Eps. 4
å
Hari berganti hari, tidak terasa sudah satu bulan Gisella menjadi penjual koran dan tukang gosok. Bersyukur karena upah yang diterima dari hasil menggosok cukup untuk membayar kost dan juga membeli nasi bungkus. Meskipun tidak bisa setiap hari ia bisa membeli nasi bungkus, setidaknya sehari sekali ia bisa makan nasi, itu sudah lebih baik.
Pagi itu Gisella kembali menjual koran, ia merasa bersemangat sekali, beberapa kali senyumnya mengembang memperlihatkan lesung di sebelah pipinya yang mulus.
Ada banyak penjual koran di sana, pengamen, penjual cangcimen dan sebangsanya. Hanya keberuntungan yang mereka harapkan, karena sesekali mereka harus lari saat ada petugas Satpol PP yang tengah bertugas.
Gisella hendak melangkah ke jalan aspal ketika lampu berubah menjadi merah, namun naas, sebuah motor dengan kecepatan tinggi melintas dan menyerempet tubuhnya. Tubuh Gisella berputar dan terjatuh di trotoar yang keras. "Akh..." keluhnya merasakan perih di area lutut dan siku.
Beberapa teman seprofesinya berlari ke arahnya serta menolongnya bangkit. "Kau tidak apa-apa?"
Gisella menggeleng. "Tidak apa-apa, hanya sedikit tergores."
"Kau bisa istirahat di rumah, Nak, bersihkan lukamu dahulu," usul Pak Joko yang juga turut membantunya berdiri.
Gisella mengangguk mengiyakan. "Sepertinya juga begitu. Terimakasih, Paman, terimakasih semuanya."
Di tempat lain, di dalam sebuah mobil Audy berwarna hitam lebih tepatnya. Gaza melihat semuanya, ia melihat Gisella yang terjatuh terserempet motor, entah kenapa perasaan khawatir hinggap di hatinya. Tanpa disadari bathinnya berucap semoga gadis itu baik-baik saja.
*
Dengan kondisinya kaki terpincang-pincang, Gisella berjalan menuju tempat laundry.
"Sella, apa yang terjadi denganmu?" Bi Darmi tampak khawatir melihat cara jalan Gisella yang terpincang-pincang.
"Tidak apa-apa, Bibi, hanya terjatuh di jalan tadi."
"Apa kau yakin?"
Gisella mengangguk.
"Seharusnya kau istirahat di rumah, Sella, biarkan Bibi yang mengerjakan semua pakaian ini."
Gisella menggeleng. "Jangan, Bibi, nanti Bibi kelelahan. Aku baik-baik saja, kalau aku merasa lelah, aku akan istirahat."
"Kau janji?"
Gisella mengangguk. "Iya, Bibi, aku berjanji.
Bi Darmi tersenyum saja.
Ternyata Gisella benar-benar memaksakan tubuhnya untuk bekerja, menahan perih yang menjalar dari lutut serta sikunya yang lecet.
Sepulang dari tempat laundry, Gisella tidur dengan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, tubuhnya menggigil kedinginan padahal suhu tubuhnya sangat tinggi. Mungkin efek dari luka di lutut dan sikunya membuat tubuhnya panas dingin. Ia memutuskan untuk meminum obat yang dibelinya di warung beberapa saat yang lalu, berharap bahwa esok akan segera sembuh.
...***...
Sudah tiga hari sejak kejadian Gisella yang terserempet motor, Gaza tidak menemukan gadis itu di jalanan untuk menjual koran. Jujur, selama ini Gaza selalu memperhatikan gadis itu, bahkan ia selalu berangkat di jam yang sama, berharap bisa melihat Gisella di jalan. Namun sudah tiga hari ia tidak menemukan gadis itu di manapun. Apa gadis itu sudah mendapatkan pekerjaan baru? Atau mungkin ia sakit?
Entah sejak kapan Gaza menaruh sedikit simpati pada gadis itu, rasa penasaran menyerangnya ketika melihat kegigihan Gisella yang rela berjualan koran di jalanan. Karena seperti yang ia ketahui Gisella bukan gadis bodoh, gadis itu mempunyai berbagai piagam dan ijazah dengan nilai yang bagus pastinya. Gaza mengetahui hal itu dari Mia, terkadang Mia memang bercerita tentang Gisella. Meskipun Gaza tidak mengetahui rupa Gisella kala itu.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan gadis itu?
Tiba-tiba perasaan khawatir menderanya, terlebih saat Gaza mengetahui gadis itu mempunyai trauma berlebih seperti yang dikatakan dokter.
Di dalam mobilnya, pikiran Gaza terus terngiang oleh Gisella, tiga hari tidak melihat gadis itu membuat dirinya sedikit khawatir. "Leon, cari tahu semua tentang gadis itu," titahnya meluaskan tatapan mengawasi luar kaca, berharap menemukan keberadaan gadis yang telah mengganggu pikirannya.
Leon menyernyit. "Gadis itu? Siapa yang anda maksud, Tuan?"
Gaza berdecak. "Gadis penjual koran itu."
Leon terkesiap. "Apa maksud anda Nona Gisella?" tanyanya memastikan.
"Memang siapa lagi gadis penjual koran yang ku tahu?" sungut Gaza kesal.
Leon tersenyum samar. "Baik Tuan."
*
Butuh waktu tiga hari untuk Leon mendapatkan informasi tentang kehidupan Gisella yang sesungguhnya. Dengan langkah penuh wibawa ia berjalan menuju ruangan pribadi Gaza, mengetuk tiga kali sebelum membuka pintu.
"Apa kau sudah mendapatkan yang ku minta, Leon?"
Leon mengangguk. "Sudah semua, Tuan. Tapi saya rasa ini cukup mengejutkan."
Kening Gaza menyernyit. "Maksudmu?"
"Nona Gisella mengalami hal buruk sedari kecil, Tuan. Mungkin itu asal mula trauma yang dia alami," jawab Leon menyerahkan map pada Gaza.
Gaza membuka dan membaca dengan seksama semua tulisan yang tertera di sana. Terlihat beberapa kali ia menggelengkan kepala, mengurut hidung, mengerutkan dahi saat membaca deretan huruf-huruf tersebut. Semua yang dialami Gisella ada di sana, mulai dari kematian sang adik, kedua orangtuanya, diusir karena dituduh sebagai pembunuh. Dan juga keluarga Mia yang melakukan hal sama terhadap gadis itu, menyeret dan mengusirnya.
Kini Gaza tahu seberapa berat kehidupan yang dijalani Gisella. Bagaimana tidak tertekan? Bagaimana tidak depresi? Mungkin jika ia berada di posisi Gisella, ia akan benar-benar menjadi gila.
Gaza sekarang mengerti kenapa Gisella saat itu tidak berani menolong Mia yang tengah dipukuli, karena gadis itu mempunyai trauma dan ketakutan yang lebih besar dari yang tak pernah ia bayangkan. Gadis itu tidak bisa melihat kekerasan di depan mata, psikisnya terguncang hebat. Pantas saja ia tidak menangis saat melihat kematian Mia, karena jiwanya sedang berperang. Hal itu yang membuat asumsi orang-orang menuduhnya sebagai pembunuh Mia.
Poin terakhir yang dibaca Gaza adalah ternyata selain bekerja sebagai penjual koran, Gisella juga bekerja sebagai tukang gosok di sebuah laundry. Dan beberapa hari setelah kecelakaan itu Gisella terbaring sakit, itu sebabnya Gaza tidak menemukan gadis itu ketika berangkat bekerja.
Seberapa parah sakitnya sehingga membutuhkan waktu berhari-hari untuk kembali berjualan koran?
"Leon."
"Ya, Tuan."
"Panggil Dokter untuk memeriksa keadaannya."
Leon terdiam, belum mengerti siapa yang dimaksud tuannya.
"Leon, apa kau mendengarkanku?" ulang Gaza menyadari keterdiaman asistennya.
Leon terkesiap. "Maksud anda memeriksa Nona Gisella?" tanyanya memastikan.
"Iya, Leon.." desis Gaza menatap tajam.
"Baik, Tuan. Segera saya laksanakan," jawab Leon kemudian.
"Satu lagi. Bawakan makanan yang bergizi berbagai jenis untuknya."
Leon mengangguk. "Saya permisi, Tuan."
Gaza mengangguk, netranya kembali menyusuri susunan kalimat yang tersusun pada kertas di depannya. Membaca keseluruhan informasi dari siapa Gisella yang sesungguhnya. Gaza menutup wajahnya, gadis ini sungguh luar biasa, pikirnya.
Teringat pertemuan pertamanya dengan Gisella di rumah sakit, sepasang mata indah dengan kilauan cahaya yang menyejukkan, seperti halnya lautan lepas yang menyegarkan hatinya. Namun dibalik itu semua tersimpan banyak kepahitan, banyak kesedihan yang disembunyikan oleh gadis bernama lengkap Arindiana Gisella tersebut. Sedikit demi sedikit Gaza mulai mengangumi sosok perempuan seperti Gisella.
.
.
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Anisa Airin
semangat
2020-08-15
0