Anggota Baru

Hanum sempat tak bisa konsentrasi selama pelajaran. Ia terus terbayang akan mimpinya semalam yang ternyata merupakan kenyataan. Meski baru sekali mengalami, ia yakin telah merasuki korban. Ia bahkan menyesal karena berhenti berjuang melawan pelaku kejahatan itu hingga menyebabkan perempuan yang dirasukinya meninggal.

Hanum merinding, kalut, dan terus merutuki diri. Beberapa kali Siska melihat Hanum bengong lalu berekspresi getir. Karena Hanum tak menjawab dengan benar saat Siska bertanya, jadi Siska putuskan untuk mengadukannya pada Nayla saat tak sengaja bertemu di kantin. Nayla yang sempat ilfil pada Siska yang suka memaksa Hanum ikut dengannya pun mulai berubah pikiran. Kini Nayla yakin Siska benar-benar khawatir pada adiknya itu.

Pulang sekolah, Nayla melihat Hanum berjalan gontai diikuti Siska diam-diam. Siska tampak menjaga Hanum dari belakang karena saat gadis rambut keriting itu tersandung, Siska buru-buru menangkap lengannya.

“Kamu kenapa sih, Num? Dari tadi kelihatan nggak baik-baik aja.”

Hanum menatap Siska dengan nanar. “Maaf, Sis. Aku cuma—”

“Biar aku yang jagain Hanum,” ujar Nayla yang sedang melangkah cepat menuju tempat dua adik kelasnya itu. Ia rangkul bahu Hanum lalu diajak jalan bersama.

Siska hanya bisa menurut dengan melepaskan genggamannya dari lengan Hanum. Lalu terdiam melihat Hanum diajak pergi. Siska melipat tangan di dada. Memikirkan apa yang selanjutnya akan ia lakukan untuk bisa lebih akrab dengan Hanum. Terlebih, sosok Hanum selalu membuatnya penasaran berat.

***

Febri menutup gorden lab bahasa begitu selesai mengamati situasi luar. Meski banyak lelembut berkumpul di depan lab, yang penting tak ada orang lain yang terlihat. Ia duduk di kursi depan Hanum. Ditekannya pelan puncak kepala gadis yang pucat itu.

“Ada yang ngadu kalo kamu nggak fokus belajar, Hanum,” ujar Febri.

Sontak Hanum mendongak. Ditatapnya Febri dan Nayla secara bergantian. Kemudian menjatuhkan pandangan lagi. “Maaf... saya kepikiran sama korban pembunuhan yang diberitakan tadi pagi.”

“Coba kamu ceritain detailnya,” pinta Febri.

Hanum pun mengisahkan mimpi buruk yang ia alami dengan gamblang karena masih sangat segar di ingatan. Tangannya sampai mengepal erat, tampak menahan amarah yang akan meledak. Nayla segera merangkul bahu Hanum lalu mengusapnya dengan lembut.

“Bukan salahmu kalo nggak bisa nyelametin dia, Num,” hibur Nayla.

Febri mengetuk-ngetukkan kepalan tangan ke kening. Tampak sedang berpikir. “Selama ini kami tahu Hanum punya kemampuan spesial dan bisa menjadi perantara mencari warga desa yang tersebar di kota. Tapi kami nggak pernah tahu kalau caranya bakalan kayak gini.”

“Jadi sekarang akhirnya ketahuan kemampuan Hanum yang ini? Berarti pelaku pembunuhan dalam berita tadi itu salah satu warga desa?” oceh Nayla.

Febri mengangguk. “Bisa jadi. Tapi kita nggak boleh menyimpulkan secepat ini. Kita perlu mengusut, cari bukti, dan memastikan identitas pelaku yang asli.”

“Pelakunya masih buron,” gumam Nayla. “Tapi kita bisa bantu nangkep dia lewat bantuan Hanum, kan?”

“Betul. Hanum lihat wajah pelaku,” timpal Febri.

Di tengah antusiasme Febri dan Nayla, Hanum masih saja termangu menyesali kebodohannya yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Nayla dan Febri saling pandang. Kemudian Nayla memeluk Hanum dan mengusap punggungnya penuh kelembutan.

“Kan udah kubilang, itu bukan salah kamu. Waktu itu kamu nggak tahu apa-apa. Dan sekarang, karena kamu udah tahu, jadi hal yang harus kamu lakuin adalah bantu nyari pelakunya,” tutur Nayla.

Mendengar itu, Hanum mengangkat wajahnya. Menatap Febri dan Nayla dengan sorot mata penuh keyakinan. Ia mengangguk setuju. Febri dan Nayla seketika merasa lega.

“Bisa kamu gambarin nggak kira-kira wajahnya kayak gimana?” tanya Febri. Ia ambil selembar kertas HVS dan pensil dari atas meja guru lalu meletakkannya di depan Hanum. Seketika Febri merasa nostalgia karena teringat saat di desa dulu Hanum menggambarkan arah rumahnya.

Hanum diam sejenak. Lalu menggeleng, “Saya emang suka nggambar tapi nggak bisa kalo nggambar wajah orang.”

Seketika Febri dan Nayla mendengus panjang bersamaan. Hanum buru-buru menenangkan kedua orang itu. “Tapi meskipun di kamar itu cuma ada lilin, saya bisa lihat wajahnya dengan jelas kok, Pak. Hidungnya besar, matanya lebar, alis tebal, warna kulit legam—”

Pendeskripsian Hanum terpotong karena tiba-tiba ada yang membuka pintu lab bahasa. Sontak tiga pasang mata tertuju ke sana. Tampak Mahesa muncul sambil menenteng kerah seragam seorang anak laki-laki yang menutupi wajah dengan kedua tangan.

“Sandi?” Nayla membelalak. Ia berjalan ke tempat Sandi yang baru dilepas Mahesa. “Kamu kenapa bisa diseret ke sini sama Pak Satpam?”

“Tikus nih nguping,” tukas Mahesa.

Febri mengernyit. “Bukan tikus, Bang, dia anak orang.” Sejatinya Febri merasa ada yang mengganjal. Febri mendengus singkat. Melipat tangan di dada lalu diam mengamati sosok Sandi yang sedang salah tingkah.

“Maaf, Pak, saya nggak ada maksud mau nguping beneran tadi,” terang Sandi. “Saya mau ajak Nayla pulang bareng jadi pas lihat dia sama Hanum ke sini, saya—”

“Bentar,” potong Febri. Kali ini ia melangkah mendekati Sandi. “Sejak pertama ketemu di musala malam persami itu, saya punya feeling yang nggak beres soal kamu.”

“Maksudnya?” Sandi celingukan, ucapan Febri barusan membuatnya tampak kebingungan.

Febri menepuk bahu kiri Sandi dengan agak keras lalu menekannya. “Kamu jujur aja, kamu bisa lihat makhluk astral, kan?”

Sandi tergemap tak mampu berkata-kata. Diliriknya Nayla yang sama terkejutnya dengan dirinya. Lalu Sandi menggeleng cepat. “Ng—nggak kok, Pak. Penglihatan saya normal-normal aja.”

Tiba-tiba Sandi meringis kesakitan sambil mencengkeram tangan Febri yang meremas bahu kirinya. “P—Pak, ampun, Pak!”

“Saya sudah suruh kamu jujur. Tapi kamu malah bohong?”

Nayla menarik tangan Febri hingga terlepas dari bahu Sandi. “Pak Febri jangan sembarangan nge-judge orang, dong. Aku kenal Sandi sejak kelas 7, Pak, dan dia nggak ada gelagat aneh yang nunjukin kalo dia bisa lihat penampakan, tuh!”

Febri menatap lurus dan dingin pada Nayla. “Kamu belain dia? Kamu bener-bener nggak tahu selama ini dia nipu kamu?”

Nayla menggeleng-gelengkan kepala, rasa tak percaya. Tapi di antara dua laki-laki itu, jelas Nayla lebih percaya pada omongan Febri daripada Sandi. Ditatapnya Sandi dengan penuh pengharapan. Meminta agar Sandi mau jujur padanya juga.

“A—aku...” Sandi ragu-ragu. Ia lalu menunduk, tak mampu membalas tatapan mata Nayla. “Sorry, Naya, aku emang bisa lihat mereka.”

DEG!

Nayla terhenyak. Pengakuan Sandi membuatnya kehilangan kata. Dua tahun lebih ia berinteraksi secara tak langsung dengan para lelembut penghuni sekolah. Bahkan yang terakhir kali adalah kunti bogel yang diusirnya di depan Sandi. Tapi anak laki-laki itu diam saja seolah tak melihat padahal bisa.

“Naya!” Sandi meraih tangan Nayla saat gadis itu beranjak dengan langkah gontai menuju kursi Hanum. Nayla menyentakkan tangan Sandi lalu meliriknya dengan sinis. “Aku nggak tahu musti ngomong apa lagi sama kamu.”

Sandi membelalak. Dadanya bergemuruh karena penolakan Nayla barusan. Meski sudah sering diabaikan dan ditolak oleh Nayla, entah kenapa ia merasa kali ini paling menyakitkan untuknya. “Naya, please, maafin aku. Aku pura-pura nggak lihat karena nggak mau mereka gangguin aku.”

“Tapi kamu diem aja waktu lihat ada yang jahilin aku, kan?!” bentak Nayla. Dadanya sampai naik turun karena teramat kesal.

“Nay, aku—” Sandi yang hendak meraih tangan Nayla lagi langsung ditarik dengan kuat oleh Mahesa.

“Kita apain nih bocah?” tanya Mahesa pada Febri. “Dia udah terlanjur tahu hubungan kita semua dan dengerin obrolan di sini.”

Febri mendekati Sandi. “Mulai dari mana obrolan kami yang kamu dengar tadi?” tanya Febri dengan nada yang terkesan mengintimidasi.

Sandi menundukkan wajah. “Semua, Pak.”

Mahesa mendengus ketus. Febri menepuk pipi putih Sandi, memberinya kesan sangar supaya anak laki-laki itu tak berbuat macam-macam.

“Tapi!” ucap Sandi. “Saya bisa bantu Hanum menggambarkan orang yang dia maksud!” akunya. Membuat semua mata tertuju padanya. Bahkan Nayla yang sudah sulit memercayai remaja lelaki itu kini mengangguk setuju. Karena memang bakat Sandi dalam menggambar sudah tak diragukan.

“Saya juga janji nggak akan bocorin apa pun soal kalian terutama apa yang kalian obrolin tadi dan sampe kapan pun,” imbuh Sandi. “Saya pinter jaga rahasia, kok.”

Febri menatap tiga rekannya secara bergantian untuk meminta pendapat dan persetujuan. Mahesa diam, Nayla mengangguk, Hanum ikut pendapat Nayla. Akhirnya Febri memutuskan untuk memberi Sandi satu kesempatan.

"Oh, satu lagi yang nguping," ujar Mahesa. Ditunjuknya satu sosok hitam yang sedang mengintip dari balik gorden.

"Kalian bertiga pulang. Biar yang ini saya beresin," perintah Febri. Tapi baru selangkah Febri beranjak, sosok hitam itu menghilang.

Nayla meremas tangan Hanum. "Pak, makhluk itu yang pertama kali gangguin Hanum waktu kemampuannya bangkit."

"Dan dia baru-baru ini aja muncul di sekolah ini," timpal Sandi. Ia melirik Nayla, mereka pun bertemu pandang. Meski kesal, Nayla tak memungkiri ucapan Sandi barusan.

Mahesa mendekat ke Febri lalu berbisik, "Aku yakin dulu pernah ngerasain auranya di desa. Trus ilang setelah Hanum dianter ke kota."

Febri membelalak. "Bisa jadi makhluk tadi ngikutin Hanum terus selama ini?"

Terpopuler

Comments

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

Owalah ternyata Sandi juga anak Indomie to🤣🤣

2024-08-02

1

Ali B.U

Ali B.U

,next

2024-06-07

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!