Hari pertama sekolah sangatlah lancar terlihat dari lengkungan bibir Galina yang tidak henti bersenandung kecil. Galina memasuki dapur untuk menyapa Ayahnya, sayang sekali keadaan dapur sibuk.
Ramla tengah memberikan instruksi pada karyawannya. Sementara anaknya yang masih memakai seragam berkeliling memantau orang-orang bekerja.
“Hey, kenapa ada anak kecil masuk dapur?” tanya Ramla setelah selesai memberi instruksi.
“Dia kelaparan baru pulang dari paud, Pak,” sahut lelaki yang baru datang dari belakang yang membawa sekotak penuh ikan.
“Dari wajahnya memang udah jelas dia kelaparan,” tambah wanita yang ada di depan Galina.
Semua orang tertawa ketika melihat Galina yang memegang sendok di tangannya. Orang yang jadi bahan candaan terlihat bingung, lantas dia mencicipi masakan wanita itu.
Dahi Galina berkerut. "Loh, kok kurang berasa, Bu?"
Si pemilik masakan pun ikut mencicipi. "Ini udah pas, Lin. Justru masakan ini best seller di restoran kita tau.”
Galina menelan saliva kasar. “Ayah, coba cicipi. Barangkali aku salah.”
“Ayah sibuk, Lin. Masakan karyawan Ayah nggak pernah salah. Coba kamu cicipi lagi,” jawab Ramla yang kerepotan menyambi dua masakan sekaligus.
Galina melempar sendok yang dipegang ke lantai sehingga membuat kegaduhan. Dia membenci kata sibuk yang ke luar dari mulut Ayahnya. “Aku yakin masakannya kurang asin!”
Lelaki yang bertugas menggoreng ikan ikut merasakan masakan ikan berkuah kuning yang menjadi awal keributan ini. Lelaki itu mencicipi dengan hati-hati lalu melihat Galina
"Ada yang salah sama lidah kamu, Lin.”
Merasa tak enak membuat keributan, Galina mengulum bibirnya setelah ingat kekurangan indra perasa. "Rasanya memang kurang berasa di lidahku.”
“Belajar masak sama aku, yuk. Bonusnya kamu bisa merasakan masakan enak setiap hari,” tawar lelaki itu dengan menaik turunkan alis.
Sekujur tubuh Galina merinding, sebab dia merasa sedang berbicara dengan Om-Om walaupun umur mereka terpaut 3 tahun. "Aku nggak mau mengelola restoran Ayah, apalagi masak. Aku mau jadi PNS!"
Karyawan yang lain terbelalak, sementara Ramla biasa saja sebab dia tahu jika Galina enggan melanjutkan bisnisnya. Tetap saja para karyawan takut jika restoran bangkrut karena kesehatan Ramla yang menurun.
"Ayah kamu pemilik restoran rumahan terkenal di Malang. Daripada kerja sama orang, lebih baik jadi pewaris. Kamu udah enak tinggal melanjutkan, belum lagi merintis," cibir karyawan yang dari tadi menyimak ikut angkat bicara.
Asisten Ramla menyahut, "Galina mana tertarik sama bisnis, jiwa muda itu tertarik sama cinta. Kenyang dia kalau kenal cinta."
Berulang kali Galina mengembuskan napas karena jenuh dinasihati di depan banyak orang. "Aku masih muda ya, Ibu-Ibu. Nanti kalau sudah dewasa juga tau mana yang baik untuk diri sendiri."
"Biarlah Lina menjalani masa remajanya. Kalau sudah siap sama Mas, ya?" tanya lelaki itu dengan kedipan sebelah mata.
Sontak Galina membuang wajah lalu ke luar. "Mereka mana tau ada di posisiku!”
"Kamu itu harus bantu Ayah kamu di restoran ini. Kasihan beliau sudah tua, sering sakit,” sahut petugas kebersihan yang menguping percakapan mereka.
"Aku nggak suka kamu bilang seperti itu. Ayahku masih sehat. Kamu kalau bicara hati-hati! Lagi pula aku masih sekolah, Ayah nggak masalah. Mendingan kamu fokus kerja! Kalau aku jadi bos kamu orang pertama yang aku pecat!"
"Kamu dibilangin baik-baik jawabnya gitu. Nanti menyesal jangan nangis," sindirnya mengejek Galina.
"Memangnya kamu udah jalani kehidupan sekeras apa? Pernah diterjang angin topan? Baru diprotes pelanggan aja udah merasa hidupnya nggak berguna,” balas gadis yang mengepalkan kedua tangannya.
"Aku lebih tua dari kamu, ya! Wajarlah bilang itu karena memang sudah melewati banyak cobaan," bantahnya seraya melipat kedua tangan di depan dada.
Pelayan yang datang itu pun menyuruh mereka diam. "Jangan buat keributan deh. Kalian sudah besar, harus tau tempat."
"Urusan begini baru dibilang dewasa," sindirnya yang melirik penjaga kasir itu.
"Lin, yang sopan sama orang yang lebih tua dari kamu," tegur pelayan itu penuh kelembutan.
Galina tidak menggubris mereka, dia memilih naik ke atas menuju kamarnya. Perasaan bahagianya lenyap seketika. Namun, dia berusaha mengatasi lewat kenangan orientasi di sekolah tadi.
“Aku telah menemukan gebetan pertamaku, namanya Rayno Bastian,” tuturnya setelah merebahkan diri di tempat tidur.
Berulang kali dia berguling di atas kasurnya, lalu menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih dengan senyum kebahagiaan.
“Apa yang buat aku suka sama dia? Apa karena jambulnya? Beatbox-nya? Yang jelas dia adalah cinta pandangan pertamaku!” ungkapnya seraya memeluk guling.
Ternyata hati Galina dipenuhi bunga yang baru tumbuh. Padahal beberapa menit lalu dipenuhi emosi. Memang cinta mengalihkan segalanya sampai tidak terasa tangan Galina mengukir namanya sampai terlelap tidur. Virus merah muda telah menyebar dengan cepat di seluruh tubuhnya setelah dia terjangkit virus itu.
"Rayno Bastian."
...**************...
Setelah melewati malam yang sangat panjang, akhirnya pagi tiba. Dia berencana menemui Rayno di sekolah. Virus merah muda telah menyebar cepat sehingga Galina terserang demam merah muda. Hari-harinya terasa ringan dilalui berkat suasana hatinya yang membaik. Hal ini yang buat Galina mengutamakan cinta daripada memikirkan masalah yang berada di urutan terakhir.
“Pia, sayang banget nggak sekelas sama kamu,” sesal Galina setelah sampai di depan kelas Sofia.
Sofia bosan mendengar Galina mengatakan hal yang sama setelah mengantarnya ke kelas. "Udah sebulan kamu bilang gitu, apalagi antar aku sampai kelas."
Gadis berkuncir kuda itu masih mencari-cari keberadaan Rayno yang langsung tertawa setelah Sofia protes. "Enak banget jadi kamu bisa sekelas sama Rayno."
"Jadi, protesnya karena Rayno bukan aku?” tanya Sofia yang mendramatisir percakapan mereka.
"Enggak. Tapi benar aku mau sekelas sama Rayno," ungkapnya langsung membungkam mulut.
Sofia mengenal Galina lama, dia tahu betul hal yang dirasakan sahabatnya. Melihat orang yang dicari Galina baru berangkat, Sofia menunjuk ke arah lapangan menggunakan kedua matanya. Sontak Galina menengok ke belakang.
Wajah Galina bersinar ketika melihat Rayno berjalan menghampirinya. "Mungkin kehidupan sebelumnya dia jadi pangeran yang dibunuh saat mencari permaisurinya. Sekarang dia menemukannya.”
“Ngaco!” Rasanya Sofia ingin memukul kepala sahabatnya atau berharap ada bola yang mengenai kepalanya. “Idih, biasa aja, Lin. Banyak cowok di luar sana yang jauh lebih tampan dari dia. Jangan bikin malu deh."
"Biarin!"
Kaki Galina otomatis berjalan sendiri ke arah Rayno berharap disapa, tetapi kaki jenjangnya itu mendadak berhenti. Bukan karena tali sepatunya yang lepas, hanya saja dia baru mengetahui jika tak hanya dirinya yang mengidolakan Rayno.
"Seharusnya kamu sadar, bukan kamu satu-satunya, tapi salah satunya," gumamnya perlahan berjalan mundur.
Rayno tidak melihat keberadaan Galina sama sekali padahal dia baru saja melewatinya. Bibirnya pun terkunci ketika gejolak dalam dirinya ingin menyapa. Mata ikut berkedut seolah kesedihan akan datang.
"Apa aku nggak semenarik itu?"
"Pia!" sapa Rayno ketika melewati Sofia yang berdiri di samping pintu, sementara dia tersenyum sebagai balasan.
Galina menoleh melihat Rayno menyapa Sofia lalu mengembuskan napas. "Benar, harus saling kenal jika ingin disapa. Harus dekat jika ingin terlihat.”
Seharusnya dia mengetahui kenyataan itu bukannya sekarang yang membuatnya malu. Hanya dirinya yang mengenal Rayno bukan sebaliknya. Dia bagaikan patung setelah fakta yang baru disadari belum bisa diterima.
“Ternyata aku banyak berkhayal kedekatan kita yang sering ngobrol, bahkan aku ingat senyuman itu. Sayangnya, senyuman yang ada di ingatanku berbeda dengan miliknya. Bagaimana ingat, dia belum tersenyum di depanku!"
Galina menatap kosong ke atas sana merasakan kecewa yang dirasakan cinta sepihak. Cinta pertamanya gagal yang mungkin juga dirasakan kebanyakan orang. “Kenapa aku nggak punya keberanian untuk mendekatinya?”
Bel berbunyi sementara Galina masih menyalahkan keberaniannya yang selama sebulan ia habiskan berkhayal bukan berkenalan.
Lain sisi Sofia masih berdiri di tempat menyaksikan kebodohan Galina seraya menggelengkan kepala. “Kecewa lah dia. Bagaimana bisa dekat? Ngobrol sama cowok aja belum pernah.”
"Udah bel, Lin. Masuk sana!” teriak Sofia yang membuat Galina pergi tanpa berpamitan.
"Apa aku harus jadi Mak Comblang mereka, ya?"
...****************...
Semakin lama memendam perasaan membuat Galina gundah sampai tidak mau menjalani cinta sepihak. Mulai saat ini dia ingin mengutarakan perasaannya sendiri tanpa bantuan sahabatnya.
Setelah pulang sekolah, Galina memantapkan pilihannya untuk berkenalan dengan Rayno. Kebetulan Rayno lagi ekskul basket dan dirinya senggang hari ini.
“Ini jadi yang terakhir kalinya, Lin, kalau Rayno suka sama orang lain. Kalau alasan kalian belum kenal itu masih ada kesempatan untuk mendekatinya,” pintanya seraya menggenggam kedua tangannya erat agar dirinya berani.
Galina pun menggigit bibir bawahnya ketika melihat Rayno tengah duduk bersama teman-temannya. "Kenapa panas dingin, ya?"
Waktu yang tepat pun datang, Rayno pergi dari lapangan menuju ke kamar mandi. Secepatnya gadis penuh tekat itu berlari menghampiri pujaan hatinya, sedetik terlambat saja kesempatan hilang.
Untungnya Galina bisa mencegah Rayno masuk kamar mandi. Napasnya tidak beraturan ketika berada di depannya. Sontak lelaki idamannya mundur beberapa langkah.
“Kamu ... temannya Pia?” tanya Rayno dengan ragu.
“Anggap aja gitu kalau kamu bisa melihatku,” cetus Galina dengan terengah-engah.
Alis Rayno terangkat bingung maksud perkataan Galina. “Ada apa?”
Jantung Galina berdetak hebat sampai bibirnya kaku. Dia menutupi kegugupan lewat memilin roknya serta kedua matanya melihat sekeliling mencari kata yang pas untuk mulai berkenalan.
"Buruan aku mau ke kamar mandi kalau nggak ada yang mau diomongin aku masuk dulu," pinta Rayno yang langsung dicegah Galina.
"Aku suka kamu, mau nggak jadi pacarku?"
Perkataannya baru saja membuat Rayno terkejut, apalagi Galina yang mengucapkannya. Galina gelagapan karena mengajaknya berpacaran, bukan berkenalan.
Rayno langsung tertawa. "Apa nggak pakai basa basi dulu? Atau harus kenal dulu ... mungkin?"
"It--tu yang aku—“
Lelaki di depannya bingung mau jawab apa sebab suara Galina terlalu lirih apalagi dirinya yang hendak buang air kecil. "Gimana, ya? Kita belum kenal untuk ke tahap itu, lagian banyak orang yang mengatakan hal yang sama dan aku pun menjawab hal yang sama. Maaf aku sedang menunggu jawaban seseorang yang aku suka dari dulu. Mohon mengerti, ya?” jawabnya diiringi senyuman. “Kalau mau tau siapa orangnya tunggu sebentar aku mau ke kamar mandi.”
Bunga yang telah tumbuh subur di hati Galina pun perlahan layu setelah kepergian cinta pertamanya. Lagi dan lagi dirinya hanya bisa mematung mendengar kenyataan pahit yang harus diterima. Seumur hidup baru mendengar kalimat penolakan dan ini baru menjadi awalan.
“Kenapa harus tau siapa orang yang disukai Rayno?” Galina mulai mengeluarkan perlindungan dirinya agar tidak terlihat sedih. Namun, tubuh tidak bisa berbohong lewat air matanya yang menetes.
“Nggak papa, Lin. Rayno bukan satu-satunya.” Dia lari seraya memukul kepalanya. “Rencana awal nggak gini, aku nggak mau menyatakan perasaan lebih dulu. Terkesan aku haus lelaki!”
Setelah lelah berlari, Galina duduk di bawah pohon. “Cinta yang aku dapatkan nggak seperti yang aku bayangkan. Dalam bayanganku kita saling kenal, berbicara seolah aku mengerti suaranya begitu juga nada bicaranya. Tadi kita berbicara di dunia nyata, mengapa suaranya berbeda?”
Galina mengentak-entakkan kedua kakinya sebab dirinya malu. Entah apa yang akan terjadi jika mereka bertemu. “Dua tahun lebih menghindar dari Rayno nggak lama, ‘kan?” tanyanya seraya berpikir ulang.
“Oke, aku harus menghindarinya demi kelangsungan hidup!” Setelah mantap memutuskan rencana, dia pun beranjak pergi ke rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments