Am menunduk, terisak sabil meremas jari mungil nya. Sekalipun nakal, tetap saja ia adalah seorang anak yang takut jika mommy nya sudah berada dalam mode galak bak macan yang siap menerkam.
"Bilang sama mommy, kenapa Am nangis? Kenapa sampai di gendong sama mbak-mbak tadi.?" Tanya Shafa sambil berkecak pinggang di depan putra kecilnya yang sering membuatnya darah tinggi.
Beberapa menit yang lalu, Shafa yang tengah menikmati ketenangan di puncak bukit di kagetkan dengan suara jeritan Am, ia yang panik segera berlari mencari sumber suara, dan benar saja Am sedang menangis dalam gendongan warga sekitar. Nampak Hafiz, dul dan Zafran juga kebingungan mencarinya.
"Atu mau sama ayah mommy" Ucapnya dengan bibir bergetar menahan air mata yang sudah menetes. Shafa yang tadinya mau mengomel mendadak terdiam. Ia mendongak agar air matanya tak jatuh. Ia harus tegar di depan putra kecilnya itu.
"Mommy... isk...isk " Am mendongak menunjukan wajah lugu nan polosnya yang sudah basah namun tak berani menangis.
"Atu tetemu ayah di tana" Ia menunjuk arah dimana ia bertemu Andi tadi.
Ya Allah Am, apa kamu sungguh merindukan ayahmu nak? Lihatlah anak mu mas! Tega kamu meninggalkan dia.
"Am, kamu lihat Ayah dimana nak?" Suara Shafa merendah, ia mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh putranya.
"Di tana mommy, tapi ayah ga kenal Am"
Shafa tersenyum getir. Lalu mengangkat tubuh kecil putranya itu. Ia menduga anaknya pasti salah mengenali orang.
"Am mau ikut mommy ke bukit?" Tanya Shafa sambil menatap putranya. Am mengangguk senang dan langsung memeluk leher mommy nya.
Shafa kembali melangkahkan kakinya menuju puncak bukit. Semoga di sana nanti Am bisa sejenak melupakan kerinduannya pada ayahnya.
"Am nyanyi yuk nak... Naik...naik kepuncak gunung" Shafa mengawali bait lagu sambil terus menyusuri jalan setapak kecil. Beberpaa pekerja masih terlihat sibuk memetik pucuk daun teh
"Tinggi-tinggi setali... Tili tanan tu liat taja banyak pohon cemala"
"Bukan cemara sayang, tapi pohon teh" Shafa .embenarkan sambik terus melangkah .
"Ulangi ya mommy... Nait.. Nait Tepuncat gunung tinggu-tinggi tekali.. Tili...kanan... tu lihat aja banyak pohon teh" Am menyanyi dengan senang hati sambil melambai- lambaikan tangannya. Sepertinya bakat mommynya yang satu itu menurun pada putranya ini.
"Ye.. Sampai... Kesayangan Ayah, udah besar sekarang. Makin berat!" Ucap Shafa sambil menciumi pipi Am.
Tanpa mereka sadari sejak tadi ada seseorang yang diam-diam mengikutinya dari belakang. Seseorang yang sangat penasaran pada bocah kecil yang terus memanggilnya Ayah. Diam-diam ia bersembunyi di balik rimbunan pohon teh.
"Ko, tesayangan ayah mommy? Ayaah sayang sama Am mommy?" Tanyanya dengan tatapan polosnya.
"Am mau dengar, cerita tentang Ayah dan Am waktu kecil?" Tanyanya.
"Iya... Atu mau...atu mau" Ucapnya senang.
Andi memberanikan diri menampakkan separuh wajahnya dari rimbunan pohon teh, mengintip ibu dan anak yang hendak bercerita. Sebenarnya ia enggan menguping percakapan orang lain, tapi rasa penasarannya terlampau besar.
Cantik!
Astagfirullahaladzim... Ia beristigafar dalam hati karena telah memuji wanita yang tidak di kenalnya itu. Jantungnya mendadak berdesir seolah ingin terus menatapnya.
"Astagfirullahaladzim, Astagfirullahaladzim, Astagfirullahaladzim" Ia melafazkan istigfar untuk mengusir setan-setan yaang telah bersarang di kepalanya. Ia tahu bahwa memandang wanita yang bukan muhrim terlebih adalah istri orang adalah dosa besar. Walaupun begitu, ia tak juga beranjak malah duduk tenang mencoba mencuri pendengaran dari ibu dan anak yang tengah bercakap.
"Am tau nggak, wajah Am ini sangat mirip dengan Ayah. Rambutnya Am, bibirnya, alisnya dagunya semua mirip ayah" Ucap Shafa sambil menyentuh bagian-bagian yang ia sebutkan tadi.
"Talo hidungtu mirip mommy tan?" Tanyanya, karena bagian hidung dan mata, tak di sebutkan oleh Shafa.
"Iya dong, kan Am juga anak mommy"
"Lagi mommy... Lagi. Atu mau dengal celita mommy lagi" Tuntutnya. Ia duduk di pangkuan Shafa dengan menghadap ke arahnya sehingga bisa jelas melihat setiap ekspresi dan gerak bibir mommynya.
"Emmm... dulu waktu Am kecil, kalau Am rewel, pas di gendong Ayah pasti langsung diam, terus ini gigi ompongnya ini, gara-gara ayah suka kasi compeng sama Am" Ucap Shafa sambil mencubit gemas pipi putranya.
"Atu mau liat foto ayah mommy"
Shafa merogoh ponsel dalam saku celananya, dan mencari foto lama yang masih tersimpan rapi dalam folder tersendiri. Foto resepsi pernikahan mereka, foto waktu di Aceh, foto semasa Shafa hamil dan foto lain yanng ia ambil secara sembunyi-sembunyi. Ia memberikan ponsel tersebut ada Am suapaya ia melihat sendiri foto foto kebersamaannya dengan Ayahnya.
"Mommy!"
"Tenapa ini mommy cium-cium ayah Am" Ia menunjukkan sebuah foto dimana Shafa duduk di pangkuan Rayyan, sambil mencium bibirnya.
"Astaga Am!" Shafa langsung menyahut ponselnya karena Am telah membuka folder lain yang berisi foto mesra mereka berdua.
"Ya... Mommy ya, pacalan sama Ayah" Ucapnya sambil memainkan telunjuknya. Anak jaman sekarang baru 3 tahun sudah tau istilah pacaran.
Andi yang masih setiap menguping tersenyum melihat tingkah jenaka ibu dan anak tersebut.
"Mommy, ayah ko pake kaca mata?
"Kan supaya ganteng!" Jawab Shafa Asal.
"Apa ayah sayang sama Am mommy?"
Shafa kemudian menceritakan bagaimana Rayyan sangat menyayangi Am, sejak ia dalam kandungan hingga lahir sampai berumur 7 bulan.
"Kik...kik...kik" Am tertawa mendengar cerita mommy nya tentang Rayyan yang suka mengganggu Am pada saat tidur, sampai tragedi compeng yang membuat Am hampir dua tahun tak bisa lepas dari benda tersebut.
"Tapi ko ayah ga pelnah nelpon mommy. Atu tan mau bicala sama ayah." Pertanyaan Am tersebut membuat Shafa lagi-lagi harus berbohong.
"Oh, itu karena di tempat ayah ga sinyal sayang, sama kaya di sini. Jadi nggak bisa nelpon" Ucap Shafa.
Maafkan mommy Am!
Sejak kepergian Rayyan, Shafa jadi pembohong ulung. Dimana ia harus berbohong setiap kali anak-anaknya menanyakan keberadaan ayahnya, bagaimana ia harus berbohong tentang keadaanya
yang nampak tegar tapi sesungguhnya rapuh.
Satu hal yang Shafa sesali, Kalau saja waktu itu ia melarang Rayyan pergi ke Banten untuk mengahadiri peresmian salah satu brand lokal yang menjadi parter gerai miliknya yang berlokasi di tepi pantai itu, pasti semua ini takkan terjadi. Atau kalau saja waktu itu Shafa memaksa ikut, ia pasti lebih senang sekalipun dirinya juga mungkin tak akan selamat dalam tsunami yang menewaskan lebih dari 500 orang tersebut. Apalah arti hidupnya tanpa ada Rayyan di sisinya. Meskipun ada dua malaikat kecil yang masih membutuhkannya.
Sesaat setelah mendengar berita Tsunami yang menerjang sekitar pantai Banten, Shafa langsung tak sadarkan diri hingga 2 hari ia terus dalam kondisi lemah dan down. Dan saat itulah ia mengetahui bahwa dirinya tengah mengandung dengan usia kandungan yang baru menginjak minggu ke 4. Bagaikan jatuh tertimpa tangga. Membayangkan bagaimana ia harus melewati masa kehamilannya seorang diri tanpa suami. Namun, di balik semua rasa sakitnya, Shafa berusaha menjaga kandungannya, karena ia percaya Rayyan akan pulang. Shafa bahkan melahirkan Zifara secara normal, meskipun momny dan ibu memintanya untuk operasi karena tak ada Rayyan yang menemaninya berjuang, ia tetap memaksa melahirkan normal dengan alasan Rayyan menginginkan 5 orang anak, sementara ia baru memberinya 2. Ia harus melahirkan secara normal agar bisa terus hamil dan melahirkan anak-anak Rayyan yang lucu.
"Mommy tenapa kita ga ke Mesil aja sih. Uang mommy tan banyak" Tanyanya sambil memandang mommynya.
Mesir?
Kepala Andi tiba-tiba pusing saat mendengar kata Mesir. Seperti tempat yang tidak asing baginya.
"Karena Mommy ga bisa bahasa Arab sayang. Nanti kita nyasar lagi" Ucap Shafa.
"Apa ayah pintal bahasa Alab mommy? Yang sepelti pak ustad kalau sholat itu tan mommy?"
"Iya sayang, ayah Am itu pintar bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Jerman. Pokoknya ayah Am pinter semuanya" Jawab Shafa.
"Ayah Am ustad ya mommy?" Tanyanya lagi, seolah yaak habis pertanyaan yang menuntut jawaban tentang ayahnya.
"Emm... Iya. Ayah Am itu pinter ngaji, suaranya bagus banget, terus Ayah Am banyak hafalan Al-Qur'an nya. Makanya Am harus pinter juga, supaya kalau ayah pulang, ayah senang lihat anak kesayangannya ini sudah jadi anak pintar" Am mendengarkan dengan seksama setiap kata yang terlontar dari bibirnya mengenai sang ayah tercinta.
"Mommy..." Tiba-tiba ia merengek menyandarkan kepalanya di dada mommynya sambil memeluknya.
"Kenapa Am?" Shafa mengusap lembut rambut anaknya tersebut.
"Kapan ayah datang mom? Atu lindu" Lirihnya. Dan kali ini Shafa tak bisa lagi membendung air matanya. Beruntung Am tak melihatnya, tetapi seseorang di tempat lain dapat melihatnya dengan jelas kesedihan di wajah cantik wanita yang telah ia mintakan ampun pada Rabbnya karena tak dapat menahan diri untuk tidak mencuri pandang terhadapnya.
Shafa mengusap air matnya dengan punggung tangannya dan mencoba untuk tersenyum.
"Mommy juga rindu Am!"
"Am, Am harus rajin berdoa dan meminta pada Allah supaya Ayah Am cepat pulang. Dan Am ga boleh nakal lagi, Am ga boleh bertengkar sama teman-teman Am, ya?" Ujar Shafa. Pasalnya Am kecilnya ini selalu membuat anak tetangga menangis, yang di pukullah, yang di gigit lah, pokoknya ada saja ulah Am yang membuat Shafa harus ekstra sabar.
"Atu ga nakal mommy" Am mendongak menatap momynya.
"Bobby yang nakal mommy. Dia ejekin Am, tatanya Am ga punya Ayah. Tatanya Ayah Am mati, padahal tan Am punya Ayah to mommy? Ayah Am lagi di Mesil, tapi dia ga pelcaya. Dia bilang Am bohong. Padahal tan Am ga pelnah bohong." Ucap Am membuat Shafa tak bisa lagi menyembunyikan air matanya. Ia segera meemeluk putra kecilnya itu dan menangis tersedu-sedu.
"Iya nak.. hiks...hiks... Am punya Ayah hiks... Ayah Am pasti pulang kok" Semakin erat ia mendekap Am dalam pelukannya sambil terisak.
Ya Allah, kapan semuanya ini berakhir?
Andi mengusap air matanya yang tak sengaja lolos dari pelupuk matanya. Rasanya hatinya seperti teriris mendengar ucapan bocah kecil itu. Ia teringat kembali bagaimana senyum bahagia anak itu saat bertemu dirinya tadi.
Sepertinya, dia benar-bebar merindukan ayahnya. Ya Allah, pertemukanlah kembali anak itu dengan ayahnya, jika ayahnya masih hidup. Jika telah tiada, berilah tempat yang terbaik di sisi Mu.
Baru saja, ia ibgin menghampiri ibu dan Anak itu, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk membuatnya harus menjauh.
"Assalamualaikum bah?" Jawabnya sambil berjalaan menuruni bukit
"Waalaikum salam, Ndi kamu dimana? Ini ada Aisyah di rumah"
"Andi masih di perkebunan bah, kalau begitu Andi pulang sekarang. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam"
Setelah menutup telepon, ia berhenti sejenak dan menoleh ke atas bukit. Dalam hati ia berdoa semogaa mereka selalu di berikan kesehatan dan kebahagiaan oleh Allah.
___________
Yang penasaran dengan visulnya bang Andi. di Eps selanjutnya😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Ruh Wiyati
sepertinya Andi adalah Rayyan 😭
2022-11-07
0
𝒱𝒾𝓇𝑔𝑜 𝑔𝒾𝓇𝓁 ♍
mengsediihhh🥺🥺🥺
haiii thoorrr
aq mampirr
2022-04-15
0
Emy Bundanya Aisyah
iyaa...andi = rayyan... bener kan thor... cuma masih amnesia 🥺🥺
2022-02-27
0