3. HARI BARU

Eps. 3

å

..."You touch me with your smile."...

...•...

...•...

...•...

Beberapa hari menyusuri jalanan, akhirnya Gisella mendapatkan pekerjaan dan juga tempat tinggal. Bukan pekerjaan kantoran atau pelayan dsb. Menjadi penjual koran keliling sudah membuatnya merasa bersyukur.

Setelah di usir dari rumah Dini, ia tidak sengaja bertemu Pak Joko —seorang pria paruh baya penjual koran keliling. Iseng-iseng ia menanyakan dimana bisa menjual koran, dan ternyata Pak Joko mengambil dari seseorang bernama Pak Surya. Dan dari Pak Surya Gisella mendapatkan sebuah tempat tinggal berupa kost kecil dengan harga sewa yang sangat murah.

Gisella bersyukur masih dipertemukan dengan orang baik seperti Pak Joko dan Pak Surya. Awalnya kedua pria paruh baya itu terkejut saat mendengar penuturannya yang ingin menjadi penjual koran. Dilihat dari postur tubuh dan wajahnya yang cantik dan manis tidak akan cocok dengan pekerjaan itu. Tapi dengan penuh keyakinan Gisella meyakinkan kedua pria paruh baya itu untuk memberinya pekerjaan.

Di sinilah ia sekarang, setiap hari, setiap pagi, menjajakan korannya di persimpangan lalu lintas, menawarkan pada pengemudi yang tengah terjebak macet di padatnya kendaraan. Nilai plus untuknya karena mempunyai wajah yang cantik, sehingga banyak yang membeli korannya, walaupun tak sedikit yang sering memberikan godaan terhadapnya.

"Paman, ini uang hasil menjual koran," Gisella menyerahkan uang kepada Surya.

"Kau memang pembawa keberuntungan untukku, Gisella," balas Surya menerima uang dari Gisella dengan wajah sumringah.

"Jangan memujiku seperti itu, Paman."

"Ini bagian untukmu."

"Wah.. apa ini tidak kelebihan, Paman?"

"Tidak, kau pantas mendapatkannya."

"Kalau begitu, terimakasih banyak, Paman."

Surya tersenyum. "Sama-sama."

"Paman, apa aku bisa mendapatkan pekerjaan lain selain menjual koran?"

Surya menyernyit. "Apa kau ingin berhenti menjual koran?" tanyanya penasaran.

Gisella menggeleng. "Tidak. Hanya saja setelah menjual koran di pagi hari, tidak ada pekerjaan lain yang aku lakukan di sore hari. Aku ingin mendapatkan uang tambahan," tuturnya.

Surya mengangguk-angguk seraya berfikir. "Sebenarnya tukang gosok di rumah sedang cuti melahirkan. Apa kau mau bekerja jadi tukang setrika?"

Senyum Gisella merekah, ia mengangguk antusias. "Mau, Paman, aku mau."

"Baiklah, setelah ini aku akan membawamu bertemu istriku."

Gisella mengangguk senang.

...***...

Mobil Audy berwarna hitam melaju dengan tenang dan perlahan, kondisi seperti itu sudah biasa terjadi saat semua orang ingin menjadi yang tercepat untuk sampai ke tempat tujuan, yangang justru menyebabkan kemacetan berkilo-kilo meter.

Gaza membuka Ipad-nya selagi mobilnya terjebak macet karena lampu merah, meneliti pasar paham dan beberapa masalah pelik tentang perusahaannya. "Leon, belikan aku koran," titahnya pada Leon, —sopir pribadi yang merangkap sebagai tangan kanannya.

"Baik, Tuan."

Di sisi lain, terlihat Gisella beberapa kali mengetuk kaca mobil pengendara, berharap salah satu dari mereka berniat membuka kaca dan membeli korannya. "Koran, koran, korannya, Tuan," tawarnya saat sebuah mobil berwarna hitam membuka kaca mobilnya.

Leon terkesiap. "Nona Gisella?" gumamnya pelan.

Gaza yang mendengar nama Gisella disebut mendongak dari Ipad-nya, memperhatikan gadis penjual koran yang ternyata adalah Gisella, gadis yang pernah ia masukkan ke rumah sakit jiwa. Setelah penjelasan terakhir kali dari Gisella, beberapa hari kemudian Gaza memutuskan untuk mengeluarkan gadis itu dari rumah sakit jiwa karena memang kondisi psikis gadis itu sudah membaik.

"Anda mengatakan sesuatu, Tuan?" tanya Gisella memperhatikan wajah Leon.

Leon menggeleng. "Tidak. Aku ingin membeli koranmu."

Gisella tersenyum, menyerahkan koran pada Leon.

"Ambil saja kembaliannya," ucap Leon setelah memberikan selembar uang pecahan lima puluh ribu.

Netra jernih itu berbinar. "Sungguh? Kalau begitu terimakasih banyak, Tuan, semoga rejeki anda dilipat gandakan. Aminn," doanya tulus dengan senyuman renyah memperlihatkan sebelah pipinya yang cekung.

Leon tersenyum. "Amin."

Gaza terus memperhatikan Gisella yang sedari tadi berbicara dengan Leon, bahkan untuk pertama kalinya ia melihat seorang Gisella tersenyum. Ada sesuatu yang mengusik hatinya menyadari pekerjaan Gisella sekarang. Ia mendengar kabar bahwa keluarga Mario mengusir Gisella dari rumah dan berakhir menjadi penjual koran. Sebenarnya seberapa buruk keadaan gadis itu hingga menjadi penjual koran? Bahkan Gaza Mengetahui bahwa Gisella merupakan mahasiswa di sebuah perguruan tinggi dengan kemampuan di atas rata-rata.

Mengabaikan Gisella, Gaza kembali hanyut dalam lembaran koran di tangannya, mencari sebuah berita terbaru.

...***...

Sepulang dari berjualan koran, Gisella berangkat menuju rumah Surya yang sudah ia ketahui tempatnya, istri dari Surya yang bernama Ibu Marini mempunyai usaha laundry. Ia melepaskan alas kaki di depan rumah sebelum masuk menuju ruang belakang. Di sana sudah ada rekannya sesama tukang gosok bernama Bi Darmi yang sepertinya berusia sekitar setengah abad yang tersenyum menyambut kedatangannya.

"Kau sudah datang, Sella."

Gisella tersenyum. "Iya, Bi. Alhamdulillah koran hari ini lebih cepat laku."

"Alhamdulillah, apa kau tidak lelah? Baru saja selesai berjualan langsung kemari? Kenapa tidak istirahat dulu?"

Gisella menggeleng. "Tidak, Bibi, aku sama sekali tidak lelah. Lagipula kalau dikerjakan lebih awal selesainya bisa lebih cepat," jawabnya mulai menata baju-baju yang akan disetrika.

"Aku heran padamu, Sella. Kau itu masih muda, cantik, tapi kenapa malah kerja jadi tukang koran? Jadi tukang gosok?"

"Yang penting halal, Bi," jawab Gisella sekenanya.

"Oh, iya, kalau boleh Bibi tahu, dimana kedua orangtuamu, Sella?" Bi Darmi menoleh sekilas.

Tubuh Gisella menegang, ia membasahi tenggorokannya yang terasa kering. "Em, orangtuaku sudah meninggal, Bi."

Bi Darmi terkesiap. "Maafkan Bibi, —"

"Tidak apa-apa, Bi, aku sudah ikhlas," potong Gisella tersenyum memperlihatkan lesung pipi di sebelah pipi kirinya.

"Apa kau asli orang sini?"

Gisella nampak berfikir, kemudian menggeleng. "Bukan, Bi, aku dari Desa. Mencoba peruntungan dengan mencari pekerjaan di kota," bohongnya. Ia tidak ingin orang lain mengetahui siapa ia sebenarnya, bukan takut orang lain akan mengatakan dirinya pembunuh. Tapi ia ingin melupakan semuanya dan memulai hidup baru.

Bi Darmi terkekeh. "Dan kau justru terdampar di sini sebagai tukang gosok?" ledeknya.

Gisella ikut tersenyum. "Mungkin sudah takdirnya seperti ini, Bi, kalau aku tidak di sini, Bibi tidak mungkin mengenalku," candanya.

Bi Darmi mengangguk. "Andai saja aku masih mempunyai anak laki-laki yang belum menikah."

Gisella menoleh. "Kenapa, Bi?"

"Pasti Bibi akan menjodohkan dia denganmu," jawab Bi Darmi tertawa renyah.

"Bibi bisa saja," tanggap Gisella tersenyum.

Keduanya terlibat obrolan ringan, meskipun baru dua hari Gisella bekerja, namun Bi Darmi begitu baik dengannya, terkadang beliau membawakan bekal untuknya. Karena jujur, Gisella memang lebih banyak hanya minum air putih ketika dirinya lapar, atau hanya memakan roti saja. Ia harus banyak berhemat, untuk membayar biaya kost. Dan Bi Darmi menyadari bahwa Gisella memiliki masalah keuangan, sehingga beberapa kali ia membawakan bekal untuk gadis itu.

...***...

Gisella pulang ke kostan hampir petang, laundry milik Ibu Marini sangat ramai hari itu sehingga ia lebih banyak menghabiskan harinya di sana. Menghempaskan tubuhnya di ranjang kecil, seluruh tubuhnya terasa pegal-pegal, apalagi tangan dan kakinya yang digunakan menggosok pakaian dengan posisi berdiri.

Gisella merasa beruntung masih bisa mendapatkan pekerjaan, masih banyak diluar sana yang mempunyai nasib lebih buruk darinya, beruntung dirinya tidak harus menjadi pengemis atau pemulung. Sebenarnya ia mempunyai ijazah dan juga beberapa piagam penghargaan, tapi semua itu sudah hilang tanpa sisa. Di kota sebesar itu bekerja tanpa ijazah apa gunanya? Bahkan ijazah SMA tidak akan cukup. Terpaksa pula ia menghentikan kuliah, karena jangankan untuk biaya kuliah, untuk makan sehari-hari saja ia harus benar-benar bekerja keras.

Gisella bangkit, mengambil stok mie instan dari dalam almari, hanya makanan itu yang mampu ia beli saat ini. Meskipun ia tahu, memakan mie instan setiap hari tidak baik untuk kesehatan, tapi ia tidak punya pilihan lain. Gisella berharap suatu hari nanti rejekinya bisa bertambah, sehingga ia bisa untuk sekedar membeli nasi bungkus. Seberat itu kehidupan yang dijalaninya sekarang, ia akan berjuang sebisa mungkin.

.

.

Tbc

Terpopuler

Comments

Sabaku No Gaara

Sabaku No Gaara

penasaran siapa lelaki itu

2024-04-02

0

Anisa Airin

Anisa Airin

semangat kak

2020-08-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!