dikeroyok emak emak

"Kalau kangkungnya, seikat berapa, Bu?" tanyaku pada si bule sayur.

"Lima ribu aja, Neng."

"Jadi, berapa total semua belanjaan saya?"

"Semuanya, jadi ... delapan puluh lima ribu, Neng!"

kurogoh uang yang terselip di kantong celana jeans. "Ini." kuberi uang berwarna merah itu padanya, seratus ribu rupiah. "Ambil saja kembaliannya, Bu." ucapku ramah.

"Makasih banyak, Neng."

"Sama-sama."

"Cih! Sok kaya!" Terdengar sinis suara Mak Ijah yang juga tengah memilih sayur di hadapan. Membuat netraku tergugah menoleh, tampak ia masih menggerutu, memonyong-monyongkan bibir, mencibir sambil tak luput menawar-nawar harga sayur yang sudah murah. Arrggh geram sekali aku melihatnya. kualihkan pandangan. Eneg. Tak ingin berlama-lama melihat wajah busuknya. Ya aku mengatakannya busuk. Seperti hatinya yang tak pernah memandang sisi baikku. Biarlah ia mencibir, toh sudah biasa aku menelan cibiran seperti itu.

Santai aku melangkah, menjenteng sayuran dan beberapa bahan keperluan untuk berjualan di warung kopi.

Seperti biasa, pagi ini kudengar para ibu muda asik menggosip sambil berkumpul di teras depan salah satu warung terlaris. Kali ini mereka brrgosip perihal kematian anak dalam kandungan bu Desi.

"Eh, Jeng! kalian udah dengar kabarnya belum?"

"Kabar apaan?" Tampak mereka membelalak memasang mata dan telinga.

"Itu loh, Bu Desi!"

"Iyee, emang kenapa dengan bu Desi?"

"Denger-denger nih yee, anak dalam perutnya meninggal."

"Ah masa iya!"

"Iya, gue serius, masa iya sih gue bohong sih."

"Wah, jangan-jangan ulah si kuyang ntuh lagi!"

"Ya, iya. Udah pasti ulah dia. Emang siapa lagi coba."

Aku tertawa sinis mendengar percakapan mereka. Kulangkahkan kaki menghampiri. "Eh Buibu, mana ada sih orang mati karena kuyang. Mati itu di tangan Tuhan. Bukan di tangan kuyang." celetukku saat berdiri di hadapan mereka.

"Eh ... Siti!" Ia terkejut melihat aku yang ikut nimbrung. "Nyahut aja loe. Emang lu pernah hamil? Gak usah sok bijak deh!"

"Iyaa, janda aja belagu," sambung ibu yang lain di sebelahnya.

'Brengs*k,' batinku mendumal.

"Oh iyee, lupa. lue kan gak punya suami. Mana mungkin bisa ngerti perasaan wanita sejati seperti kite. ha ha ha!" ledeknya.

"Iya! Mangkanya, kalau punya suami tuh di jaga, di sayang. Biar kagak minggat!"

Asik mereka menertawaiku.

"Eh, Buibu. Yang perlu jaga suami itu kalian, bukan saya. Kalian tahu gak? Tiap pagi suami kalian itu selalu mampir di warung saya! Mangkanya, muka sama hati itu perlu di jaga dan di rawat. Biar cantiknya merata." Aku membalas cibiran mereka. Entah kenapa, hari ini aku lelah jika harus selalu mengalah.

"Ih ... sombong bener lu ya!" ucapnya geram. Wajahnya terlihat murka, seperti hendak menerkamku.

"Bukan sombong, tapi kenyataan!" ungkapku.

"Kurang ajar! Mulai berani lu sekarang yah!" hardiknya. Tampaknya pagi ini aku telah salah mengambil tindakan. Mereka mulai garang, berdiri hendak menyerangku. Gawat, aku baru saja membangunkan para buaya betina. Berat aku menelan saliva sambil berjalan mundur. Tampak semua wajah mereka merah padam menatapku. aku pun memutar badan, berlari sekuat yang kumampu. Namun, sepertinya usahaku kurang keras.

Sedetik kemudian mereka berhasil mengerubuniku. Aku berteriak sekuat yang aku bisa. Meronta, berusaha melepaskan diri dari cakaran dan jambakan mereka. Sial, mereka berhasil menganiayaku. Aku terus mengerang hingga beberapa saat terdengar langkah beberapa pria yang berlari ke arah kami, melerai dan menarik para ibu-ibu yang kesetanan itu.

Beruntung aku masih selamat. Beberapa luka memar menodai wajah mulusku. Kuurungkan niat untuk membalas mereka hari ini. Tunggu saja bila saatnya tiba, aku akan membalas mereka satu persatu.

Para bapak-bapak itu terlihat sibuk menyeret pulang paksa istri-istri mereka yang masih terus meronta, terlihat jelas mereka belum puas melampiaskan emosinya padaku.

"Mbak gakpapa?" Seorang pria muda tiba-tiba saja menghampiri. Setelan jaz dan sepatu pantofel melekat di tubuhnya. Ah paling juga sales? batinku.

"Ah, iya, gakpapa, Mas," sahutku.

Ia membantuku memungut barang-barang belanjaan yang berserakan, terhambur akibat serangan para ibu-ibu judes. Lalu menyerahkannya padaku.

"Mau ke mana, Mbak?" tanyanya.

"Ke warung, Mas?" sahutku.

"Mau saya antar?"

"Ah gak usah mas. Udah dekat juga." Aku menolak tawarannya. Paling juga pengen kenalan, alias PDKT.

"Oh, ya sudah kalau begitu. Saya duluan ya." Ia melangkah pergi meninggalkanku. Terlihat tangannya mengarahkan kunci ke sebuah mobil yang terparkir. Kemudian menekan tombol alarm.

Bip bip!

Sebuah alarm mobil berbunyi. Ia mendekat kemudian membuka pintu mobil, masuk. "Wah sial. Ternyata bawaannya mobil. Aku udah nolak orang yang salah. Aisshh!" Sejenak aku mematung. "Apes apes." Kemudian berlalu dengan sedikit menyesal.

Aku melanjutkan tujuan ke warung. Melangkahkan kaki, Gontai. Menyesal karena menolak tawaran pria tadi. "Andai tadi gie gak menolak, mana gue tahu kalo dia anak orang kaya" gumamku.

Sesampainya, kulihat dua pria sudah menungguku di sana.

"Loh, kok tumben buka warungnya telat, Ti?" tanya Joko yang sepertinya sudah lama menunggu.

"Iya, Mas. Tadi ada sedikit masalah." jawabku lesu.

"Loh, itu mukanya kenapa?" Saipul menambahi.

"Gakpapa, Mas!"

"Aduuh, kasiahannya belahan hatiku!"

'Cuih. Belahan hati' aku menggerutu dalam hati. Kuabaikan mereka sesaat. Segera kubereskan barang-barang untuk bersiap membuka warung. 'Semoga aja, masih berjodoh ketemu sama cowok tadi.' Aku membatin.

Terpopuler

Comments

🌺sahaja🌺

🌺sahaja🌺

Bule sayur,kirain yg jual bule2 yg putih mulus😅😅😅😅

2022-12-19

1

Eka Kurnia

Eka Kurnia

lanjut Thor,,semangat💪💪💪

2021-03-18

0

Rika Rostika

Rika Rostika

lanjuuut...

2021-01-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!