Dua jam berlalu, Thanya masih terlarut dalam imajinasinya. Thanya tipe yang sangat teliti dan terperinci. Ia tak mau hanya asal menulis tanpa mendapatkan informasi yang akurat. Ia mencoba menulis sesuai usianya yang sekarang.
Bukan cerita tentang rumah tangga atau billioner yang sedang digeluti banyak penulis karena cerita yang banyak digemari para pembaca. Tapi cerita teenlit yang wajar untuk anak usianya. Khusus untuk anak sekolahan yang memang menggemari membaca cerita novel.
Bukan juga cerita tentang romansa anak sekolah yang mungkin akan sangat disukai banyak pembaca di bawah dua puluh tahunan. Tapi cerita yang sesuai dengan realita. Tentang dunia sekolah yang jarang sekali ditulis oleh penulis novel lainnya.
“Bukan Tiara mencari cinta, tapi Tiara si jenius!”
Thanya menentukan judul yang akan ia pakai. Namun, lima menit kemudian Thanya merasa judulnya terlalu biasa saja. Tidak ada istimewa dari judul tersebut. Karena itu Thanya mulai berpikir dan mencari inspirasi lagi.
“Ah ternyata menentukan judul saja sangat susah. Padahal konflik sudah ada, alur cerita juga sudah ada. Bahkan sinopsis sudah ada di kepala. Bagaimana ini?”
Seseorang mengetuk pintu kamar Thanya di saat Thanya sedang buntu.
“Siapa?” tanya Thanya.
“Mama sayang, kamu belum tidur?” ucap Naza sembari membuka pintu kamar Thanya.
“Oh mama, kenapa, Ma? Aku belum selesai, jadi belum bisa tidur.”
Naza berjalan masuk dengan membawa nampan berisikan minuman susu dan cemilan buah-buahan. Lalu menaruhnya di atas meja samping meja belajar Thanya.
“Tumben belum selesai? Mama takut kamu kelaperan kalau kebanyakan mikir. Apa susah?”
Thanya menggelengkan kepalanya dan meminum susunya. Mengelap bibirnya dan menaruh kembali gelas kosong ke atas meja.
“Makasih, Ma, aku memang jadi lapar dan haus. Memangnya ini jam berapa?”
Thanya terkejut saat melihat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam lebih. Thanya menunduk dengan wajah yang sedih.
“Ternyata membutuhkan waktu yang lama, yaa,” keluh Thanya dan mencoba menulis lagi. Naza menatap putri pertamanya dengan prihatin.
Tidak biasanya Thanya mengalami kesusahan dalam hal menulis. Karena Naza tahu jika Thanya sangat suka menulis, jadi pasti akan sangat mudah baginya menulis sebuah cerita.
“Kalau mama tidak mengganggu, apa mama boleh tau kamu sedang kesulitan dalam hal apa?” tanya Naza mencoba untuk memberikan bantuan.
“Siapa tau mama bisa bantu sedikit, atau memberikan arahan sesuai dengan apa yang mama tahu,” lanjut Naza lagi. Ia tak ingin Thanya terlihat patah semangat seperti ini.
Karena Thanya selalu terlihat bercahaya dan bersinar saat sedang menggeluti kesukaannya itu.
“Thanya ... selama ini hanya bisa menulis puisi dan cerpen saja. Bahkan Thanya sudah biasa mendapatkan juara dan menjadi pemenang even yang Thania ikuti. Tapi Ma, ternyata menulis novel itu lebih sulit dibandingkan menulis cerpen,” cerita Thanya dengan bersemangat.
“Benarkah? Apa sesulit itu sampai membuat kamu bergadang?”
“Iya, novel itu ... lebih rinci dan tidak bisa langsung ke konflik masalah. Harus ada penyebab dan diakhiri dengan solusi yang bisa memberikan manfaat untuk pembaca. Ceritanya lebih luas dan harus disusun satu persatu. Dari masalah pertama, masuk ke masalah kedua dan sampai akhirnya ke puncak masalah.”
“Hmm jadi kamu belum ketemu mau nulis cerita yang seperti apa karena kesulitan itu?”
“Bukan, Thanya sudah selesai menulis semuanya. Maksudnya alur ceritanya secara garis besarnya aja. Bahkan Thanya sudah selesai menulis sinopsisnya. Tapi tinggal nulis bab pertamanya aja.”
“Apa susah menulis bab pertamanya?” Thanya kembali menggeleng.
“Enggak, kok, Thanya sudah terbayang mau menulis apa. Dan seperti apa di bab pertama itu.”
“Lalu apa kesulitan yang bikin kamu galau dan tidak semangat seperti ini?”
“Judul!”
“Judul?”
“Iya Ma, Thanya bingung mau kasih judul apa cerita yang sedang Thanya buat. Kayaknya selalu kurang pas. Padahal usah sampe sepuluh kali ganti. Tapi Thanya merasa tidak tepat aja.”
“Oh jadi begitu, kalau boleh tau cerita tentang apa?”
“Mama tau? Kalau novel itu lebih banyak cerita tentang rumtang dan billioner.”
“Rumtang?”
“Rumah tangga, tapi karena Thanya belum menikah dan masih sekolah Thanya rasa akan sulit menulis dua jenis cerita itu.”
“Lalu kamu nulis apa?”
“Cerita anak sekolah. Tapi bukan cerita anak sekolah biasa, atau tentang percintaan sekolah. Thanya paling anti cerita seperti itu. Cerita yang Thanya tulis tentang seorang anak jenius yang bisa membangkitkan sebuah sekolah yang hampir ditutup karena kurang peminat. Thanya sudah cari tau, ternyata banyak sekolah yang seperti itu. Terutama sekolah yang ada di pinggir kota atau pelosok.”
“Seperti cerita laskar pelangi?”
“Kurang lebih seperti itu, tapi pemeran utamanya menolong sekolah bukan dengan ikut perlombaan seperti itu.”
“Lalu?”
“Menantang anak sekolah lain untuk memecahkan sebuah misteri yang Tiara buat.”
“Tiara?”
“Nama pemeran utamanya.”
“Itu bagus sekali, pasti banyak yang baca karena penasaran.”
“Nah itu dia, masalahnya Thanya bingung untuk membuat judulnya.”
Naza terlihat sangat antusias mendengar Thanya bercerita tentang kesulitannya dan apa yang sedang ia lakukan. Naza memang tidak memiliki waktu yang banyak untuk bisa dihabiskan bersama dengan anak-anaknya. Tapi Naza selalu mendukung apa pun yang anaknya lakukan atau ingin lakukan.
Selama itu adalah hal yang baik dan positif, Naza dan suaminya akan selalu memberikan dukungan dan semua kebutuhan mereka tanpa terkecuali.
“Hero of school?” saran Naza.
“Apa gak terlalu berlebihan?”
“Benar juga, kebangkitan sekolah?”
“Sekolahnya gak mati mah.”
“Aneh yaa?” Thanya mengangguk kecil.
“Kalau begitu, the beauty inside?”
“Mah ... ini bukan cerita dongeng.”
Naza tertawa kecil dan berdiri lalu memeluk Thanya dengan erat.
“Maaf yaa, mamah terlalu percaya diri jadi berpikir bisa bantuin kamu. Ternyata susah juga,” ucap Naza jujur yang sudah sakit kepala memikirkan judul dari cerita yang Thanya buat.
“Gak papa kok Ma, biar aku aja yang mikir. Mamah istirahat aja, kan besok kerja. Sebelum jam satu pasti sudah selesai. Jadi, mamah gak usah khawatir.”
“Oke kalau begitu, ingat kamu juga sekolah besok. Eh libur yaa besok, mama juga libur kerjanya.”
“Oh gak jadi pergi dinas?”
“Gak sayang, papa juga di rumah besok. Tapi jangan bergadang yaa meski pun gak sekolah besok.”
“Siap, Mah!”
Setelah Naza pergi, Thanya kembali menatap layaar laptopnya. Tak berlangsung lama Thanya menyelesaikan satu bab pertamanya. Dan saat sedang merapihkan naskahnya, Thanya mendapatkan ide yang cemerlang dan langsung menulis judul novel pertamanya.
Membuka menu email lalu mengirimkannya pada email media publisher. Thanya tersenyum senang karena bisa menyelesaikan naskahnya tepat jam satu malam.
“Ya ampun, ternyata sesulit itu. Tapi, setelah ini pasti tidak akan susah, karena aku sudah tau alurnya. Dan judulnya juga ... sangat menarik. ‘My School’ “
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Mamimi Samejima
Saya suka banget ceritanya, terus semangat menulis ya thor!
2025-01-08
1