hati-hati ya, Rai, Riz. Bulan depan Ibu ke Jakarta ya nemenin Raisa yang udah deket ke lahiran," janji Yanti.
"Bener ya, Bu. Pokoknya kalau aku lahiran mau ada Ibu jangan kayak waktu itu," rajuk Raisa.
"Dasar anak manja," Yudi tak habis pikir pada putri sulungnya itu. "Rizky, jaga putri Ayah ya."
"Siap, Yah. Aku pasti jagain istriku dengan baik. Lagian ada pak dokter di rumah, jadi aku juga tenang," sahut Rizky.
Semua tersenyum bangga pada Rakai, anak laki-laki paling membanggakan di keluarga besar Yudi dan Yanti, karena menjadi orang pertama yang berhasil kuliah kedokteran dengan jalur beasiswa penuh juga di sebuah universitas ternama.
"Jaga kakak kamu ya, anak kebanggaan Ibu," pesan sang ibu pada Rakai.
"Iya, Bu," ujar Rakai dengan tetap rendah hati.
Kemudian mereka pun mulai memasuki mobil. Tiba-tiba saat mobil akan melaju, datang seorang perempuan manis dan sederhana berlari menghadang mobil itu.
"Kai, Syaima tuh. Cieee, didatengin ceweknya. Samperin sono!" goda Raisa pada sang adik.
"Apa sih, Kak," gerutu Rakai seraya membuka handle pintu dan turun dari mobil.
Syaima mencium tangan kedua orang tua Rakai, kemudian Yanti dan Yudi pun masuk ke dalam rumah, memberikan waktu untuk kedua muda-mudi yang memang mereka harapkan bisa segera meresmikan status mereka untuk berbicara berdua.
"Mas Rakai, maaf ya padahal Mas Rakai udah mau pergi. Aku cuma mau ngasihin ini," Syaima memberikan sebuah kotak dengan pita kepada Rakai. "Mas tolong terima, tapi jangan dibuka sekarang ya."
"Apa ini?" tanya Rakai penasaran.
"Nanti juga Mas Rakai tahu. Ya udah, Mas Rakai silahkan berangkat. Hati-hati di jalan ya."
Kemudian pergilah Rakai bersama dengan sang kakak dan juga kakak iparnya menuju Jakarta. Tiba di rumah Raisa, Rakai masuk ke kamar tamu yang memang sudah menjadi kamarnya selama ia kuliah di Jakarta.
Setelah ia membersihkan diri, Rakai duduk di tepi tempat tidur dan membuka kotak yang diberikan oleh Syaima. Rakai terperangah melihat ada sebuah jam tangan yang ia tahu cukup mahal di sana dan juga sepucuk surat.
Rakai pun membukanya dan membacanya.
"Kai."
Tiba-tiba Raisa membuka pintu kamar Rakai tanpa mengetuknya, membuat Rakai terkejut kelabakan menyembunyikan surat yang sedang dibacanya.
"Kak, ketuk dulu, dong!" tegur Rakai kesal.
Raisa malah masuk dan dengan curiga melihat tangan Rakai yang ada di belakang punggungnya, "nyembunyiin apa kamu?"
"Gak ada," elak Rakai.
Bukan Raisa namanya jika tak bisa membuat sang adik buka mulut. Ia pun berhasil mendapatkan surat itu.
"Syaima nembak kamu?!" teriak Raisa heboh.
"Udah, Kak. Kembaliin!" wajah Rakai memerah.
"Kamu mau jawab apa, Kai?" tanya Raisa dengan senyum jahil.
Rakai menghela nafas kesal, "aku gak ada rasa sama dia, Kak."
"Masa sih?" tanya Raisa. "Bukannya kamu suka? Kamu selalu senyum dan nanggepin dia. Tapi, kamu emang sama semua cewek kayak gitu, 'kan ya? Udah Kakak bilang Kai, kamu sama cewek jangan terlalu baik makanya, jadi banyak yang salah paham." Raisa memperingatkan.
Rakai pun mengambil paksa kembali surat itu, "Kakak ngapain ke kamar aku?" Rakai mengalihkan topik pembicaraan.
"Temenin kakak ke Mall, yuk."
"Mall? Kakak gak cape? Baru aja kita nyampe dari Bandung," keluh Rakai. Ia rencananya ingin tidur karena ia memang merasa lelah setelah perjalanan yang cukup jauh.
"Ada jumpa fansnya Silvana Zevanya, Kai! Kakak pengen ke sana, pengen lihat Silvana. Please temenin Kakak."
"Bang Rizky mana?"
"Abang kamu cape abis nyetir dari Bandung. Yuk! Please, ini kepengen utun loh, bukan Kakak," Raisa menunjukkan wajah puppy facenya agar sang adik luluh.
Jika sudah membawa-bawa calon keponakan yang masih berada di kandungan Raisa, Rakai tak bisa apa-apa selain mengikuti apa yang Raisa inginkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments