Eps. 2
å
Saat terbangun, Gisella merasa berada di tempat yang berbeda, aroma antiseptik menembus indera penciumannya. Netranya mengerjap. Untuk sesaat ia memikirkan kenapa bisa berada di ruangan itu. Ia menyadari kehadiran seseorang, seorang pria dengan pakaian formal tengah menatapnya dengan tatapan membunuh.
"Apa yang terjadi dengan Mia?" tuntut pria itu mengeratkan rahang.
Tiba-tiba Gisella teringat Mia, bayangan Mia yang dipukuli dan dihabisi pria tak dikenal melintas, dan juga Mia yang sudah meninggal di depan gedung.
"Jawab!"
Gisella berjengit mendengar suara hentakan pria di hadapannya, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban.
Sang pria mengepalkan tangan. "Apa kau yang membunuhnya?" desisnya tajam.
Gisella kembali menggeleng.
Sang pria geram, ia mencengkeram wajah Gisella dengan sebelah tangan, mencengkeram kuat kedua pipinya agar mendongak menatapnya. Saat itulah ia tertegun melihat manik mata coklat hazel yang begitu indah, seperti halnya melihat lautan lepas yang sejuk, ia tidak pernah melihat mata yang begitu indah. Seakan tersadar, ia kembali berucap. "Katakan sesuatu mengenai Mia, atau kau dalam masalah besar," desisnya mengancam, berusaha mengabaikan sorot kesedihan dari kedua manik mata indah itu.
Gisella hanya diam, menatap balik netra tegas pria di hadapannya, tidak ada kata yang keluar dari bibirnya.
Sang pria tentu merasa kesal, ia menghempas wajah Gisella kasar. "Jika kau terus diam, aku pastikan kau akan menderita," ancamnya, kemudian meninggal Gisella yang membeku.
...***...
Pria itu bernama Theodore Gaza Andreas, pemilik perusahaan yang dikunjungi Mia dan juga Gisella tadi siang. Pria itu merupakan calon tunangan dari Mia karena perjodohan kedua orangtuanya.
Gaza, biasa orang memanggilnya, pria itu terkejut saat melihat kerumunan di depan kantornya, dan lebih mengejutkan saat melihat Mia, —sang calon tunangan. yang meregang nyawa dengan mata terbuka. Hingga ia mengetahui fakta bahwa Mia terjatuh dari atap gedung saat bersama seorang gadis, tidak tahu apa yang terjadi, ia memutuskan untuk mengunjungi sang gadis yang saat itu berada di rumah sakit untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya.
Namun apa yang didapatkan? Gadis itu hanya diam tidak mengucapkan kalimat apapun, bahkan seakan jiwanya sedang berada di tempat lain.
Beberapa hari kemudian ia mendapatkan informasi dari sang dokter bahwa gadis yang ternyata bernama Gisella itu mengalami trauma psikis yang cukup berat.
Keluarga Mia menyebut Gisella gila, dan menginginkan agar Gisella dibawa ke rumah sakit jiwa atau di penjara. Gaza tentu tidak bisa melakukan keduanya, ia belum mempunyai bukti bahwa Gisella yang membunuh Mia. Tapi keterdiaman Gisella membuat semua orang membenarkan bahwa Gisella-lah yang membunuh Mia, karena jelas terlihat tidak ada kesedihan, bahkan gadis itu tidak menangis saat Mia meninggal, yang terlihat justru ketakutan dari pancaran matanya, membuat persepsi semua orang semakin yakin bahwa ketakutan yang dipancarkan dari gadis itu karena telah membunuh Mia. Mau tidak mau, Gaza akhirnya menyetujui untuk membawa Gisella ke rumah sakit jiwa. Karena pihak kepolisian tentu tidak akan menahan seseorang dengan gangguan jiwa.
Berhari-hari Gaza mengunjungi Gisella di dalam ruangannya, namun gadis itu masih tetap diam, bahkan posisinya tidak berubah sejak terakhir kali ia mengunjunginya. Berulang kali, berganti-ganti psikiater didatangkan untuk sekedar membuat Gisella membuka suara. Namun nihil, mereka pulang dengan tangan kosong, tidak mendapatkan jawaban apapun dari bibir Gisella. Gadis itu seakan tengah berada di dalam pikirannya sendiri, jiwanya entah dimana, tatapannya kosong.
Gaza menghela nafas panjang. "Kau memang menyukai berada di tempat ini. Karena jika kau tidak mau membuka suara, kau tidak akan pernah bisa keluar dari sini," desisnya lagi berlalu meninggalkan ruangan.
Kepala Gisella mendongak menatap kepergian Gaza yang perlahan menghilang di balik pintu. "Aku tidak gila," gumamnya pelan.
...***...
Entah sudah berapa minggu Gisella berada di dalam rumah sakit jiwa, tapi itu bukan waktu yang sebentar. Saat terbangun dari tidurnya, netranya menatap sekeliling dengan kernyitan dahi yang begitu dalam. "Dimana aku?"
Seorang suster datang membawakan sarapan untuknya.
"Suster, aku dimana?"
Sang suster terlonjak kaget mendengar Gisella yang bertanya, bahkan nampan yang dibawanya hampir terjatuh, karena selama ini yang ia tahu gadis itu tidak pernah membuka suara sama sekali. "Anda berada di rumah sakit jiwa, Nona."
Gisella menghembuskan nafas pelan. "Suster, bisakah aku meminta kertas dan bolpoin?"
Sang suster mengangguk. "Akan saya ambilkan."
"Terimakasih, Suster."
Sang suster lagi-lagi terkejut, terbesit pemikiran apakah gadis itu benar-benar gila?
Hari yang terus berjalan Gisella habiskan dengan menulis di buku yang diberikan sang suster kala itu, awalnya suster memberinya selembar kertas. Tapi kertas itu sudah penuh, jadi ia kembali meminta buku.
Gisella masih menjadi sosok pendiam seperti sebelumnya, hanya coretan dan tulisan kertas yang menemaninya, ia tidak tahu sampai kapan ia akan berada di tempat itu. Bahkan ia tidak tahu kenapa ia berada di sana, ia hanya ingat saat melihat seorang pria memukuli Mia, ia berniat meminta tolong pada seseorang namun terlambat, ia juga ingat tubuh Mia tergeletak dengan simbahan darah. Selebihnya ia tidak ingat sama sekali. Tapi Gisella tahu, ia berada di rumah sakit jiwa karena masalah Mia, pasti orang-orang mengira bahwa ialah pembunuh Mia, sama seperti sebelumnya, saat ia dituduh sebagai pembunuh adik dan kedua orangtuanya.
Ceklek!
Pintu terbuka, menampilkan sosok seorang pria dengan pakaian formal berjalan ke arahnya. Gisella nampak mengingat-ingat siapa pria itu, namun nihil, ia tidak tahu siapa pria asing yang menatapnya dingin itu.
"Suster bilang kau sudah lebih baik," Gaza berujar mengambil duduk di depan Gisella. Ekor matanya memperhatikan sekeliling, terdapat beberapa tempelan kertas di dinding dengan berbagai tulisan dan gambar. "Bagaimana keadaanmu?" tanyanya menatap Gisella.
Gisella mengangguk.
"Bisa kau jelaskan, kronologi Mia terjatuh dari atap gedung?" tanya Gaza to the point, cukup lama ia menantikan jawaban dari gadis di depannya.
Gisella menunduk, kepalanya menggeleng pelan.
Gaza meraup wajahnya, kemudian menghembuskan nafas pelan. "Kalau kau terus diam, kau tidak akan keluar dari tempat ini," ucapnya mulai tak sabar. "Aku tahu sebenarnya kau tidak gila. Tapi kalau kau menyukai tempat ini, dengan senang hati aku akan membiarkanmu berada di sini."
Gisella mendongak cepat. "Aku tidak tahu," ujarnya pelan.
Kedua alis Gaza menukik tajam. "Maksudmu?"
"Aku tidak tahu kenapa Mia bisa terjatuh dari atap gedung." Kedua tangan Gisella saling meremas dengan kepala tertunduk. "Saat itu aku melihat seorang pria datang dan langsung memukuli tubuh Mia dengan besi. Aku takut. Aku ingin mencari pertolongan tapi terlambat, karena Mia sudah terkapar di tanah," sambungnya dengan suara bergetar.
Gaza menegang. "Pria? Siapa dia?"
Gisella menggeleng. "Aku tidak tahu. Tiba-tiba dia datang dan menyerang Mia."
Gaza memijit pangkal hidungnya, kemudian beranjak meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata.
*
Beberapa hari kemudian seorang suster memasuki kamar Gisella, memberitahukan bahwa dirinya sudah sembuh dan bisa pulang.
"Terimakasih, Suster," ucap Gisella tulus.
Sang suster mengelus lengan Gisella. "Sama-sama, Nona, berhati-hatilah."
Gisella mengangguk.
Langkah kaki Gisella menyusuri jalan, tujuannya satu, mengunjungi rumah yang menjadi tempat berteduhnya beberapa tahun, saat usianya menginjak dua belas tahun. Baru saja ia menginjakkan kaki di teras rumah, pintu tiba-tiba terbuka lebar dan keras.
"Mau apa lagi kau, pembunuh!" hardik Dini mendorong tubuh Gisella hingga terjatuh.
"Bukan aku yang membunuh Mia, Ma."
"Stop! Jangan panggil aku Mama, aku bukan Ibumu. Pergi kau dari sini!"
"Izinkan aku mengambil surat-surat pentingku," pinta Gisella bersimpuh.
"Semua yang berhubungan denganmu sudah aku buang, jadi tidak perlu lagi kau berada di rumahku. Pergi kau!" Dini kembali mendorong tubuh Gisella.
"Maafkan aku, Ma," luruh sudah pertahanan Gisella.
"Maaf? Apa jika aku memaafkanmu Mia akan kembali? Ha! Kau memang anak pembawa sial, Gisella. Aku membencimu. Sungguh membencimu, anak sialan!"
Tubuh Gisella bergetar, lagi-lagi kalimat itu terdengar di telinganya. "Tapi aku tidak membunuh Mia, Ma, bukan aku," ucapnya membela diri.
Dini menarik rambut Gisella kuat. "Jika kau menolongnya, Mia tidak akan mati. Tapi apa? Kau membiarkannya disiksa, sedangkan kau hanya diam dengan ketakutanmu sendiri, biadab kau, Gisella!" pekik Dini menghempaskan rambut Gisella.
Gisella terisak, kalimat Dini memang benar adanya, jika saja dirinya berani menolong Mia, Mia tidak akan mati. Tapi apa yang bisa ia lakukan saat trauma itu kembali memburunya, menghantui pikirannya.
"Pergi kau, pembunuh!" Dini menarik tubuh Gisella. Mendorongnya kuat serta menghempaskannya di aspal yang keras. "Jangan pernah kau injakkan kaki di rumahku, atau aku sendiri yang akan membunuhmu!" ancamnya berteriak marah.
Gisella tertunduk dengan air mata yang mengalir deras, situasi itu sama persis ketika ia diusir oleh neneknya, diseret dan dihempaskan di jalanan. Bahkan saat itu kakinya harus terluka karena terkena kerikil kecil, ucapan dan hinaan yang dilontarkan Dini sama persis dengan sang nenek. Menyebut dirinya pembunuh, anak pembawa sial, biadab, dan juga kata-kata yang mengancam jika ia menginjakkan kaki di rumahnya.
Ternyata memang tidak ada yang menginginkannya untuk hidup, lalu untuk apa dirinya hidup, untuk siapa dirinya hidup? Seringkali pertanyaan itu melintas di pikirannya, karena selama ini semua orang seakan membencinya, tidak menginginkan kehadirannya, dan menginginkan kematiannya.
.
.
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Anisa Airin
kasiannn
2020-08-15
1