“Ini obatnya. Minum kalo sakit perut lagi aja. Kalo nggak sakit jangan diminum, ya.”
“Siap, Bu! Terima kasih ya, Bu,” sahut Hanum dengan senyum manis meski wajahnya masih pucat dengan mata sembab.
Nayla berusaha mengatur ekspresinya. Ia tarik pelan tangan Hanum. Menggandengnya dengan kuat seolah takut kalau-kalau Hanum terseret dalam kerumunan para makhluk astral. Terutama saat mereka melangkah keluar ruang UKS, makhluk-makhluk itu semakin buas hendak mengepung Hanum. Nayla menghardik mereka sambil berusaha tak menampakkan rasa paniknya.
Kesal. Nayla nyaris frustrasi karena kesulitan melindungi Hanum. Ia sampai menggeret Hanum berlari. Hanum terheran-heran. “Mbak, kenapa lari-larian? Perutku masih sakit, Mbak!” rengek Hanum sambil memegangi perutnya.
Gigi Nayla mengerat. Diam, tak mampu menjawab. Hanya membatin maaf karena situasi mereka saat ini cukup darurat.
“Mbak! Berhenti dulu, dong!” pinta Hanum.
“Nggak!” teriak Nayla. Membuat Hanum tersentak.
Dan tibalah mereka di dekat lapangan basket. Satu genderuwo besar melompat dari arah samping ke atas Hanum. Seketika Hanum hilang kesadaran. Nayla tak mengetahuinya. Sehingga badan Hanum yang lunglai terseret lalu tersungkur dengan cukup keras.
Nayla menoleh ke belakang. Panik bukan kepalang. “HANUM!” jeritnya. Ia tarik cepat tangan gadis itu lalu didekapnya erat. Mengedar pandang, Nayla melihat para lelembut makin banyak bergerombol mengelilingi mereka. Dan genderuwo besarlah yang menjadi pemimpinnya. Rasanya ingin mengumpat, tapi Nayla tahan kuat-kuat.
Nayla merasakan keanehan. Pasalnya, para guru dan teman-teman yang lewat tak melihat ke arah mereka berdua. Nayla menduga bahwa dirinya dan Hanum telah memasuki portal gaib. Ia melotot sangar menatap si genderuwo. “BANGSAT!” Umpatan yang sah dilontarkan karena tidak akan terdengar oleh orang-orang.
Genderuwo itu membalasnya dengan teriakan yang memekakkan telinga. Membuat lelembut lain semakin bernafsu untuk mengeroyok mereka berdua. Nayla tak buang waktu. Diraihnya sapu lidi bergagang yang tersandar di pagar kawat tepi lapangan. “Jangan kira aku bakal diem aja!” desisnya.
Para musuh melesat ke tempat Nayla. Nayla mengayunkan sapu lidinya sebagai senjata. Gerakannya tangkas dan penuh tenaga, seperti telah terlatih bela diri sejak lama. Namun perlawanan sengit penuh amarah Nayla tak berlangsung lama. Ia mulai kepayahan, napas terasa panas, kehabisan tenaga.
Dada Nayla kembang kempis, napasnya tersengal-sengal. Panik. Ia memutar otak. Dilemparnya sapu lidi sembarangan dengan sisa tenaga hingga mengenai kuntilanak bermuka hancur di depannya. Kini senjata sudah tak ada. Hanya satu cara tersisa. Kabur sekencang-kencangnya. Meski tak yakin apakah akan berhasil atau sia-sia. Karena mereka berdua sedang terjebak di seberang dunia.
“Hanum, jangan buka mata dulu,” pinta Nayla. Ia tak yakin bisa membawa Hanum kabur jika gadis itu siuman tiba-tiba. Karena yang ada malah mempersulit usaha pelarian diri mereka.
Secepat mungkin Nayla menarik Hanum ke punggung untuk digendongnya. Tapi satu makhluk aneh berbulu lebat tanpa kepala mencengkeram kaki kiri Hanum. “SIALAN!” umpat Nayla sekerasnya. Ia tendang hantu itu hingga tangannya terlepas dari kaki Hanum. Nayla buru-buru menarik Hanum lagi ke punggungnya.
Kaki Nayla baru mau beranjak, tiba-tiba ia merasa badan Hanum ada yang mengangkat hingga nyaris lepas dari gendongannya. Nayla menoleh cepat hendak berteriak. Tapi seketika tertahan karena terkejut dengan sosok yang ia lihat. Bukan hantu, melainkan seorang pria berwajah sangar dengan model rambut rapi dan mengenakan jaket bomber warna cokelat. Lupa-lupa ingat, Nayla yakin pernah melihat pria itu di suatu tempat.
“Anda mau apa?” hardik Nayla, membuang kesopanan pada yang lebih tua. Ia kesal sekaligus panik karena pria itu mengangkat Hanum lalu dengan santai memanggulnya. “Anda siapa?! Lepasin adik saya!” Nayla mengulurkan tangan meraih Hanum, tapi tangannya malah ditarik dan digapit oleh lengan kiri pria yang berpostur jauh lebih tinggi darinya itu.
Nayla hampir protes tapi tak sempat karena keburu sadar setelah melihat para lelembut menjauh dan hanya menggeram-geram kesal. Napas Nayla tertahan. Ia mendongak menatap wajah si pria yang berbau parfum dengan kesan manly itu. Perlahan ia melepaskan diri dari dekapan lengan kiri si pria.
“Om, bisa masuk alam gaib, ya?” tanya Nayla sambil memicingkan mata.
Si pria mengangguk. “Jangan gegabah melawan mereka sendirian. Kamu sendiri tahu kamu nggak mampu.” Pria itu memutar badan lalu beranjak sambil masih mengangkat Hanum di pundak.
Nayla mengerjap, tercengang. Biasanya ia akan mencak-mencak jika dikritik sepedas itu. Tapi kali ini ia memang mengakui keterbatasannya. Mau tak mau ia hanya bisa meyakini bahwa pria sangar itu bukanlah orang jahat. Nayla menyambar tas Hanum dan tasnya yang tergeletak di jalan paving. Lalu berjingkat mengekori si pria yang membawa Hanum masuk ke pos satpam.
“Om ini siapa? Kenapa bisa nemuin kami berdua trus bikin para dedemit itu ngejauh?” cerocos Nayla. Dilihatnya pria itu membaringkan Hanum di kursi panjang. “Apa kita pernah ketemu sebelumnya?”
Tak ada sahutan. Pria itu justru melenggang pergi keluar pos satpam. Nayla mendengus kesal. “OM!”
“Mbak Nayla manggil siapa?” Suara Hanum.
Nayla segera menoleh dan buru-buru menghampiri Hanum yang berusaha bangun. “Gimana kondisimu? Maaf aku ngajakin kamu lari. Soalnya—”
“Mbak, dari tadi aku mimpi buruk terus,” tukas Hanum. “Badanku panas tapi udaranya dingin banget. Kecium bau wangi tapi amis, bikin perut mau muntah. Dadaku sesak, sulit napas, di telingaku berisik banget suara-suara nggak jelas. Aku takut, tapi sedih, trus bingung. Aku sakit apa ya, Mbak?”
Nayla termangu mendengarkan pengakuan Hanum. Diusapnya kening Hanum yang benjol dan sedikit berdarah karena tadi tersungkur. “Itu pasti karena kebawa sakit perut. Biasalah, orang sakit kebanyakan mimpi buruk. Apalagi kalo lagi dapet tuh emosi labil.”
“Gitu ya, Mbak?” Hanum terlihat murung, seperti sulit menerima penjelasan Nayla. "Trus kenapa aku tiba-tiba tiduran di sini? Aku kenapa? Kok jidat, dagu, sama dadaku kerasa ngilu?"
Nayla kelabakan. "Kamu tadi sempet pingsan trus nyungsep di jalan."
"Aku pingsan?" Hanum membelalak. "Apa karena dateng bulan bikin aku kurang darah ya, Mbak?"
Nayla mengangguk saja sebagai jawaban. "Bisa jadi?" Ia belum bisa memberi penjelasan mengenai kondisi Hanum. Ia berpikir harus hati-hati dan mencari waktu yang tepat daripada salah langkah. Hanum harus kuat mental dulu, barulah Nayla akan memberitahu kebenarannya.
Nayla ingin mengajak Hanum segera pulang supaya luka Hanum bisa segera diobati. Nayla berdiri di ambang pintu pos satpam. “Kita udah balik ke kenyataan belum, ya?” batin Nayla.
Kebetulan Sandi lewat sambil menuntun sepedanya sesuai peraturan sekolah yang melarang murid-murid mengayuh sepeda dalam lingkungan sekolah. Nayla iseng mencoba memanggil Sandi untuk mengecek apakah dirinya sudah keluar dari alam gaib. “Ehem! Sandi, Sayang!” teriaknya dengan bernada.
Sontak Sandi menoleh lalu menatap tak percaya pada Nayla. Bahkan guru-guru, beberapa murid, dan seorang satpam paruh baya yang baru datang entah dari mana, semua menatap ke arahnya. Nayla membeku. Matanya melirik ke sana kemari mengamati situasi. “Nayla bego!” gumamnya sambil menutup muka.
***
Pagi berganti.
Nayla sengaja berangkat lebih awal hari ini. Ia ingin memastikan keamanan Hanum, kalau perlu tiap hari. Kemarin dirinya mengantar pulang anak itu meski diajak jalan kaki. Karena jarak sekolah hanya satu kilometer dari panti, Hanum bersikeras pulang sendiri. Kali ini Nayla bermaksud untuk menyapu bersih para hantu yang mungkin mencegat kedatangan Hanum sewaktu-waktu.
Mobil kakak angkat Nayla berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Nayla mencium tangan perempuan di balik kemudi yang masih mengenakan piyama. “Ntar kalo nggak ada rapat kamu langsung chat di grup. Aku jemput. Jangan kesorean, kita ada acara keluarga di luar,” ujar perempuan berambut pendek dengan wajah kebulean itu sambil menyodorkan uang jajan.
Nayla mengangguk. Menerima uang dari kakak angkatnya dan berkata, “Makasih, Kak. Nanti kukabari kalo aku udah mau pulang.” Kemudian Nayla turun dari mobil. Menunggu sejenak sampai mobil kakak melaju pergi lalu melangkah masuk melewati pintu gerbang.
Tiba-tiba ekor mata Nayla menangkap kelebat seseorang yang diketahuinya. Membuat langkahnya terhenti seketika. Kemudian ia menoleh ke arah pos satpam. “Om yang kemarin?” tunjuk Nayla dengan telunjuk tangan kanan.
Pria bermuka sangar yang kemarin telah menolong Nayla dan Hanum lolos dari jebakan dunia gaib kini berdiri tegap mengenakan seragam satpam lengkap. Menunjukkan kegagahan yang membuat jantung Nayla bergemuruh penuh antusias tapi masih menyimpan rasa kesal karena ditinggal pergi tanpa mendapatkan penjelasan.
Nayla mengentak kaki menghampiri satpam baru sekolahnya itu. Dibacanya name tag yang terpasang di dada kanan si pria, “Pak Mahesa? Anda masih punya utang jawaban sama saya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Owalah,,Mahesa ada nie makin seru😁😁
2024-08-02
1
Ali B.U
mantap tuh penjaga
lanjut kak
2024-05-22
2
Andini Marlang
wah surprise 🎉🎉🎉🎉🎉trnyta Mahessa yg masih hidup ....yang lain nanti bermunculan juga 🤗🌺kangen de feb sama mba mir 🥺🥀
2024-05-21
1