Tangan kekar dengan cepat menangkap lengan Hanum. Gadis itu sampai membelalak dengan napas tertahan saat badannya mulai ditarik naik. Refleks ia pegang pergelangan tangan kekar tersebut karena panik. Tak butuh waktu lama bagi pemilik tangan itu untuk menyelamatkan Hanum, menarik gadis kurus itu hingga berhasil kembali ke balkon lalu jatuh ke pelukannya.
Hanum yang shock tapi lega tak jadi jatuh, perlahan menengok ke arah penyelamatnya. Dan betapa ia terhenyak melihat pria tampan yang dikenalnya itu. “P—Pak... Febri?” Hanum berjingkat mundur menempel ke dinding balkon.
Febri mendengus tawa. “Hanum, ini beneran saya, bukan hantu, jadi kamu jangan takut, ya!”
Mulut Hanum sampai menganga dengan ekspresi wajah tak percaya. Kemudian ia buru-buru membekap mulut dan menatap Febri dengan mata berkaca-kaca. “B—beneran ini... Pak Febri?”
Febri mengangguk. “Iya.”
Dengan ragu-ragu, Hanum menyentuh tangan Febri yang hangat dirasanya. Lalu Hanum terisak dan refleks berhambur ke dada Febri. Ia menangis sejadinya. “Paaak! Pak Febri masih hiduuup?”
Dada Febri terasa perih mendengar pertanyaan Hanum yang disertai tangis memilukan. Ia usap lembut kepala gadis yang amat disayangi mendiang Mirandani itu. “Maaf kalo kemarin saya ngagetin kamu sampe ngira saya sebagai hantu.”
Hanum mendongak, menyeka wajahnya yang basah, lalu berkata, “Jadi... yang kemarin itu... beneran Pak Febri manusia?”
Febri mengangguk lagi. “Iya. Wong saya belum mati. Mati pun nggak mau ah jadi hantu.”
Hanum tertawa. Tapi lalu menangis lagi. “Pak Febri... juga tahu kondisi... saya?” tanya Hanum di sela isakannya.
Febri sedikit meremas bahu gadis itu. “Iya, semua tentang kamu, saya tahu.” Febri kemudian menoleh ke arah para lelembut yang masih menggeram-geram tak jauh dari tempat mereka berdua. “Hanum,” panggil Febri dengan suara lirih. “Kamu harus tatap mata mereka dengan penuh keyakinan diri,” imbuhnya.
Hanum menggeleng cepat. “Mustahil, Pak! Saya takut banget! Mereka ngeri!”
“Pilih satu, kamu atau mereka yang lari?”
Hanum termangu beberapa saat. Otak dan badannya menyatakan bahwa dirinya sudah lelah dikejar-kejar. Bahkan Mahesa pernah bilang bahwa ia bisa menjadi penakluk jika kuat mental.
“Menatap mata?” gumam Hanum.
“Betul. Hanya mata, nggak usah ke bentuk fisiknya.”
Menelan ludah, Hanum merasa jika bersama Febri di dekatnya, ia akan sanggup melakukan hal yang menakutkan itu. Selesai berpikir, ia mengangguk lemah lalu mulai menggerakkan leher dan bola matanya. Menatap ke semua hantu yang menunggunya. Lalu tiba-tiba menunduk lagi karena ngeri. Febri mengusap-usap lengan Hanum yang mendingin karena tegang dan berselimut angin malam. “Kamu bisa,” gumamnya.
Perlahan, Hanum mengangkat wajahnya. Mengarahkan pandangan ke tempat para hantu. Fokusnya hanya pada mata-mata mereka. Bulu kuduk Hanum meremang. Detak jantung dan tempo napasnya seperti bersahutan. Sejenak Hanum menatap mata satu sosok kuntilanak berwajah pucat dengan pipi bolong yang menampakkan deretan gigi. Menelan ludah, mengeratkan rahang, Hanum berusaha kuat menatap kuntilanak itu sedikit lebih lama. Dan tiba-tiba, kelebat sebuah adegan menyeruak di penglihatannya.
Seorang perempuan berambut kepang sepinggang tengah berlari kencang dengan ekspresi ketakutan. Di belakang ada seseorang yang mengejar sambil menyeret sebilah pedang panjang. Sorot lampu yang amat terang menimpa wajah perempuan itu. Dan sejurus kemudian tubuh berdasternya terempas lalu terbanting ke jalan aspal dengan cukup keras. Tak cukup sampai di situ, truk yang barusan menabrak terus melaju hingga si perempuan terlindas. Lalu sosok yang mengejar pergi secara diam-diam dari sana.
“AAAKH! NGGAK!” jerit Hanum tiba-tiba. Gadis itu langsung menutup mata lalu jatuh berlutut di lantai sambil menutupi wajahnya dengan tangan. Febri segera mendekap Hanum yang meraung ketakutan.
“Hanum!” teriak Nayla. Ia tiba di balkon dengan napas tersengal dan seragam yang basah oleh keringatnya. “Pak Febri, Hanum kenapa?” tanyanya dengan nada sengit.
Febri menatap Nayla sebentar. Lalu menarik tangan Hanum hingga terlepas dari wajahnya. “Hanum, tenangkan dirimu. Semakin kamu takut, semakin membuat senang para hantu itu.”
Hanum menggigit bibir bawahnya demi bisa menahan isakan. Kemudian telunjuk tangan kirinya bergerak perlahan, menunjuk sosok kuntilanak pipi bolong yang kini tampak kebingungan. “Dia—!” teriak Hanum. “Dia mati kecelakaan dengan tragis, Pak. Kasihan!” Hanum pun kembali menangis kencang. “Saya nggak kuat, Paaak!”
Nayla berjongkok. “Pak Febri, apa ini kemampuan Hanum juga? Dia bisa lihat momen kematian orang-orang yang ditiru para jin qorin itu?”
Febri tak lekas menjawab. Diguncangnya pelan bahu Hanum yang masih sesenggukan. “Kita bicarain nanti aja soal kemampuan Hanum. Sekarang kita bawa dulu dia ke tempat yang aman.”
“Musala!” sahut Nayla segera.
Tak buang waktu, Febri mengangkat Hanum ke gendongannya menuju musala dipandu Nayla. Selama perjalanan, Febri sengaja tak membuka tabir gaib supaya tak terlihat orang-orang karena kondisi Hanum bisa membuat curiga. Barulah Febri membuat mereka terlihat saat Hanum sudah dibaringkannya di dalam musala. Beruntung tak ada siapa pun di sana karena para peserta masih asyik pentas di lokasi api unggun dengan suara sound yang membahana.
“Hanum, kamu dengar suara saya?” tanya Febri pada Hanum yang mulai tenang.
Hanum mengerjapkan mata lalu menyeka wajah basahnya. “Pak Febri? Ini beneran bukan mimpi?”
Febri mengernyit. Heran, karena seolah Hanum baru sadar dari pingsan. “Kamu udah bener-bener tenang kan sekarang?”
Hanum mengangguk pelan. Diliriknya Nayla yang sedang menatapnya dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Lalu mulai mewek lagi dan tiba-tiba memeluk Nayla dengan erat. “Mbak Nayla... maafin aku... Aku goblok! Aku―AKU TAKUT, MBAAAK!”
Air mata Nayla luruh juga. Dibalasnya pelukan Hanum dengan erat pula. “Udah, sekarang nggak apa-apa. Kamu udah baik-baik aja.” Nayla melirik Febri yang tengah mengawasi kondisi luar musala. “Maafin aku juga ya, Num. Aku punya banyak salah sama kamu. Aku punya banyak kekurangan buat jagain kamu.”
Hanum melepas pelukan dari Nayla. Ia menggeleng cepat dan berkata, “Justru berkat kamu, Mbak, aku bisa baik-baik aja sejak mulai dateng ke sekolah ini. Aku mau kamu ajarin aku buat kuat.” Hanum menggigit bibirnya, menahan rasa kalut yang masih menguasainya. “Aku nggak mau mati.”
Nayla meremas bahu Hanum. Bibirnya menyunggingkan senyum. Tatapan mata membara menyiratkan rasa bangga.
“Jangan minta diajarin Nayla, kalian berdua masih piyik, biar diajarin orang dewasa,” sahut Febri dari belakang dua anak perempuan itu.
Nayla mencebik. Hanum mengangguk mantap. Dua gadis itu merasa tenang ada Febri yang tiba-tiba datang dan memberi bantuan, bahkan memberi dukungan.
“Tapi latihan kalian nggak akan ringan. Apa kalian siap?”
Nayla dan Hanum saling pandang. Nayla segera menggenggam erat kedua tangan Hanum, memberinya sedikit kekuatan untuk membangun semangat berjuang dan membuang sisa-sisa ketakutan. Hanum menoleh ke arah Febri. “Tapi jangan kasar-kasar ya, Pak.”
Sontak Nayla dan Febri tergelak. “Lihat aja nanti,” jawab Febri.
Di tengah momen emosional dalam musala antara tiga orang itu, mendadak terdengar suara pintu diketuk. Sontak ketiganya menoleh ke arah sumber suara. Ada Sandi dan Siska yang sedang berdiri di sana.
“Permisi,” ucap Sandi. Bola matanya bergerak ke sana kemari, mengamati situasi. Kemudian tanpa menunggu diizinkan, Sandi masuk diikuti Siska.
“Stop!” hardik Febri. “Tetap di tempat kalian,” titahnya dengan nada tegas dan raut wajah menegang. Membuat empat murid SMP itu tergemap tak mampu berkata-kata. Terutama Sandi dan Siska yang merasa kehadiran mereka tak diinginkan di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Febri masih hidup,,jadi yang meninggal Bunda nya Febri ya Kak🤔😁
2024-08-02
1
Ali B.U
next
2024-06-06
2
Andini Marlang
Semangat ka ...🌺🌺🌺
kan de feb masih hidup 💗
lanjut up nya Thor 🤗🤗🤗🤗
2024-05-30
3