Eps. 5
å
Terhitung sudah lima hari Gisella terbaring di kamar kostnya, hanya mengonsumsi obat yang ia beli dari warung, kini kondisinya jauh lebih baik dari sebelumnya. Hanya pusing yang masih beberapa kali menyerang, mungkin karena efek obat yang ia konsumsi. Mau bagaimana lagi, ia hanya mampu membeli obat warung untuk menyembuhkan panas di tubuhnya.
Gisella masih bergelung di bawah selimut tipisnya saat suara ketukan berasal dari pintunya terdengar. Mungkin itu Bi Darmi yang beberapa hari lalu menjenguknya, tapi untuk apa siang-siang begini Bi Darmi ke sini? Tidakkah ia harus bekerja?
Suara ketukan semakin terdengar membuat Gisella perlahan bangkit dari rebahannya. "Iya, sebentar." Ia tertegun ketika membuka pintu ada dua orang pria yang berdiri di sana.
Salah seorang dari mereka yang membawa tas hitam di tangannya menoleh heran pada pria di sebelahnya.
"Nona Gisella?"
Gisella mengangguk. "I-ya itu saya, ada perlu apa, ya, Tuan?"
"Perkenalkan, saya Leon, dan ini Dokter Mattew, beliau akan memeriksa kondisi anda, Nona," ujar sang pria berjas hitam. Melaksanakan perintah, Leon gegas membawa dokter pribadi keluarga Gaza untuk memeriksa keadaan Gisella.
Selama perjalanan, Mattew menyernyit heran saat dibawa bukan ke kediaman Gaza ataupun keluarga besar lainnya, justru ia dibawa ke sebuah gang kecil dan kumuh, dan ternyata dalam kostan kecil nan sempit itu ada seorang wanita cantik. Mattew penasaran, siapa sebenarnya wanita itu sehingga Gaza dengan mudahnya meminta Leon untuk memeriksa.
"Tapi.. aku tidak memanggil Dokter," tanggap Gisella kebingungan.
"Tidak apa-apa, Nona, Tuan kami yang meminta saya untuk memeriksa anda," Mattew menyahut.
Gisella terdiam memperhatikan Mattew juga Leon bergantian.
"Apa kita bisa memulai pemeriksaannya, Nona?" tanya Mattew melihat keterdiaman wanita di hadapannya.
"Oh, maaf, silahkan masuk." Gisella menggeser tubuhnya memberi jalan pada kedua pria itu untuk masuk ke dalam kamarnya.
Saat akan menutup pintu, ekor mata Gisella melihat beberapa tetangga kostnya yang berkerumun di depan kostnya. Mungkin mereka penasaran akan kedatangan dua pria tampan dengan pakaian rapi seperti Leon dan Mattew.
Gisella menjadi tak enak hati saat menyadari tidak ada kursi di dalam kamar kostnya, ia bingung untuk mempersilahkan tamunya duduk, tapi mau duduk dimana?
"Tidak apa, Nona, kami hanya memeriksa dan akan segera kembali," ujar Leon mengerti apa yang tengah dipikirkan Gisella.
Kepala Gisella mengangguk canggung. Ia duduk di dipan, dan Mattew mulai memeriksa keadaan juga luka di lututnya.
"Selain luka ini, apa ada yang lain yang dirasa sakit, Nona?" tanya Mattew.
"Sebenarnya kepalaku beberapa hari pusing, Dokter. Setiap merasakan ngilu di lututku kepalaku juga ikutan pusing," jawab Gisella jujur.
Mattew mengangguk. Memberikan beberapa obat untuk Gisella dan menjelaskan petunjuk konsumsi.
"Nona, ini ada makan makanan sehat, makanlah agar anda cepat sembuh," Leon meletakkan beberapa paper bag berisi makanan di atas meja kecil.
Gisella memainkan kedua tangannya yang bertautan. "Tapi, Tuan, saya tidak punya uang untuk membayarnya," cicitnya menunduk.
"Jangan dipikirkan, Nona, semua ini sudah dibayar oleh Tuan kami."
Gisella mendongak. "Kalau boleh tahu, siapa Tuan anda, Tuan?"
"Anda pernah bertemu dengannya, Nona."
"Benarkah?" tanya Gisella terkejut.
Leon mengangguk. "Anda akan mengetahuinya nanti."
Gisella mengangguk. "Kalau begitu, sampaikan terimakasihku padanya, Tuan."
Leon mengangguk. "Kami permisi, Nona."
Sepeninggalan Leon dan juga Mattew, Gisella membuka bungkus makanan yang begitu banyak. Macam-macam makanan ada di sana, dan tentunya itu bukan makanan murah. "Wah.. banyak sekali," komentarnya. "Aku tidak mungkin bisa menghabiskan semuanya."
Gisella mulai memilah makanan yang bergizi untuk kesembuhannya, sebagian ia simpan untuk dimakan nanti malam. Sedangkan sisanya ia berniat untuk memberikan pada tetangga kostnya. "Terimakasih untuk anda yang memberikan semua ini untukku, semoga Tuhan menerima kebaikan anda dan senantiasa memberikan anda kesehatan, kebahagiaan untuk anda, Tuan. Aminn..." doanya sebelum menyantap makanannya.
...***...
"Kau sudah melaksanakan apa yang aku tugaskan, Leon?" Gaza membuka suara saat keduanya berada di dalam mobil menuju kediamannya.
Leon mengangguk. "Sudah semua, Tuan."
"Bagaimana kondisi gadis itu?"
Leon melirik sekilas melalui kaca spion. "Cukup baik, Tuan. Nona Gisella juga mengatakan terimakasih untuk anda, Tuan."
Gaza tersenyum tipis. "Apa sudah kau pastikan dia memakan makanannya?"
"Iya, Tuan, Nona Gisella memakan makanannya. Tapi beberapa makanan dia bagikan pada tetangga kostnya."
Gaza mengangguk dan tersenyum.
"Tuan, kenapa anda terlihat mengkhawatirkan Nona Gisella?" tanya Leon hati-hati, sebenarnya ia penasaran. "Apa ini karena anda sudah mengetahui semua tentang Nona Gisella, Tuan?" tebaknya.
Gaza menyenderkan punggungnya. "Menurutmu, jika kau menjadi aku, apa yang akan kau lakukan, Leon? Kau memasukkan seseorang yang sehat ke rumah sakit jiwa. Menuduhnya telah membunuh kekasihmu, padahal dirinya hanya korban kekerasan sedari kecil, sehingga tidak mampu membela diri saat semua orang menuduhnya."
Leon mengangguk. "Saya mungkin juga akan melakukan hal yang sama dengan anda, Tuan. Saya merasa Nona Gisella adalah gadis yang baik, hanya saja takdir yang membuatnya kelihatan buruk. Dia begitu lemah di dalamnya."
"Kau benar, Leon, itulah kenapa aku sedikit membantunya, anggap saja ungkapan rasa bersalahku karena sudah memasukkannya ke rumah sakit jiwa."
Drtt... Drtt...
Gaza mengangkat telepon yang berdering di sisinya, tertera nama sang nenek di sana.
"Halo, Nek?"
"Cucuku, siapa gadis itu?"
Kening Gaza menyernyit. "Gadis? Gadis siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan gadis yang diperiksa Mattew."
Kedua manik legam itu membulat, memicing tajam pada Leon melalui kaca mobil.
Leon menelan saliva saat tiba-tiba tenggorokannya terasa kering.
"Bukan siapa-siapa, Nek."
"Benarkah? Kalau begitu bawa dia padaku, Nenek ingin bertemu dengannya."
Gaza mengurut pangkal hidungnya.
"Kalau kau tidak membawanya ke sini, aku yang akan mengunjungi cucu mantuku sendiri."
"Nek?"
"Apa? Nenek sudah cukup tua untuk menunggumu menikah, setidaknya bawa cucu mantuku kemari, akan aku lihat, apa dia pantas untuk bersanding denganmu."
Gaza meraup wajahnya frustasi. Keinginan neneknya tidak mudah untuk ia tolak ataupun diabaikan.
"Sepertinya kau memilih opsi kedua. Baiklah aku akan menjemputnya sendiri."
"Tidak, Nek, aku yang akan menjemputnya untuk bertemu denganmu."
"Ajak dia makan malam di sini besok. Aku tidak sabar melihat cucu mantuku. Setelah mendengar cerita dari Mattew aku sudah penasaran."
Gaza menghembuskan nafas lelah. "Dia sedang tidak enak badan, Nek."
"Ah, iya, Nenek hampir lupa, kalau begitu ajak dia ke sini kalau sudah sembuh. Kau harus menjaganya, Gaza, agar cucu mantuku cepat sembuh dan bisa ke sini segera."
"Iya, Nek."
"Awas kalau kau membohongi Nenek."
"Jaga kesehatanmu, Nek," tutup Gaza sebelum neneknya akan bertanya lebih banyak lagi. Netranya menatap tajam pada Leon. "Kenapa kau membawa Mattew untuk memeriksanya, Leon?" desisnya tajam.
Leon melonggarkan dasinya, tatapan majikannya seakan mencekik lehernya. Ia berdehem. "Saya hanya terfikir nama Dokter Mattew, Tuan," jawabnya hati-hati.
Gaza mendesah berat. "Kau membuatku dalam masalah, Leon."
Leon meneguk salivanya alot.
"Mattew sialan. Kenapa dia selalu bermulut lebih."
.
.
.
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments