Satu tahun telah Galina lalui di sekolah dengan rencana awal yang indah kini bertolak belakang dengan kenyataan. Satu tahun harus dia lalui menghindari Rayno. Betapa alam semesta mendukung gagalnya hubungan mereka lewat letak kelas yang ditaruh berjauhan sehingga kecil kemungkinan mereka berpapasan.
'Sembunyi di kelas lebih aman daripada di luar.' Begitulah isi pikiran Galina.
Senyum di bibir Galina perlahan luntur, tidak ada lagi keceriaan menyambut tahun ajaran baru. Dia merasakan lelahnya sebagai murid di tahun pertama, yang ada di pikirannya berisi beban yang akan ditampung ke dalam otaknya. Selain itu, Galina juga sedang mempersiapkan ruangan penyimpanan yang luas di otaknya untuk tahun kedua nanti.
'Bagaimana aku bisa menjalani hidup? Sementara aku selalu mengandalkan cinta di hidupku. Cinta pertamaku nggak berjalan lancar. Urusan keluarga pun ikut rumit karena dituntut banyak orang agar membantu pekerjaan Ayah. Sementara nanti tugas banyak, organisasi harus diikuti,' batin Galina ketika berjalan menuju ke kelas barunya.
Galina memutuskan duduk sebentar sebab kepalanya pusing. Kebetulan sekolah masih sepi karena Galina memilih berangkat lagi sehingga dia bisa melepaskan air mata yang dibendung sejak lama.
Kepalanya menunduk untuk meredam suara isak tangisnya. "Aku benci diriku yang cengeng. Aku berharap suatu saat dapat memendam air mataku sampai ada tempat untuk mengeluarkan semua kesedihanku. Aku nggak mau jadi lemah hanya karena masa remaja, masa ini harus aku habiskan untuk bersenang-senang, bukan seperti ini." Galina meremas kedua lututnya, membiarkan air matanya lolos hingga mengenai kaos kaki panjangnya.
Hatinya terasa sesak sewaktu berada di masa sulit. Rasanya dunia yang dia pijaki gonjang-ganjing tidak ada pegangan untuknya bersandar.
Betapa sesaknya hati seseorang yang tengah mengalami masa sulit, tidak dapat disembuhkan hanya dengan kata 'semangat' tanpa bantuan dari orang lain. Hanya sapu tangan merah muda berkepala kelinci di setiap sudutnya yang mampu membangkitkan senyumnya. Sapu tangan yang selalu Galina lihat ketika pemiliknya menangkap basah saat sedang menangis.
"Baru dicuci, pakai aja. Hati-hati ada noda darah baru aku pakai tadi. Kamu pakai sebelah sini," tunjuk Sofia yang memang sejak awal mengikuti Galina yang terlihat kurang bergairah untuk hidup.
Galina mendongak, mendengar ucapan sahabatnya yang semakin merasa bersalah sampai membuat matanya berkaca-kaca. "Kenapa aku nggak bisa selalu ada saat kamu butuh bantuan. Kamu masih mimisan lagi?"
"Aku bisa mengurus diriku sendiri. Lagi pula mimisan hanya sebentar," jawab Sofia yang tersenyum. "Bukannya kita udah terbiasa? Aku yang nggak suka dibantu dan kamu yang nggak peka."
Senyum di bibir Galina terangkat. "Aku baru ingat."
"Jangan terlalu banyak dipikir, prosesnya jalani aja. Nikmati masa sulit, nanti kalau udah berlalu pasti kamu mengingat masa ini sebagai yang terbaik." Kalimat yang niatnya sebagai penenang itu membuat Galina teringat sebab dirinya menangis. Air matanya turun lagi.
"Aku ... kehilangan arah," rintih Galina yang kembali menunduk dalam.
Sofia menghela napas. "Salah nih aku."
"Aku bingung harus apa. Sepertinya aku salah masuk jurusan. IPA ke Tata Boga itu jauh banget. Seharusnya kalau ayahku punya restoran, aku masuk ke Tata Boga. Itu lebih mudah dan mereka nggak nuntut aku belajar masak," ungkap Galina yang ia sesali.
"Nggak salah dong masuk IPA. Kamu terusin yang sekarang sambil belajar masak. Justru, kamu itu beruntung punya ayah sepertinya," imbuh Sofia yang meyakinkan Galina agar berpihak pada kedua masalah yang tengah Galina ributkan.
"Tapi nggak cuma itu aja, banyak."
"Halah! Capek lama-lama bicara sama kamu. Ayo masuk kelas! Apa yang kamu khawatirkan saat ini belum tentu jadi kejadian di masa depan. Hidup seperti Sofia Andini yang pasrah menjalani hidup," ucap Sofia lalu menggeret Galina agar berdiri. "Semangat! Kamu nggak boleh goyah! Jalani sekarang, nggak usah banyak mikir hal yang buat pikiran kamu terganggu!"
Lantas Galina beranjak dari tempat duduknya menyetujui ucapan gadis cantik di depannya lalu menuju ke kelas baru dengan memamerkan senyuman palsu.
Sofia melirik sekilas memastikan jika Gauri merasa lebih baik.
"Bagaimana masa depan kamu? Dilihat dari sekarang yang santai, kamu mau jadi apa?"
Sofia diam sejenak berpikir dengan mengigit bibir bawah lalu menjawab, "Manager."
Sontak Galina tertawa seraya mengusap air mata di wajahnya. "Kamu mau jadi Manager? Susah diatur mau jadi Manager?"
"Sebentar," sela Sofia ketika Galina yang mau bicara lagi. Dia pun mengarahkan cermin kecil ke depan wajah Galina. "Persis seperti kamu, 'kan? Susah diatur!"
Galina langsung memamerkan deretan giginya. "Ayo masuk! Yang pertama masuk jadi orang yang paling cantik sedunia!"
Tawa Sofia pun menggelegar, secepat kilat dia mencegah Galina lari lebih dulu agar mereka bisa masuk bersama. "Kamu jelek karena habis nangis. Yang cantik tetap aku!"
"Terserah. Mau tau nggak?"
"Enggak."
Galina langsung merengek, Sofia pun mengangguk sebagai jawaban. "Aku bahagia bisa sekelas sama kamu, Pia," ungkapnya kemudian menggandeng lengan sahabatnya.
"Berarti sekali, ya, aku di hidupmu. Kalau gitu sering-sering traktir deh," kekeh Sofia yang berkedip melihat Galina.
Galina menjulurkan lidahnya lalu mendorong pelan Sofia masuk ke dalam kelas. "Nggak mau!"
Sofia yang ingin melepas tawa itu langsung kesal karena tubuhnya menabrak dinding, sementara Galina lebih dulu memasuki kelasnya.
"Yang masuk duluan jadi orang tercantik sedunia!" teriaknya yang langsung terkejut saat masuk ke dalam kelas karena sudah ada seorang lelaki yang wajahnya tidak asing tengah berdiri di atas kursi miliknya yang berada di pojok. Sebisa mungkin dirinya pura-pura tidak mengenali lelaki itu.
Mendengar teriakan orang yang masuk ke kelas membuat lelaki yang tengah memegang gorden terkejut setengah mati, untungnya sebelah kakinya menapak di atas meja sehingga mencegah hal yang tidak diinginkan.
"Hey!!" teriak Galina yang menghampiri mejanya. "Punya sopan santun nggak, sih?"
Lelaki berseragam sekolah lain itu pun turun, dia menggaruk tengkuknya. "Maaf, gordennya lepas, mau aku pasang."
"Kalau mau naik kursi tuh sepatunya dilepas!" protes Galina sambil mengeluarkan tisu yang ada di laci untuk membersihkan kursi dan mejanya, lalu dia memberikan tisu ke lelaki itu, "Baju kamu kotor."
Dengan cepat lelaki itu mengambilnya. "Makasih."
Sofia yang baru masuk keheranan dengan sahabatnya yang marah besar. Perlahan langkah kakinya mendekati dua orang itu agar bisa tau kondisi sebenarnya.
Ketika mereka saling bertatapan, lelaki itu mengernyit dahi lalu menunjuk Galina dirasa tebakannya benar. "Benarkan, cewek RSU! Kita pernah bertemu. Nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini."
Bohong, padahal banyak perjuangan agar bisa sekelas bersama Galina.
"Kita pernah bertemu? Aku nggak ingat." Galina menggeleng lalu dia melepas sepatunya untuk memasang gorden yang lepas.
Galina juga berbohong, aslinya dia mengingat orang itu hanya dengan melihat rambut kepalanya dari belakang.
Sofia menahan senyumnya lalu duduk di atas meja melihat lelaki itu. "Maklumi aja orangnya gampang marah kalau barangnya diganggu orang. Oh, ya, Kalian pernah bertemu di mana?"
"Setahun yang lalu waktu aku jatuh pakai sepeda Kakekku dibantu sama dia. Rumah kamu di RSU, 'kan? Aku lihat kamu dijewer sama Ayahmu."
Tangan Galina saat memasang gorden meleset hampir saja hilang keseimbangan yang buat dua orang itu terkejut. Galina kembali fokus memasang gorden sampai dirasa sudah terpasang sempurna.
Gadis kuncir kuda mengencangkan ikat rambutnya. "Aku ingat. Kamu kenapa pindah ke sini?"
"Setahun yang lalu Nyokap meninggal, jadi sekarang tinggal di rumah Bokap. Jarak rumah sama sekolah yang dulu jauh jadi pindah di sini," terangnya agar dua orang perempuan itu paham.
Sofia mengangguk lalu berbisik setelah Galina turun. "Mereka tinggal terpisah?"
Galina menendang sepatu Sofia karena suaranya terdengar jelas.
"Yang lain belum berangkat?" sahut lelaki itu karena suasana kelas yang tidak kunjung ramai.
"Belum bel," jawabnya lalu melihat Galina. "Duh, Lin! Ditelepon Mami, keluar dulu, ya!"
Galina tertawa. "Mami-mami, biasanya ibu," gumamnya lalu melihat lelaki itu. "Nama kamu siapa?"
"Zion."
"Neon?"
"Zion. Z-i-o-n." Dia pun mengeja dengan menekan setiap kata dengan tegas, Galina yang mendengarnya pun sontak menoleh dengan sinis.
"Biasa aja bisa nggak?"
"Telinga juga dijaga kebersihannya!"
Mereka pun terdiam dengan batin yang saling mencaci maki. Tanpa melihat tatapan matanya, orang akan tahu jika keduanya tengah melempar kata-kata kasar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments