Hari ini, Shin menghubungi Luna untuk membuat janji temu. Ia ingin membicarakan tentang kontrak pernikahan yang sudah ia rencanakan sejak lama.
“Kau ada waktu? Aku ingin bicara denganmu.” Mereka berbincang dalam telepon.
“Ada apa?” Luna membalas. Ia merasa tidak ada yang perlu dibicarakan. Sebenarnya hampir setiap hari keduanya bertemu untuk mempersiapkan pernikahan. Namun mereka tidak saling memberi kabar secara pribadi. Pertemuan keduanya telah diatur oleh orang suruhan Rei yang khusus mengurus pernikahan keduannya. Luna dan Shin tidak pernah benar-benar bertemu secara pribadi sejak pertemuan pertama mereka.
“Ada yang ingin kukatakan secara langsung.”
“Kita bertemu saat makan siang besok. Bagaimana?” Luna memberi usulan.
“Tidak. Maksudku, bagaimana jika akhir pekan ini?” Shin butuh lebih banyak waktu.
“Aku ada janji dengan tante di akhir pekan. Apa yang ingin kau katakan?” Luna mengatakan sejujurnya. Semenjak Luna berpergian dengan Sera, mereka memutuskan untuk bertemu setiap akhir pekan dan memasak bersama. Sebenarnya itu lebih seperti belajar memasak untuk Luna dibanding dengan masak bersama.
“Ini jauh lebih penting daripada pertemuan itu. Tolong luangkan akhir pekanmu! Aku akan menjemputmu besok!” Shin menutup telepon begitu saja tanpa meminta anggapan dari Luna. Mendengar teleponnya ditutup, wanita itu langsung mendesah. Ia kesal sekali dengan sikap Shin yang seenaknya begitu. Mau tidak mau, ia harus membatalkan pertemuannya dengan Sera.
Dan benar, pagi-pagi sekali mobil Shin telah terpakir di depan rumah Luna. Ia mengabari Luna dan menunggunya siap.
“Mau pergi ke mana pagi-pagi sekali? Bukankah Brian yang akan menjemputmu menemui Sera setiap akhir pekan?” Anna melihat keanehan putrinya. Ia tidak memberitahukan apa-apa. Anna selalu tahu apa saja kegiatan Luna dari Brian, tapi kali ini wanita itu tidak tahu menahu.
“Aku akan pergi dengan Shin pagi ini. Dia sudah menungguku di luar.” Luna berjalan tergesa. Ia bahkan tidak memakan sarapannya.
“Shin?” Ibunya terkejut. Kenapa anak itu tidak menyapa dan malah menunggu di luar.
“Aku pergi!” Luna mengambil segelas air di atas meja meneguknya sekali lalu melangkah meninggalkan rumah. Anna merasa bingung ingin berkata apa kepada Luna. Ia bertingkah seperti ini untuk pertama kalinya. Ya, untuk pertama kalinya, putrinya itu memiliki rencananya sendiri di luar pengetahuan Anna dan untuk kali pertama juga ia tidak bisa mencegah putrinya.
“Mau kemana?” Luna bertanya begitu Shin melihatnya keluar rumah.
“Sudah ikut saja!” Shin membukakan pintu mobil untuk Luna dan keduanya memasuki mobil lalu menacap gas.
“Ada masalah apa?” Luna tampak serius.
“Kenapa wajahmu serius begitu? Santai saja! Hari ini kita punya banyak waktu.” Shin berkata santai. Ia menahan tawanya melihat Luna bersikap sangat serius.
“Kau bilang ada sesuatu yang penting yang ingin dibicarakan. Apa kau sedang membodohiku?” Begitu menyadari Shin menertawakannya, Luna menjadi kesal.
“Untuk apa membodohimu? Jika aku bilang sesuatu yang penting, maka itu penting!” Shin mencoba membela diri. Luna menghela napas kesal.
“Kau tidak mengatakan kepada siapapun kan kalo hari ini kita bertemu?” Shin mulai bertanya.
“Aku membatalkan pertemuanku dengan tante. Tentu saja aku mengatakan alasanku!” Luna menjawab dengan kesal. Entah kenapa ia masih kesal.
“Wanita itu tidak dihitung! Maksudku, kau tidak mengatakan pada ibumu juga kan?” Mendengar kata tante dari bibir wanita itu membuat Shin agak kesal.
“Eh? Bukannya kau sudah meminta izin kepada Ibu?” Luna tampak bingung.
“Kenapa juga aku meminta izin kepada ibumu? Aku hanya membuat janji denganmu!”
“Benarkah? Jadi ibuku tidak tahu tentang pertemuan ini?” Luna seakan bicara sendiri. Setelah dipikir, ia baru sadar bahwa saat hendak pergi ibunya terlihat sedikit bingung. Ia mengira ibunya sudah tahu bahwa ia akan pergi dengan Shin. Luna terlalu bergegas sehingga tidak memperhatikannya.
“Kenapa kau bingung begitu?” Shin memerhatikan Luna yang tampak sedang berpikir.
“Tapi bukankah itu tidak sopan?” Luna menatap Shin. Jika ia mendatangi rumah Luna, seharusnya Shin menyapa ibunya.
“Apa maksudmu?” Shin tidak mengerti. Tiba-tiba Luna mengatakan dirinya tidak sopan.
“Jika kau datang, setidaknya kau harus menyapa ibuku! Kau adalah calon menantunya! Apa kau hanya menungguku di luar dari tadi?” Luna tidak menduga ada seseorang yang memiliki sikap seperti itu.
“Aku merahasiakan pertemuan ini. Mana mungkin aku mengatakannya kepada ibumu? Apa kau tidak tahu yang namanya rahasia?” Shin membela diri.
“Rahasia?! Sejak awal Kau tidak mengatakan pertemuan ini rahasia. Lagipula kenapa juga pertemuan ini rahasia? Wajar saja bagi calon pengantin untuk pergi bersama. Apa aku salah?” Luna tampak marah. Lagi-lagi selama bertemu dengan Shin, Luna tidak dapat mengontrol emosinya. Shin sangat mudah memancing emosi Luna.
“Jadi kau mengatakan kepada ibumu?” Shin mengalihkan pembicaraan. Ia tahu dia salah saat mengatakan kata rahasia.
“Aku mengatakannya saat mau pergi.” Luna juga tidak mau membahas tentang itu lagi. Ia menjawab datar pertanyaan Shin. Priadi sebelahnya itu hanya diam tidak mau ribut lagi. Terlebih mereka hampir sampai ke tempat yang dituju.
Itu adalah sebuah kafe kecil dengan sekat di setiap mejanya. Saat masih sekolah, Shin dan Kevin seringkali datang ke sana untuk belajar walau pun sebenarnya ia hanya numpang tidur sambil menunggui Kevin menggambar karakter komiknya.
“Kafe ini memang tidak terlalu besar tapi nyaman.” Shin mempersilakan Luna duduk begitu mereka memasuki kafe itu. Wajah gdais itu terlihat jelas heran ketika Shin mengajaknya masuk.
“Dulu aku sering datang ke sini bersama kevin. Kami bahkan sering menginap karena kafenya buka 24 jam.” Shin mencoba membuat Luna nyaman berada di sana.
“Siapa kevin?” Luna tidak begitu memedulikan tentang kafe itu. Ia hanya ingin tahu apa yang hendak dibicarakan pria di hadapannya.
“Oh iya. Kau belum kenal dia ya? Dia sahabatku. Sekarang ia bekerja sebagai komikus. Ia menggambar komik untuk situs online. beberapa karyanya juga sudah dibukukan. Ia lumayan terkenal dan memiliki banyak fans.”
“Jadi kita datang kemari untuk bertemu dengan Kevin?” Luna bertanya datar.
“Tidak. Apa kau selalu bersikap seperti ini?” Shin heran dengan sifat Luna. Ia selalu tampak serius. Jika bisa dikata, penampilan Luna memang menarik, tapi sifatnya sangat jauh dari tipe ideal Shin. Ia terlalu membosankan.
“Apa maksudmu?” Luna sedikit tersinggung.
“Sudah lupakan saja! Jadi, sebenarnya aku ingin menyampaikan ini kepadamu,” Shin mengambil berkas yang sudah ia bawa sejak tadi dan menunjukkannya kepada Luna.
Begitu menerima berkas itu, Luna membukanya dan melihat isinya. Judulnya jelas bertuliskan ‘Kontrak Pernikahan’.
“Jadi kau berniat bercerai bahkan sebelum pernikahan?” Luna terkejut setelah membaca isi berkas itu.
“Ya, aku tidak ingin menyulitkanmu, maka dari itu aku membuat kontrak ini.” Shin berkata tanpa merasa bersalah sedikit pun.
“Kau pikir aku akan menyetujuinya?” Luna menatap Shin dengan serius. Jika Shin ingin menceraikannya, maka untuk apa mereka menikah? Itu yang dipikirkan Luna.
“Aku tidak meminta persetujuanmu. Aku hanya ingin kita tidak saling merugikan dalam pernikahan ini. Bahkan jika itu sulit bagimu, kita mungkin bisa bertahan sampai tiga bulan. Aku akan menyetujui semua permintaanmu sebagai balasannya.” Shin mencoba meyakinkan Luna. Baginya ini penawaran yang bagus.
“Lalu kenapa kau menikah?” Luna tidak memedulikan perkataan Shin barusan.
“Itu masalah pribadi. Aku tidak bisa mengatakannya.” Shin menjawab seadanya. “Aku tidak akan menyalahkanmu atas perceraian, justru aku akan berterima kasih. Di sini akulah yang brengsek. Aku akan memastikan hal itu dan akan menaggung semuanya.” Shin menambahi.
“Apa yang kau pikirkan?” Luna benar-benar tidak tahu ke mana arah pikiran Shin. Dari awal pria itu terdengar kekanak-kanakan.
“Bahkan jika itu bukan kau, aku akan tetap melakukan hal yang sama. Aku membuat kontrak ini agar tidak ada yang dirugikan.” Shin mengulang lagi perkataanya.
“Jadi maksudmu tanpa kontrak ini pun, kau tetap akan menceraikanku?” Luna tampak sudah tidak bisa menentang. Ia berpikir untuk mencari penyelesaian.
“Ya, begitulah.” Shin juga tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.
“Maka perlakukan aku dengan baik selama tiga bulan itu.” Luna mencoba bersepakat dengan Shin.
“Apa?” Shin merasa sedikit bingung dengan permintaan Luna yang tiba-tiba.
“Kau bilang akan menaggung semuanya saat perceraian terjadi. Aku tidak mengharapkan kekayaan atau kekuasaan. Jadi, Aku hanya memintamu bersikap baik kepadaku dan memberi aku kebebasan selama pernikahan. Aku tidak memintamu untuk menjadi suami yang baik.” Luna sudah berpikir dengan matang.
“Kau serius?” Shin merasa itu permintaan yang amat remeh.
“Oh satu lagi. Tolong bersikap baiklah kepada tante.” Luna hampir melupakan hal yang penting.
“Ini tidak ada hubungannya dengan wanita itu.” Shin secara tidak langsung menolak.
“Tante adalah orang yang berharga bagiku. Aku hanya tidak ingin kau menyakiti apa yang kuanggap berharga. Itu bagian dari sikap yang baik.” Luna tersenyum. Ia telah mengatakan semua permintaannya.
“Baiklah, aku akan melakukannya.” Shin menyetujui permintaan Luna meski dengan berat hati.
Tak terasa setelah bercakap panjang, hari telah menunjukkan waktu sore, namun matahari masih tinggi menyinari sekeliling dengan teriknya. Keduanya pun keluar dari kafe itu. Luna telah menerima kesepakatan dan itu membuat Shin lega, namun ia tidak bisa mengelak bahwa ada sedikit rasa bersalah dalam benaknya. Terlebih permintaan Luna dipikirnya terlalu sedikit sebagai balasan. Jika pun Luna menginginkan seluruh saham kekayaan Shin untuk menebusnya, Shin akan memberikannya. Tapi wanita itu sama sekali bukan gadis mata duitan.
“Apa itu SMA?” Luna menunjuk ke arah sekolah yang terlihat dari dalam mobil Shin yang terparkir tidak jauh dari kafe tadi.
“Ya, itu SMAku dulu. Kau mau melihat-lihat?” Shin menawari, sepertinya Luna penasaran dengan tempat itu.
“Apa boleh?” Luna bertanya lugu. Ia tidak pernah pergi ke SMA sebelumnya.
“Tentu saja, kenapa tidak?” Shin kembali keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Luna. “Aku merasa terhormat untuk menunjukkan sekolahku!” Shin berlagak. Luna tersenyum. Ia tidak tahu jika Shin bisa bertingkah seperti itu juga. Keduanya berjalan melewati gerbang sekolah. Di akhir pekan, gerbang sekolah itu memang dibuka dan lapangan yang ada di sana terbuka untuk umum. Sore itu tampak sekelompok pemuda bermain voli, dan beberapa orang lainnya terlihat berlatih bulu tangkis.
Shin dan Luna menyusuri lorong kelas. Pintu ruang-ruang kelas itu terkunci namun bagian dalam ruangan terlihat jelas dari jendela. Luna tampak tertarik melihat ruang-ruang itu. Ia juga sangat senang ketika melihat mading sekolah dengan tulisan warna-warni. Shin yang memperhatikan wanita itu tidak menyangka, Luna bisa tampak sangat senang hanya dengan berkeliling sekolah.
“Apa kau sesenang itu?” Shin bertanya karena merasa heran. Keduanya kini duduk di bangku dekat lapangan voli sambil menyaksikan permainan sekelompok anak muda yang ada di sana.
“Apa itu tampak jelas?” Luna bertanya balik.
“Apa kau tidak tahu? Hal yang paling mudah yang bisa aku lakukan adalah membaca raut wajahmu! Kau sangat mudah ditebak!” Perkataan Shin terdengar seperti bualan. Menurutnya hanya dengan melihat wajah Luna, Shin tahu apa yang wanita itu inginkan.
“Aku tidak begitu.” Luna mengelak. Selama ini ia sangat rapi menyembunyikan perasaannya dari orang lain. Shin hanya tersenyum mendengar perkataannya.
Tak berselang lama, tiba-tiba bola voli terpantul mendekat ke arah Shin. Anak-anak yang bermain voli itu meneriaki Shin dan memintanya melemparkan bola voli kembali ke lapangan.
“Kenapa mereka meneriakiku? Mereka bisa mengambil bolanya dengan baik-baik.” Shin mengambil bola voli yang ada di dekatnya.
“Hei! Cepat lempar bolanya kembali! Kenapa lama sekali!?” salah satu pemuda tampak tidak sabar dan terlihat marah.
“Apa-apaan sih?!” Pria yang berteriak itu membuat Shin jengkel. Dengan kekuatan penuh Shin memasang service dan menargetkan bola itu ke arah pemuda yang meneriakinya. Sayangnya, pemuda itu gagal menerima bola dari Shin dengan baik.
Duk!! Bola itu tepat mengenai kepala pemuda itu. Ia terjerembab. Teman-teman di sekitarnya menjadi rusuh. Beberapa dari mereka sontak menatap ke arah Shin dengan tajam. Mereka seperti hendak membalas.
“Hei!!” salah seorang dari mereka mengacungkan tangan menunjuk ke arah Shin marah. Mereka hendak menghampiri Shin dan Luna.
Melihat keadaan mereka yang kalah jumlah, Shin dengan cepat menarik tangan Luna dan mengajaknya untuk berlari meninggalkan tempat itu.
“Apa yang kau lakukan?!” Luna menahan tarikan Shin.
“Kau tidak lihat mereka sedang menghampiri kita? Mereka sedang mengamuk!” Shin kembali menarik tangan Luna menyuruhnya segera bangkit dan berlari meninggalkan tempat itu.
“Aku tidak bisa! Aku memakai hak tinggi!” Luna tetap menahan tarikan Shin.
“Kau harus melepasnya dulu!” Shin mulai jengkel dengan tingkah Luna yang tidak membantu.
“Tidak mau!” Luna beranjak dari duduknya dan berjalan pergi. Melihat Luna yang berjalan menjauhi lapangan, para pemuda yang mencoba mendekati mereka mulai mengejar. Mereka mulai berlari. Melihat hal itu Shin tidak punya pilihan selain mengangkat Luna.
Dengan sigap Shin mengangkat tubuh Luna dan berlari meninggalkan tempat itu.Para pemuda itu masih mengejar namun Shin tidak berhasil tertangkap. Ia berhasil kabur melewati jalan raya saat lampu hijau pejalan kaki, dan para pemuda itu tepat berada si seberang jalan saat lampu merah menyala. Orang-orang yang lalu lalang tampak memerhatikan mereka tapi keduanya tak acuh. Shin bahkan tidak sempat menengok wajah Luna. Muka wanita itu kini memerah karena menahan malu dan mencoba sebisa mungkin menyembunyikannya.
Sampai di pinggir persimpangan, Shin masih saja menggendong Luna. Ia mencari tempat aman. Setelah menengok ke sekitar, Shin dengan gesit menghampiri lorong yang tidak jauh dari tempat ia berdiri. Ia bersembunyi di balik tumpukan kardus dan menurunkan Luna di sana. Mereka bersembunyi cukup lama hingga Shin memastikan gerombolan pemuda itu tidak lagi mengejar mereka.
Suasana menjadi canggung begitu Shin menyadari jarak antara ia dan Luna terlalu dekat. Sontak Shin melangkah mundur. Wanita di depannya tidak bisa berkata-kata karena terlalu malu.
“Oh…maaf.” Shin berkata Reflek.
“Tidak..” Luna tampak canggung. Tidak lama kemudian ia baru menyadari bahwa ia kehilangan salah satu sepatu hak tingginya. Sontak ia berjongkok.
“Ada apa?” Shin bertanya begitu melihat sikap Luna yang aneh.
“Hak tinggiku hilang sebelah.” Luna tampak sedih. Ia berkata lirih.
“Kau memikirkan itu?! Sudah untung kita berhasil kabur!” Shin tampak jengkel. Wanita ini ternyata susah ditebak. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang ada di kepala wanita itu saat ini.
“Aku hanya bilang!” Luna juga jadi jengkel karena tanggapan Shin.
“Aku tidak akan mencarikannya untukmu, kita beli saja yang baru. Ayo! Kau bisa jalan sendiri kan?” Shin tampak sinis. Ia meninggalkan Luna begitu saja. Wanita itu berjalan dengan hati-hati di belakang Shin.
“Bisa cepat sedikit tidak?” Shin menoleh ke arah Luna. Ia tampak kesal karena wanita itu terlalu lama. Luna masih memakai sepatu hak tinggi satunya lagi. Itu membuatnya kesulitan berjalan.
“Buang saja sepatunya! Kau masih memakai sepatu yang tinggal sebelah?!” Shin memerhatikan sepatu yang dipakai Luna dengan kesal. Wanita itu mencoba menyembunyikan kakinya yang telanjang di belakang kaki yang satunya. Ia tidak menanggapi perkataan Shin. Pria itu kembali berjalan ke depan.
Setiap kali Shin menoleh ke arah Luna, wanita itu selalu berhenti dan menyembunyikan satu kakinya ke belakang. Ia masih tetap memakai sepatu hak tingginya yang tinggal sebelah meskipun harus berjalan pincang. Shin yang melihat sepatu itu masih dipakai saja membuatnya tampak semakin kesal. Ia menghampiri Luna dan mencoba meraih sepatu itu untuk melepasnya.
“Lepas sepatunya!” Shin memaksa Luna.
“Aku tidak mau!” Luna dengan gesit menghindar.
“Aku sangat tidak nyaman melihatnya!” Shin kembali mencoba meraih sepatu itu, lagi-lagi Lua menghindar dengan melangkah mundur.
“Itu kan kau bukan aku!” Luna bersikukuh.
“Kau ini kenapa sih?! Itu kan hanya sepatu! Bahkan perusahaan kalian bisa membuatnya berkali-kali!” Shin asal bicara.
“Ya sudah biarkan saja!” Wanita itu masih kukuh memakai sepatu itu. Shin semakin sebal. Entah mengapa ia jadi marah hanya karena sepatu.
“Eh?” Shin memasang muka curiga begitu melihat ada yang janggal di kaki gadis itu. Melihat ekspresi Shin, Luna semakin menjauh. Sebisa mungkin ia menyembunyikan kakinya dari tatapan tajam Shin.
“Ada yang aneh! Apa kau mencoba menyembunyikan sesuatu?” Kini Shin malah penasaran. Ia kembali mendekati Luna yang terus menjauh darinya. Semakin Luna menghindar membuat Shin tambah penasaran. Ia terpaksa meraih lengan wanita itu agar tidak kabur.
“Tidak ada apa-apa!” Luna mengelak dan mencoba melepaskan tangan Shin, tetapi pria itu lebih kuat.
Shin memandang kanan kiri lalu menarik tubuh Luna dan membawanya duduk di bangku pinggir jalan yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Coba kulihat.” Shin berjongkok di depan Luna dan mencoba memeriksa kaki wanita itu. Luna masih saja menghindar.
“Ku bilang tidak ada apa-apa!” Luna menarik kakinya ke belakang.
Shin masih tidak menyerah. Ia yakin ada yang disembunyikan oleh Luna. Ia meraih sepatu yang masih terpasang di kaki Luna dan melepaskannya dengan paksa. Shin tidak salah lihat. Kaki wanita itu terluka.
“Kau tidak apa-apa?” Shin bertanya kepada Luna dengan khawatir setelah melihat hal itu.
“Aku bilang tidak apa-apa!” Luna terlihat kesal. Ia beranjak sambil meraih sepatunya kembali dari tangan Shin. Ia begitu saja berjalan menjauh sedang Shin masih terdiam di tempatnya untuk sejenak. Ia masih bingung. Sebenarnya Shin tidak tahu harus merespon seperti apa kejadian ini. Jelas-jelas ia melihat beberapa bekas jahitan di kaki Luna dan juga terdapat lecet di jari dan tumit wanita itu.
“Ayo kita ke dokter!” Shin mengejar Luna dan menyejajarinya. Ia hendak menawarkan bantuan.
“Tidak perlu! Ayo segera pulang saja! Matahari sebentar lagi tenggelam.” Luna tidak menengok ke arah Shin. Ia semakin mempercepat langkahnya.
“Kakimu harus segera diobati!” Shin tampak khawatir. Sebenarnya ia merasa bersalah pada wanita itu. Ia tidak seharusnya berkata kasar kepadanya.
“Kenapa kau memedulikannya?! Kita tidak cukup dekat untuk saling peduli, jadi urus urusanmu sendiri saja!” Luna berhenti melangkah dan menatap pria itu. Ia mencoba memeringatkan Shin untuk tidak melewati batas.
“Tapi…” Shin tidak bisa berkata apa-apa. Luna benar. Mereka sebenarnya tidak cukup dekat. Tapi anehnya Shin sulit untuk membiarkan wanita itu.
“Ayo cepat pulang!” Luna kembali melangkah. Shin mengikuti wanita itu di belakang. Mereka berdua kembali memasuki mobil.
Di sepanjang perjalanan, Luna memalingkan muka dari Shin. Ia terus menatap ke luar jendela. Tak berselang lama, Shin menepikan mobilnya.
“Kanapa berhenti?” Luna menoleh ke arah Shin. Ia tampak bingung.
“Tunggu di sini, aku akan ke apotek.” Shin mulai melepas sabuk pengamannya.
“Aku bilang tidak perlu!” Luna yakin Shin ingin membelikan obat untuknya.
“Kakimu perlu diobati!” Shin tampak kesal. Kenapa Luna tidak membiarkannya saja.
“Aku sudah bilang..”
“Biarkan aku berbuat baik! Ini kan yang kita sepakati? Aku akan memperlakukanmu dengan baik!” Shin mengingat kontrak yang baru saja mereka sepakati beberapa jam yang lalu. Ia menjadikan hal itu sebagai alasan.
“Tapi aku yang memutuskan! Kau membuatku tidak nyaman! Kau tahu? Dan itu bukan hal yang baik bagiku.” Luna mencoba menjelaskan kepada Shin.
“Tunggu di sini.” Pria itu tidak menanggapi perkataan Luna barusan. Ia tetap melangkah ke luar dari mobilnya dan membeli beberapa obat. Gadis itu hanya bisa membiarkannya.
“Aku tidak memintamu menceritakan apapun, aku melakukan ini hanya karena ingin berbuat baik. Orang lain juga akan melakukannya bila mengalami hal serupa. Jadi terimalah!” Shin menyerahkan bungkusan obat yang baru saja ia beli kepada Luna. Begitu mendengar ucapan Shin, wanita itu mengalah. Ia menerimanya dengan berat hati.
“Terima kasih.”
Sebenarnya ini hal yang memalukan. Ia tidak ingin orang lain tahu tentang hal ini. Bahkan pun ibunya. Shin tidak seharusnya mengetahui rahasia itu. Luna hanya diam di sepanjang perjalanan. Pikirannya masih tidak tenang tapi ia mencoba untuk menutupinya. Shin sebenarnya penasaran tentang rahasia wanita itu, tapi ia mencoba untuk tidak melewati batas.
Sampai di depan rumah Luna, Shin keluar dengan gesit dan membukakan pintu mobil untuk Luna. Gadis itu masih diam di tempatnya. Ia seperti tidak ingin keluar. Shin paham apa yang sedang wanita itu alami. Tanpa bertanya apapun, Shin melepas sepatunya dan meletakkannya di depan pintu mobil.
“Pakailah. Kau bisa mengembalikannya nanti.” Kini Shin berdiri di sana tanpa alas kaki. Luna memandangi Shin ragu. Apa Shin sungguhan meminjamkan sepatunya? Itulah yang tersirat di wajahnya.
“Anggap saja ini permintaan maafku.” Shin tidak ingin Luna menganggapnya beban.
“Kau tidak ingin menyapa ibu?” Luna masih di tempatnya. Ia menanyakan sesuatu di luar dugaan Shin. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Itu adalah bagian dari kesepakatan. Setidaknya kau bersikap sopan kepada orangtua saat bersamaku.” Luna memakai sepatu yang diberikan Shin. Sepatu itu tampak longgar di kakinya tapi ia tidak peduli. Wanita itu mulai melangkah memasuki rumah.
“Dengan penampilan seperti ini?! Kau bercanda?!” Shin mengikuti langkah Luna. Bagaimana bisa ia bertemu calon mertuanya tanpa alas kaki.
“Aku akan mengembalikan sepatumu begitu masuk rumah.” Luna berkata datar tapi bagi Shin seolah gadis itu sedang mempermalukannya.
“Kau serius?!” Percakapan ini benar-benar terdengar konyol di telinga Shin.
“Aku serius.” Luna meyakinkan Shin. Jawaban wanita itu entah mengapa membuat Shin tambah sebal. Mau tidak mau ia mengikuti Luna masuk ke rumahnya.
Begitu memasuki rumah, Luna mengambil sandal rumah yang berada di rak dekat pintu masuk. Ia kemudian mengembalikan sepatu Shin. Pria itu kembali memakai sepatunya. Beberapa saat kemudian tuan rumah keluar mendatangi mereka.
“Shin? Kau datang?” Anna tersenyum senang melihat calon menantunya. Shin yang melihat Anna menghampirinya segera memberi salam.
“Masuklah!” Anna menyambut pria itu dengan ramah. Shin hanya tersenyum seadanya sambil mengikuti arahan wanita itu.
“Maaf tadi pagi tidak sempat menyapa.” Shin merasa bersalah soal tadi pagi.
“Oh tidak masalah…. Tapi lain kali kau harus menyapa mertuamu. Seharusnya Luna memberitahuku kalau kau akan datang. Aku benar-benar terkejut tadi pagi!” Anna memasang wajah senang, namun perkataan wanita itu membuat Shin tidak nyaman.
“Maaf.” Shin sekali lagi meminta maaf.
“Apa kalian pergi kencan?” Tanya Anna.
“Ya. saya mengajaknya berkeliling di daerah dulu saya tinggal.” Shin menjawab dengan ramah.
“Apa?” Luna terkejut mendengar jawaban Shin. Ia berkata lirih.
Beberapa waktu berlalu sampai akhirnya Shin meminta izin untuk pamit lalu Luna mengantar Shin ke depan rumah.
“Terima kasih.” Kata Luna.
“Untuk apa?” Shin merasa tidak melakukan apapun yang membuat Luna harus berterima kasih.
“Pokoknya terima kasih.” Wanita itu tidak bicara lagi dan berbalik memasuki rumah begitu Shin membuka pintu mobilnya.
Belum sampai Luna memasuki rumah ia menghentikan langkahnya dan menghampiri Shin yang masih berdiri di samping mobilnya.
“Tolong jangan beritahu siapa pun tentang hal ini.” Luna meminta kepada Shin.
“Eh?” Shin tampak ingin memastikan apa yang dibicarakan Luna.
“Tolong rahasiakan semua yang terjadi hari ini termasuk semua yang kau lihat! Tolong rahasiakan seumur hidupmu!” Luna kembali menegaskan perkataannya.
“Ya, tentu.” Shin menjawab. Ia akan berusaha menyimpan semua yang terjadi hari ini dan bejanji untuk merahasiakannya. Wanita itu kembali melangkah memasuki rumah.
“Kerja bagus. Ibu tahu kau tidak akan mengecewakan ibu.” Anna berkata pada Luna begitu putrinya kembali masuk rumah.
“Apa ibu mengaggap aku sedang bekerja?” Luna tidak percaya ibunya bicara seolah hubungannya dengan Shin hanyalah masalah bisnis. “Ibu benar-benar tidak memiliki perasaan.” Luna melanjutkan perkataannya lalu beranjak pergi.
“Apa kau masih marah?! Apa kau kembali menjadi kanak-kanak?!” Anna meneriaki Luna tapi putrinya itu tidak menggubris. “Kenapa dia jadi bersikap tidak sopan? dia seharusnya berterima kasih kepadaku! Aku harap anak itu tidak kembali menjadi pembantah dan tukang kabur seperti dulu.” Anna bicara dengan dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Sept September
like
2020-09-19
1
Wirdah K 🌹
5 like buat Kakak
2020-09-12
1
Joanne March⚘
nyicil baca 5 chapter dulu yaa & sudah ku beri 5 like+rate 5 untukmu.
jangan lupa beri like di lapakku tiap chapternya yaa😊thank you
2020-08-24
2