Haura, Istri Pilihan Dari Desa (3)
Ditanya kenapa,Haura malang semakin menangis tersedu. ia kembali memeluk erat Alkana mencari kekuatan.
Akhirnya, Alkana pasrah membiarkan Haura memeluknya hingga suara di depan pintu kamar mengagetkan mereka.
"Lala, sayang, ayo keluar. jenazah ayah sudah datang,"
Deg
Alkana mematung mendengar suara yang ia yakini adalah kakak ipar dari ayah mertuanya.
" Jenazah? Apa maksudnya?,"
" Ayah di bawa ke rumah sakit tadi, hiks..hiks... Lala baru tahu barusan saat uwa telpon kalau ayah sudah tidak ada. Hikss .. Hikss. Ayah meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit," jelas Hura terbata-bata, tangisnya semakin pecah.
Alkana ikut merasakan sedih. Ia memeluk Haura sambil mengusap punggung istrinya.
" Ayo kita lihat. Hmm. Aku ganti pakaian baju dulu,"
Haura pun menurut. Ia duduk di atas ranjang menunggunya suaminya. Kakinya terasa lemas untuk berjalan ke luar kamar. Ia rasanya tidak sanggup menghadapi kenyataan.
Ceklek
Alkana membuka pintu kamar setelah memakai pakaiannya dengan kilat.
" Lala tidak apa-apa?,"
" Masih shock dan menangis. Nanti Al bawa keluar, Wa."
perempuan paruh baya yang matanya itu sudah sembab pun mengangguk.
"Kuatkan Lala ya, Al."
Alkana mengangguk dan kembali masuk kamar.
" Keluar yuk. Ayah pasti sedih kalau Lala enggak menemaninya,"
" Lala enggak sanggup, A. Lala nggak sanggup lihat ayah yang tidak lagi bernafas,"
Alkana kembali menarik Haura dalam pelukannya. Alkana tahu Lala rapuh. Satu-satunya orang tuanya kini juga meninggalkannya.
" Ada aku. Hmm. Aku suamimu sekarang, La."
" Aa janji nggak akan ninggalin Lala kan? Lala nggak punya siapa-siapa lagi. " Air matanya kembali berderai.
" insya Allah aku berjanji akan selamanya di sisimu,"
Lala pun di rangkul Alkana untuk berjalan keluar kamar.
Di ruang tamu, semua sudah di bereskan. Jika tadi hanya ada meja kecil untuk ijab kabul di tengah ruangan, kini berganti dengan jenazah ayah Haura.
" Lala sini,sayang," panggil Senja pada menantunya.
Lala langsung memeluk ibu mertuanya dan menangis kembali.
" Yang kuat ya. Ada mami, papi, Al juga. Kamu enggak sendirian. Semua sayang Lala,"
Lala hanya menangis. Ia tidak berteriak namun tangisan tanpa suara itu lebih menyayat hati. Hingga akhirnya, Haura pingsan tak sadarkan diri.
" La!! Lala !!," tubuh lemas Haura masih dalam dekapan Senja
" Biar Al bawa ke kamar lagi, Mi,"
Alkana langsung menggendong Haura dan menidurkan di atas ranjang. Alkana langsung membuka kerudung Haura agar Haura merasa nyaman.
Wajah cantik itu tampak pucat. Bulir-bulir keringat membasahi keningnya.
...******...
"Ayah ... Enggak. Jangan tinggalin Lala, yah. Jangan!!!!," teriak Haura histeris langsung terbangun dari tidurnya.
Alkana yang baru saja melaksanakan shalat malam segera menghampiri Haura. Ia diminta menemani Haura sementara yang lainnya menunggui jenazah di ruang tamu.
Haura terengah-engah melihat ke arah Alkana yang menghampirinya.
" Semua akan baik-baik saja, hmm." Ucap Alkana memeluk Haura.
" Jadi, Lala hanya mimpi? Ayah masih hidup kan?," tanya Haura menatap wajah Alkana yang begitu dekat dengan wajahnya.
Namun, melihat Alkana menggelengkan kepalanya, Haura kembali sadar. Kepergian sang ayah bukanlah sekedar mimpi. Namun, kenyataan yang terbawa ke alam mimpi.
Menyadari hal itu, Haura kembali menangis. Cinta pertamanya telah pergi.
" Menangis lah. Tidak apa-apa,"
" Lala harus apa kalau nggak ada ayah?," Haura menangis kembali dalam dekapan Alkana.
" Lanjutkan hidupmu, La. Ayah akan sedih kalau kamu terpuruk,"
" Lala nggak yakin bisa hidup tanpa Ayah," lirihnya.
Haura terus meracau. Kepergian sang yah adalah luka terbesar bagi Haura.
Sejak usianya lima tahun, sang ibu pergi meninggalkannya hanya berdua dengan sang ayah.
Ayah yang lebih memilih membesarkan buah hati dari cinta pertamanya serta menolak untuk menikah kembali. Menurutnya, tidak semua perempuan akan baik pada anak sambungnya
Arif, ayah Haura tak ingin Haura merasa di abaikan. Karena itu, menduda lebih ia pilih ketimbang mencari istri lagi.
Sejak saat itu, hidup Haura hanya berporos pada sang ayah. Ayah yang berperan ganda sekaligus ibu baginya.
Alkana hanya mendengarkan semuanya dengan sabar. Hingga pagi menjelang, Haura tidak lagi tidur. Bahkan untuk sholat pun Alkana membantunya ke kamar mandi karena tubuhnya terasa lemas.
...******...
" Kamu tunggu saja di rumah ya. Tidak perlu ikut ke makam," usul Uwa Haura.
Haura menggelengkan kepalanya.
" Lala mau lihat ayah untuk terakhir kalinya. Lala mau mengantarkan ke liang lahat," Haura keras kepala.
Padahal kondisi tubuhnya tidak baik-baik saja. Haura belum makan apapun sejak semalam. pagi hari pun hanya sarapan beberapa suap. Itu pun Haura lakukan setelah Alkana mengancamnya akan menyuapinya melalui mulutnya.
tentu saja Haura tidak mau. Karena itu ia terpaksa menerima suapan Alkana walaupun hanya beberapa suap saja.
Alkana turun ke liang lahat membantu memakamkannya ayah mertuanya. Sementara Haura berdiri menyaksikan proses pemakaman di temani ibu mertuanya yang tak pernah melepaskan rangkulannya dari tubuh Haura sejak dari rumah.
Area pemakaman yang jaraknya cukup dekat membuat semuanya berjalan kaki. Alkana bahkan ikut mengangkat keranda.
Haura terus menatap nisan yang bertuliskan nama ayahnya.
Di sampingnya, Alkana tak pernah meninggalkan Haura sedetik pun.
" Kita pulang ya, hari semakin panas."
" Tapi, ayah sendirian, A. Ayah pasti kesepian," lirihnya dengan suara bergetar.
Alkana ikut sedih. Tapi, membiarkan Haura terus di area pemakaman yang semakin terik pun tidak baik.
" La, turuti perkataanku ya. Ini demi kesehatan mu juga. Ayah pasti tidak suka melihat kamu terpuruk seperti ini."
Haura tidak bergeming. Ia terus melihat ke arah batu nisan dengan mata yang tak henti-hentinya menangis.
Alkana akhirnya hanya pasrah menunggu Haura.
" Ayah janji mau gendong cucu ayah kan? Tapi, ayah sudah pergi meninggalkan Lala sebelum semuanya terwujud.
Alkana hanya mendengarkan.. Lagi-lagi, ia menjadi pendengar setia.
" Lala pikir ayah bercanda saat bilang akan pergi tenang setelah melihat Lala menikah. Nyatanya, ayah benar-benar pergi di hari yang sama dengan pernikahan Lala. Apa seharusnya Lala tidak menikah?,"
" Astaghfirullah, La. Ngga boleh bilang begitu,"
" Lala lebih baik nggak nikah-nikah asalkan ayah ada sama Lala, A. Cuma ayah yang sayang dan paling ngerti Lala."
Alkana menepuk punggung Lala. Bukan saatnya menasehati Lala. Apalagi pasti tidak akan mendengarkan ucapannya.
Lala masih betah disana. Memang makam sang ayah ada di bawah pohon jati. Hingga tidak terasa panas bahkan cenderung sejuk. Namun, di bagian lain tetap saja terasa panas.
"Aku beli minum dulu ya?,"
Lala hanya mengangguk saja. Ia terus memeluk nisan ayahnya. Namun, beberapa langkah, Alkana yang khawatir langsung melihat ke arah belakang untuk melihat Lala.
Hingga ia langsung berlari ke makam yah mertuanya saat menyadari sesuatu.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Mas Budian
lalanya pingsan again
2024-05-24
0
Aqil Aqil
kasian lala.
2024-05-23
0