Pamflet Lomba dan Keputusan

Seorang perempuan delapan belas tahun terlihat berdiri di halte bersama dengan para siswa sekolah lainnya bercampur menjadi satu dalam satu tempat halte yang sama. Ia melihat gawainya, sudah pukul 16.00, biasanya sang Papa sudah menjemput karena dia hanya boleh pulang jika sudah datang jemputan. Namun, kali ini sang Papa belum muncul juga.

Perempuan bernama Queen Disabelle Athanya itu akhirnya mencari kontak papanya, tapi kemudian ia urungkan niat memanggil nomor sang Papa karena ia beranggapan jika sang Papa mungkin masih ada kesibukan di kantor. Karena hari makin sore, akhirnya ia memanggil nomor sang Mama yang tak lama dari itu langsung diangkat. Naza Sitta—Mama Athanya memang orang paling fast respons sejagat dunia.

“Assalamualaikum, Mama,” sapa Thanya.

“Waalaikumussalam, Thanya Sayang. Ada apa? Tumben jam segini kamu telepon, apa belum pulang?” tanya Naza.

“Iya nih, Mah, aku masih di halte sekolah. Papa belum jemput, apa aku pulang naik taxi aja? Soalnya udah mau sore juga, aku takut kemalaman malah susah cari kendaraan nanti,” kata Thanya.

“Papa belum jemput? Apa mungkin masih ada kepentingan di kantor, ya? Tapi tumben kenapa dia nggak telfon kamu kalau nggak bisa jemput? Kalau gitu kamu tunggu bentar di halte aja, ya, nanti Mama suruh Pak Sopir buat jemput kamu. Soalnya Mama nggak bisa jemput juga, tapi Mama juga nggak bisa biarin kamu pulang sendirian,” kata Naza, suaranya mulai terdengar panik.

“Enggak tahu, Mah, mungkin gawainya mati,” sahut Thanya.

“Ya udah, kamu tunggu di sana aja pokoknya! Jangan ke mana-mana. Kalau bukan Pak Sopir yang jemput, jangan mau,” Naza memperingatkan.

“Iya, Mah, okay.”

Setelah itu Thanya langsung menutup sambungannya dan memilih duduk di halte menungg sopirnya yang akan datang. Padahal ia sendiri yakin dan berani bisa pergi sendirian, tapi orang tuanya memang selalu menjaga dirinya dengan ketat sehingga ia sering tak boleh main atau pulang sekolah sendirian.

Sekitar setengah jam kemudian, sebuah mobil kuning cerah berhenti tepat di depan halte. Thanya yang langsung mengenali pemilik mobil itu langsung berdiri, kemudian masuk ke dalam mobil tersebut. Memang benar, yang menjemput sopirnya. “Selamat sore, Nona. Mari Bapak antar sampai rumah. Maaf kalau sedikit telat karena tadi cukup macet di jalan,” kata sang sopir yang berusia empat puluh tahunan.

“Nggak apa, Pak. Aku juga nunggunya santai,” kata Thanya seraya memasang sabuk pengamannya.

Setelah mobil mulai meninggalkan sekolah, selama di jalan Thanya yang merasa bosan terlihat mulai membuka gawainya. Ia membuka akun instagramnya yang sudah dua harian tak ia buka karena sibuk menulis. Thanya yang memang sangat hobi menulis, menggeluti kegemarannya itu hingga sering sekali memenangkan lomba puisi atau cerita pendek yang selalu ia buat pada waktu kosong.

Sesaat kedua mata hitam milik Thanya melihat sebuah pamflet pada laman sosial medianya. Ia melihat sebuah pamflet pengumuman lomba penulisan novel oleh penerbit Media Publishing yang diadakan mulai besok hingga dua minggu ke depan dalam rangka memperingati hari ulang tahun penerbit tersebut yang kedua tahun.

“Lomba, aku harus ikut,” desisnya seraya menegakkan duduknya.

Thanya langsung melihat persyaratan yang ada. Ia membacanya dan sepertinya ia menyanggupi karena inti dari persyaratan tersebut hanya mengumpulkan sinopsis keseluruhan cerita serta bab awal saja, selebihnya hanya follow akun dan membagikannya pada story. Itu sangat mudah menurut Thanya. Yang sulit mungkin seleksinya yang ketat nanti.

Sesampainya di rumah, Thanya langsung masuk ke dalam kamarnya. Sebenarnya ia ingin makan karena sudah lapar sekali, tetapi ia masih penasaran dengan lomba yang akan diikutinya. Thanya yang baru saja melempar ranselnya ke dalam renjang, mendengar langkah yang masuk ke dalam kamar. Ia menoleh, dan mendapati seorang wanita berambut ikal panjang yang berdiri di ambang pintu, menatapnya dan tersenyum manis ke arahnya.

“Thanya Sayang, kamu nggak makan dulu? Bibi udah siapkan makan di bawah loh, tumben kamu langsung masuk kamar nggak nemuin adik-adikmu dulu,” kata Naza.

“Eh iya, Ma, kayaknya nanti aku bakalan sering di kamer deh, soalnya aku bakalan ikut lomba penulisan novel. Gimana menurut Mama? Mama, kan, tahu aku senang banget menulis dan sering juara juga. Tapi sekalipun aku belum pernah nulis novel karena menurutku itu agak susah, jadi aku pengin coba menantang diri sendiri. Mana tahu aku bisa, kan?” Thanya bertanya dengan penuh percaya diri berharap sang mama akan mendukungnya.

Naza mendekat, kemudian memeluk Thanya sekilas. “Sayangnya Mama, apa pun yang akan kamu lakukan, Mama dan Papa pasti akan selalu mendukung apa lagi terkait dengan hobi kamu. Asalkan hobi kamu nggak mengalahkan sekolah, enggak apa-apa. Mama selalu doain kamu dan berjalan di belakang kamu, Nak. Ngomong-ngomong kamu ikut lomba di mana?” tanya sang Mama.

“Oh aku ikut lomba di penerbit Media Publishing, Ma. Katanya, sih, penerbitnya bakal ulang tahun gitu jadi aku mau ikut, mana tahu nanti sinopsis punyaku lolos dan aku bisa jadi penulis novel,” Thanya bertanya dengan mata yang berbinar.

“Nah, itu anak Mama. Tapi jangan lupa makan, Sayang. Sekarang kamu makan dulu, abis itu kamu boleh masuk kamar lagi,” ajak Naza. “Dan Papa nggak bisa jemput kamu karena katanya handphone Papa mati sewaktu mau ada rapat, jadi Papa nggak bisa telepon kamu. Papa tadi nelpon Mama dan katanya takut kamu marah, tapi Mama bilang kalau anak baik kayak kamu nggak akan marah.” Naza tersenyum sembari menarik tangan anaknya menuju ke bawah.

Thanya tersenyum. “Papa memang kadang agak lebay dikit.” Dia tertawa kecil.

Mereka berjalan ke bawah, di ruang makan sudah ada kedua adik Thanya Veily Arabelle yang sudah kelas 3 SMP, sementara anak bungsunya Wulan Irabelle yang masih kelas VI SD.

“Kak Thanya, kok baru pulang?” tanya Wulan.

“Iya nih, Papa nggak jemput Kakak karena ada kepentingan,” jawab Thanya ramah.

“Sudah yuk waktunya makan. Papa bakalan pulang malam banget, jadi nggak bisa makan bareng kita. Sekarang kita makan duluan aja, ya, nanti setelah itu mandi dan boleh santai-santai sebelum belajar nanti sebelum maghrib,” kata sang Mama dengan ramah.

Wanita itu mengambilkan nasi di piring ketiga anaknya, kemudian ia juga mengambil untuk dirinya sendiri. Banyak lauk yang tersedia di atas meja karena keluarga Thanya memang tak biasa dengan satu lauk saja. mereka telrihat makan dengan sangat lahap dan gembira karena orang tuanya selalu memberikan yang terbaik untuk ketiga anaknya.

“Mama, nanti guru les-ku bakal datang nggak, ya?” tanya Ara.

“Datang, Sayang. Nanti siap-siap ya setelah mandi,” jawab Naza ramah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!