Keputusan Terakhir

Untuk sampai di kelas, Hanum harus melewati taman dan menyusuri koridor ruang-ruang kelas 9. Sendirian. Dalam keadaan sekitar yang remang-remang. Lampu koridor sekolah sengaja tak dinyalakan dan hanya mendapat sorot lampu dari dalam kelas sebagai bantuan penerangan. Hanum merinding sebadan. Pasalnya, para hantu bertebaran di sepanjang mata memandang. Ia pun menyesal karena kabur dari lapangan tanpa pikir panjang.

Menelan ludah, kaki Hanum yang sempat berhenti kini mulai menjangkah. Perlahan ia menuju samping sebuah kelas lalu menempelkan punggungnya di dinding. Dengan napas berat dan tak beraturan, Hanum coba menguatkan mental. Takut jika melanjutkan perjalanan, tapi terlalu malu untuk kembali ke lapangan.

“Ih, kamu jangan gitu...”

Hanum mengernyit setelah mendengar suara barusan. Ia mengedar pandang ke sekitarnya yang remang-remang. Hingga matanya melihat sosok kakak pembina laki-laki dan perempuan. Keduanya sedang bercanda bahkan berciuman secara diam-diam. Hanum langsung menundukkan kepala, malu melihat kemesraan yang tidak pada tempatnya.

Tapi tunggu!

Sesaat sebelum Hanum menunduk tadi, ia sempat melihat sosok kakak pembina laki-laki berubah dari manusia menjadi―

“Mbak!” teriak Hanum tanpa pikir panjang.

Kakak pembina perempuan langsung tersentak dan membelalak. Ia kelabakan melihat Hanum melangkah cepat ke arahnya. Ditariknya tangan si pacar dengan buru-buru untuk diajaknya pergi dari tempat itu.

“Mbak jangan ajak dia! Dia bukan manusia!” teriak Hanum lagi.

Kakak pembina perempuan seketika berhenti. Ia menoleh ke arah Hanum dan menatap sinis karena tersinggung. “Maksud kamu apa?!” Meski suara mereka tak terlalu jelas terdengar karena kalah dari suara sound lapangan yang sedang dalam acara pentas seni, nyatanya kakak pembina itu bisa mendengar peringatan Hanum secara samar.

“Mbak, percaya sama aku! Dia bukan manusia! Dia―”

“Dia apa?” bentak kakak pembina.

Hanum tak berani mengucapkannya karena terlalu takut melihat sosok genderuwo bertaring tajam itu. Terlebih, hantu-hantu lain yang kini melihatnya keluar dari persembunyian langsung berlari menghampiri. Hanum tak lagi memedulikan si kakak pembina yang ngeyel tak mau menerima peringatannya. Hanum memutar badannya yang gemetaran seraya mengedar pandang mencari jalan untuknya kabur.

“Maaf!” teriak Hanum lagi, lalu sedetik kemudian melesat ke koridor. Ia berlari dan para hantu mengejarnya. Bukan hanya di belakang, tapi mereka juga muncul dari balik pintu dan jendela kelas 9. Hanum jejeritan. Bahkan beberapa kali jatuh karena kaki yang lemas dan gemetaran.

“Jangan ikuti aku! JANGAAAN!”

Hanum mulai frustrasi. Otaknya tak bisa berpikir jernih karena hilang nyali. Meski sadar bahwa para hantu itu pasti mengejar bahkan ada yang menunggunya di dalam kelasnya, ia hanya bisa berlari saat ini. Berharap tak tertangkap oleh hantu-hantu yang membuatnya bergidik ngeri.

Derap lari kaki Hanum mengerem cepat. Dilihatnya sesosok genderuwo raksasa dengan bulu yang menyelimuti sekujur badannya, tengah menggeram, menyeringai, air liur bercampur darah beleleran, seolah mencegatnya dengan santai. Hanum mengentakkan kaki, marah pada keadaan. Ia terdesak, lalu membuat pilihan nekat dengan melompati pagar tanaman yang setinggi perutnya.

“Eergh!” Hanum merintih kesakitan karena kakinya ngilu saat melakukan pendaratan. Ternyata di sana pun ada sejoli yang sedang bermesraan. Bedanya kali ini benar manusia semua. Namun aneh, kedua sejoli berseragam pramuka itu tak kaget saat dirinya jatuh di dekat mereka.

“Permisi!” sapa Hanum, berharap kedua kakak pembina itu melihat ke arahnya lalu membantunya. Tapi yang ada, kedua orang itu justru makin berbuat tak senonoh. Refleks Hanum memejamkan mata, malu bercampur marah. Ia tak menyangka bahwa kegiatan malam itu akan dijadikan ajang berpacaran. Dan lebih tak habis pikir karena dirinya seolah masuk ke alam mimpi lagi. Atau... alam gaib?

DEG!

Hanum seketika membuka mata saat lantunan tembang Jawa tertangkap indra pendengarannya. Yakin bahwa memang ada yang tak beres dengan sekitarnya. Matanya melirik ke sana kemari. Tampak para hantu mulai menghampiri, sedangkan dua sejoli di dekatnya tak memedulikan mereka. Jelas, dua orang itu pasti tak bisa melihat penampakan. Hanya dirinya. Yang harus menanggung kengerian itu sendirian.

Ketakutan Hanum memuncak. Menempelkan punggungnya ke pagar tanaman, berharap tak ada yang menangkapnya dari belakang. Tapi naluri Hanum tak terima jika ditangkap hantu-hantu itu. Dengan rasa kesal, ia pun berdiri meski gemetaran. Ia bertekad akan terus kabur, tak akan menyerah sebelum berusaha hingga di titik penghabisan kemampuannya.

“Tante Mirandani, tolong jangan ganggu aku!” teriak Hanum sambil mulai berlari.

Berkali-kali Hanum memejamkan mata saat berlari melewati jalan taman dan koridor. Tak ingin melihat para hantu mengerikan yang mengejar bahkan beberapa diterjangnya tanpa sadar. Hanum juga mengabaikan orang-orang yang dipapasinya karena mereka sama sekali tak melihat ke arahnya. Ia yakin bahwa saat ini dirinya tengah terjebak di dunia para hantu tanpa seorang pun tahu.

Energi terkuras, kaki melemas. Hanum menjatuhkan pilihan terakhir menuju lantai dua tempat ruang kelas 8 berada. Dengan gontai ia menaiki satu per satu anak tangga. Dan terjatuh saat sebuah tangan hitam berkuku tajam menangkap kaki kanannya.

“AAAKH! JANGAAAN!”

Hanum menendang tangan membusuk itu dan mulai merangkak naik lagi saat sudah terbebas. Begitu sampai di atas, Hanum disambut oleh sosok pocong berukuran panjang yang tergantung di langit-langit atap koridor. Hanum yang dibuat kaget oleh kemunculan sosok itu pun langsung terpeleset lalu merosot jatuh di tangga. Beruntung ia tak sampai berguling-guling karena berpegangan pada pagar tangga.

“Jangan ganggu aku, tolooong!” teriak Hanum saat melihat para hantu yang mengejar semakin mendekat padanya.

Hanum menangisi keadaan yang terus mengganggu fisik dan mentalnya. Seolah tak mengijinkannya bernapas dengan tenang sebentar saja. Terlebih malam itu ia menyadari bahwa para hantu berjumlah makin banyak dari yang dilihatnya saat langit terang.

Frustrasi. Hanum hilang kesabaran. Dengan napas tersengal dan ekspresi yang melukiskan keputusasaan, ia mengentak kaki menuju balkon, menerjang lelembut yang berkerumun menunggunya datang. Ia lalu berlari ke sudut balkon yang kosong. Memutar badan, melihat para hantu yang menghampirinya dengan tatapan nanar.

“Kalian nggak akan dapet apa-apa kalau aku nggak ada!”

Seolah paham, para hantu menggeram kencang. Langkah mereka tiba-tiba memelan. Hanum merasakan kegetiran, karena teringat lagi perkataan Mahesa bahwa dirinya bisa kapan pun dimangsa.

“Seenggaknya, kalo malaikat mencabut nyawaku lebih dulu, kalian nggak akan bisa memangsa jiwaku.”

Sejurus kemudian Hanum menyeret satu kursi yang ada di sana. Lalu menaiki kursi itu untuk memanjat dinding balkon yang setinggi lehernya.

“HANUM, JANGAAAN!” teriakan nyalang suara Nayla.

Namun Hanum terlanjur menjatuhkan satu kakinya. Dan sedetik kemudian tubuh mungil kurusnya terjun bebas dari balkon lantai dua. Penyesalan memang selalu muncul setelah tindakan. Meski sosok Nayla yang terlihat sedang berlari dengan raut wajah hampir gila membuat Hanum tersadar dari sikap impulsifnya, nyatanya ia tak bisa memutar ulang waktu untuk mengurungkan tindakan nekatnya menjemput ajal.

“PAK FEBRIII!” teriak Nayla tiba-tiba.

Terpopuler

Comments

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

Duh ndok Hanum,,kok nekat malah terjun bebas to,,kira2 siapa yang nolong🤔😌😌

2024-08-02

1

Ali B.U

Ali B.U

next.

2024-06-06

2

Andini Marlang

Andini Marlang

ya Allah...Dhuk 🥺🥀🥀🥀

ko ini nyebut mba Mira , pak Febri 🥺 mrk brti bnr2 masih hidup ya Thor ???? 🌺🌺

2024-05-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!