Keadaan rumah berisi dua orang tengah disibukkan dengan persiapan putri satu-satunya yang akan memasuki sekolah tahun ajaran pertama di SMA. Bagaimana tidak meributkan hal kecil mereka bangun kesiangan sampai lupa mempersiapkan barang untuk orientasi siswa baru karena semalam restoran lembur.
Andai ada seorang ibu dalam keluarga mereka pasti hal ini tidak mungkin terjadi. Namun, takdir merenggut keluarga Ramla yang seharusnya memiliki keluarga kecil utuh kini dia harus hidup berdua dengan hadiah yang ditinggalkan mendiang istrinya.
"Ayah, sepatu baruku mana?" teriak gadis yang keluar menggunakan seragam putih abu-abu bernama Galina Zetta Swastika.
Ramla berhenti menyiapkan tas sebab melihat anak gadisnya telah tumbuh menjadi remaja sehat dan cantik. "Lihatlah anakmu, Fira, dia tumbuh dewasa tapi masih belum mandiri."
"Ayah!"
"Ada di luar kemarin Ayah cuci," jawab Ramla memaksa putrinya duduk di depan cermin. Dia melihat wajah anaknya yang mewarisi paras cantik istrinya.
"Lina buru-buru, Ayah!"
"Rambutmu masih berantakan. Biar Ayah yang merapikan seperti dulu. Model seperti apa, ya? Kepang atau be--"
Galina menggeleng kesal setelah mengingat usaha Ayahnya membuat gaya rambut aneh-aneh. "Nggak usah diikat, Yah. Lina cantik tanpa rambut diikat."
"Malang lagi panas nanti kamu gerah." Ramla pun menyisir rambut putrinya dengan hati-hati lalu menguncir kuda tanpa memakai poni, sementara Galina mengeluarkan beberapa helai rambut agar terlihat manis.
"Ayah tunggu di bawah."
Galina teringat sesuatu saat memakai sepatu, dia langsung kesal berteriak memanggil Ayahnya, "Kenapa sepatu baru dicuci dulu, sih, Yah? Hilang barunya!"
Ramla menghampiri putrinya membawa tas dan bekal. "Sepatu belum dipakai pun masih dianggap baru, buruan!"
Setelah kepergian Ramla, Galina melihat sepatu barunya yang baru dia beli di toko stok lama karena harganya jauh lebih murah mengingat ekonomi Ayahnya sedang susah. Dia melihat dengan teliti seharusnya bagian sol sepatu ada noda kecil, tetapi sekarang hilang.
"Bilang aja sepatu barunya kotor," cibir Galina lalu menutup pintu dengan senyuman lebar.
Gadis dengan ikat rambut gambar wortel itu bersenandung kecil ketika menuruni tangga, dia pun masuk ke dalam mobil yang sudah ditunggu Ayahnya.
Setelah ke luar dari restoran, Galina membuka dompet Ramla agar bisa melihat foto Ibunya. "Ayah, kenapa Ibu milih Lina daripada dirinya sendiri? Kalau Ibu milih diri sendiri pasti kalian punya anak lagi, bukan seperti yang sekarang anaknya menyusahkan terus."
"Ayah bangga sama Ibu mempertahankan kamu. Apapun keputusan Ibu, pasti itu yang terbaik, karena Ibu udah lama di dunia ini dan banyak menelan pahit manisnya hidup, mungkin itu alasannya memberikan kesempatan hidupnya buat anaknya tersayang."
"Kalau Ibu yang selamat pasti hidup Ayah terarah. Lina belum bisa jadi seperti Ibu."
Ramla mengembuskan napas. "Ayah nggak berpikir sampai situ. Ayah janji sama Ibu akan buat hidup kamu manis tanpa merasakan pahitnya hidup seperti Ibu. Kamu harus janji jangan menyia-nyiakan hidup untuk hal yang buat merugikan orang banyak."
Galina mengangguk patuh. Dia ingin kebebasan jatuh cinta, tetapi harus meminta izin hati-hati. "Lina ada dua permintaan yang harus Ayah kabulkan."
"Apa itu?"
"Yang pertama, Ayah harus nikah lagi." Anak gadis Ramla tertawa kecil, sebab tahu jika Ayahnya akan menolak.
"Bagaimana Ayah bisa nikah lagi kalau Ibu berjuang mempertahankan anakku dengan nyawanya tapi balasan perjuangannya diduakan. Permintaan kedua?"
"Kan bukan selingkuh."
"Iya, Ayah tau. Bagaimana bisa orang yang udah mengisi hatinya tergantikan orang lain? Ayah memberikan hati untuk dihiasi kenangan Ibu sebagai hadiah terakhir untuknya, kamu tega mau mengusir Ibu dari hatinya Ayah?"
Galina memijit pelipisnya, susah berdebat sama Ayahnya. "Oke kalau itu mau Ayah hidup di masa lalu. Tapi, sebagai anak keturunan Ibu, Lina yakin Ibu pasti berpikir hal yang sama."
Ramla diam sekilas lalu cemberut. "Kamu bosan hidup sama Ayah, Lin?"
"Enggak, Lina hanya takut Ayah kesepian dan karena Lina, Ayah terbebani ingin menikah," jelasnya dengan cepat agar tak salah paham.
"Ini yang jadi beban Ayah, disuruh nikah lagi."
"Lupakan yang tadi, Yah. Keinginan kedua, kalau boleh minta, apa Ayah bisa bertahan untuk waktu yang lama? Lina rasa akan kehilangan arah jika Ayah pergi juga. Lina ingin menikmati waktu seperti remaja pada umumnya sebelum waktu berlalu. Lina banyak minta, ya?" Galina menunduk melihat sepatu barunya yang akan dipakai setiap sekolah.
"Nggak papa kalau itu kemauan kamu, asalkan jangan merugikan dirimu dan orang lain, termasuk kepercayaan Ayah, paham?" tanya Ramla dengan tegas.
"Paham. Ayah nggak perlu cemas karena Lina sekuat Ibu dan sebaik Ayah." Galina mengacungkan jempolnya.
Melihat senyum Galina buat Ramla merasa bersalah sebab sejak sekolah baru kali ini mengantar sampai gerbang. "Maaf kalau sering sibuk, Lin. Ayah lagi mempertahankan restoran yang nantinya jadi milikmu, sebelum itu Ayah harus buat restoran stabil biar nanti saat jadi milik kamu selanjutnya kamu nggak banyak masalah."
"Kesehatan Ayah yang pertama. Lina akan berusaha jadi PNS biar bisa bantu Ayah," ucap Galina penuh keyakinan.
Sang Ayah kecewa mendengar putrinya berkata seperti itu setelah perjuangannya mempertahankan bisnis turun-temurun, tetapi itu pilihannya. "Belajar yang giat kalau begitu saingannya banyak."
Galina pun hormat sampai mobil berhenti. Lantas dia melihat padatnya jalanan kota Malang di pagi hari. Setelah sampai di tempat tujuan, Galina sangat menantikan hari pertamanya berada di sekolah untuk membuat banyak kenangan indah yang sudah direncanakan. Jantungnya berdetak kencang saat melihat lawan jenis dari dalam mobil karena sebelumnya bersekolah di sekolah khusus perempuan. Jika beruntung Galina akan merayakan 17 tahun di sekolah ini bersama kekasihnya.
"Tunggu apa lagi? Buruan nanti terlambat." Dengan dorongan Ayahnya yang mengantar sekolah, Galina memeluknya sebagai pamitan.
"Makasih, Yah, udah bantu masuk ke sekolah impianku. Lina akan mengingat kenangan berharga waktu Ayah antar ke sekolah untuk pertama kalinya. Ini momen paling langka karena bisa ngobrol banyak hal sama Ayah," ungkap Galina sebab dirinya merasa bahagia.
Ramla mengusap kepalanya lembut. "Ayah janji akan menyempatkan antar jemput setiap hari."
"Nggak perlu dipaksakan kalau nggak bisa, yang penting uang ongkos jalan terus," harap Galina lalu ke luar dari mobil dan melambaikan tangannya.
Ramla membalas lambaian tangannya dengan tersenyum lebar. "Anak kita udah masuk SMA. Aku bisa nggak, ya, hidup lama menyaksikan Galina lulus PNS, Fir?"
Ketika hendak masuk gerbang, Galina ingin melepas ikat rambutnya, dia ingat Ayahnya membuat rambutnya terlihat rapi. Akhirnya dia mengencangkan kembali ikat rambutnya lalu masuk ke gerbang bertulis 'SMA Muda Berkarya'.
"Akhirnya, bisa masuk ke sekolah campuran!" teriakannya mengundang perhatian semua orang. Tiada kata malu baginya, justru Galina masuk dengan percaya diri sebab menggunakan sepatu baru.
“Cie, yang baru ke luar dari penjara. Gimana ganteng-ganteng nggak?” goda perempuan berponi setelah merangkul Galina.
Mata gadis itu tidak bisa dibohongi. Namun, dia harus mengelak. “Biasa aja, standar anak swasta.”
Gadis dengan name tag Sofia Andini terus mengejek sahabatnya. “Kalau udah punya pacar beritahu aku, ya?”
“Nggak mau. Nanti dia suka kamu lagi.”
Sofia menggeleng. "Aku janji nggak akan suka sama orang yang kamu suka atau pacarmu. Kamu juga harus gitu.”
“Aku juga janji.”
Lantas mereka memasuki aula untuk orientasi. Betapa tertariknya Galina di hari pertamanya sekolah. Berada di antara orang banyak membuat energinya terasa penuh. Sesekali dia melirik lelaki yang berada di depan.
"Pia, kenapa kamu sekolah di sini? Kamu nggak ikutin aku, ‘kan?”
Sofia melirik gadis di depannya itu penuh keheranan. “Seharusnya aku yang tanya itu, kamu dibolehin sekolah di sini sama ayahmu?”
“Aku memaksa,” ringis Galina, “Karena ingin merasakan jatuh cinta di masa remajaku. Katanya ketika kita jatuh cinta jantung akan berdetak lebih kencang, berangkat sekolah pun rasanya semangat, saat lagi pusing sama tugas pasti nggak akan terasa berat dan yang terpenting aku nggak merasa kesepian.”
Mendengar jawaban dari sahabatnya yang polos itu Sofia tertawa. Dia hanya geleng-geleng dengan ocehan perempuan lulusan asrama.
“Kenapa?”
“Cinta nggak sesederhana itu, Lin. Coba kamu pikirkan, iya kalau kamu bertemu sama orang yang suka kamu, gimana kalau enggak? Pikirin juga kalau orang itu positif buat kamu kalau sebaliknya cinta bisa buat kamu kecewa. berdoa aja kamu bertemu sama orang baik dan perhatian.”
Perkataan Sofia bagaikan anak panah menancap pada uluh hatinya. Gadis yang dipenuhi simbol cinta itu mendadak seperti patung. Dia langsung mengepalkan tangannya untuk memohon kepada Tuhan.
“Tuhan, jika memang hidupku hanya satu kali, lancarkan kisah percintaanku sampai dewasa kelak dan pertemukan aku dengan orang yang tepat, yang cintanya lebih besar dari aku serta perhatian—”
“Banyaklah permintaanmu. Minta sekalian paket lengkap.”
Galina mengangguk. “Yang kaya, tampan, pemberani, penyayang, menerima kekuranganku. Amin.”
“Ada yang kelupaan, Ga. Kamu belum sebut dapat restu orang tua, itu penting, loh.”
Napas berat Galina bisa terdengar Sofia. “Belakangan aja nggak papa, ya?”
“Nggak ikut campur kalau itu.”
“Pia!"
Sofia menghadap depan berharap sahabatnya mendapatkan kekasih yang terbaik yang mampu menemaninya untuk waktu yang lama. Dalam hatinya Sofia banyak berdoa demi kebaikannya sampai melupakan dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Rembulan Pagi
kenapa harus pns galinaaaa
2024-06-11
1
not
Banyak air mata terbuang untuk cerita ini, tapi worth it!
2024-06-06
1