Ajakan

Selesai makan malam, Thanya langsung beranjak menuju kamarnya. Mengingat deadline dari lomba menulis novel hanya dua minggu, waktu yang cukup singkat membuat Thanya sangat bersemangat untuk segera membuat novel yang akan ia ajukan sebagai perlombaan.

Thanya berpikir jika dirinya mengirim naskah dari awal, maka kesempatan lolos akan lebih besar. Karena dirinya yang tau di awal dan bisa mengerjakan dengan cepat menjadi pertimbangan untuk bisa masuk ke tahap selanjutnya.

Di atas meja sudah terdapat laptop yang sering Thanya gunakan untuk mengerjakan tugas sekolah mau pun untuk menulis. Baik itu puisi atau pun cerita pendek. Saat akan segera membuka laptopnya, Thanya teringat pada sahabatnya yang juga sama menggemari dunia literasi.

Thanya mengambil ponselnya dan mencari nomor Rosi untuk langsung menelponnya saja. Ia pikir berbicara langsung akan lebih jelas ketimbang mengirim pesan.

“Hai Ros, lagi apa?” tanya Thanya saat Rosi mengangkat teleponnya.

“Baru aja selesai ngerjain tugas. Kamu udah ngerjain tugas belum?” tanya Rosi yang sedang rebahan di kamarnya.

“Aku udah ngerjain tadi sepulang sekolah waktu nunggu jemputan.”

“Astaga! Anak pintar, seharusnya kau gunakan waktu itu untuk bermain medsos atau game. Dasar anak rajin!”

“Apaan sih, aku Cuma gak mau membuang waktu. Kalau tugas udah selesai dikerjain kan jadinya tenang. Bawaannya bebas aja gitu mau ngerjain apa pun di rumah.”

“Ya ... ya ... tapi nih btw, tumben telepon jam segini. Biasanya juga sibuk belajar atau nulis-nulis puisi cinta. Padahal gak pernah pacaran, tapi gimana caranya kamu bisa menang puisi romance atau pun cerita pendek tentang romance?”

“Nulis mah nulis aja, gak perlu punya pengalaman untuk bisa menulis tentang romance kan? Kayak nulis cerita fantasi, kita gak harus punya pintu ke mana sajanya doraemon atau tongkat sihir Harry Potter untuk bisa menulis cerita tentang mereka bukan?”

Rosi mengangguk malas, sejujurnya Thanya termasuk anak yang kelewat rajin dan pintar. Semua ucapannya persis seperti seorang guru. Jadi, saat dirinya berbincang dengan Thanya, kepala Rosi sudah pusing duluan karena merasa sedang diceramahi oleh guru mereka.

“Rosi ... dengerin aku gak sih?” tanya Thanya karena Rosi hanya diam saja tanpa merespon ucapannya.

“Iya ... iya ... aku denger kok. Tapi apa hubungan semua itu dengan doraemon dan Harry Potter?”

“Ah jadi begini, saat tadi pulang sekolah gak sengaja aku liat pamlet perlombaan online –“

“Lagi? Jadi beneran mau ikutan lomba lagi? Thanya bulan ini kamu sudah berapa kali ikutan lomba juga? Tiap bulan kamu selalu menang lomba nulis puisi. Bahkan bulan kemarin kamu memenangkan lomba nulis cerpen. Apa isi otakmu semua tentang imajinasi?” sela Rosi yang tidak mengerti bagaimana bisa Thanya membagi waktunya antara belajar dan menulis.

“Rosi ... ini berbeda. Kali ini bukan lomba puisi atau pun cerpen.”

“Lalu apa?”

“Novel. Aku akan menulis novel, dan jika terpilih maka aku akan bisa menerbitkan novelku di platform itu,” jelas Thanya sangat bersemangat. Ia terdengar sudah tak sabar untuk menekan semua tombol pada keyboard laptopnya.

“Benarkah?”

“Iya, karena itu ... bagaimana kalau kamu juga ikutan. Aku yakin pasti seru kalau kita kirim naskah perlombaan bersama, lalu nunggu hasilnya bersama. Aku sangat bersemangat.”

Thanya tersenyum lebar menceritakan keinginannya itu pada sahabatnya. Ia sangat senang bisa membagi kesukaannya pada orang terdekatnya yang bisa sangat memahami dirinya dan tujuannya dalam menggarap hobinya.

“Hmm ... gimana yaa,” terdengar Rosi ragu-ragu.

“Apanya yang gimana? Ikut kan?”

“Bukannya gak mau ikut, tapi Thanya. Aku belum pernah nulis novel. Kita bahkan tidak tau formula untuk bisa memenangkan lomba tersebut kan?”

Thanya termenung akan jawaban sahabatnya. Apa yang dikatakan Rosi ada benarnya, baik dirinya dan Rosi tidak pernah menulis novel. Seperti puisi dan cerpern, formula dalam menulis sangat berbeda. Begitu juga menulis novel. Apa lagi novel yang panjang dan tidak bisa langsung pada inti masalah.

Banyak diksi yang harus digunakan, banyak tokoh yang terdapat pada cerita agar tidak terlalu monoton. Dan berbagai masalah konflik yang harus disematkan agar para pembaca semakin penasaran dan tidak meninggalkan novel mereka.

Thanya tau itu akan sangat sulit, mungkin untuk membuat sinopsis dan satu bab akan sangat mudah. Tapi, jika dirinya lolos maka harus bisa menulis minimal seratus bab. Apakah Thanya akan sanggup?

“Novel dan cerpen sangat berbeda, kita tidak bisa menulis seperti menulis cerpen Thanya,” lanjut Rosi yang juga sangat ragu.

“Jadi, kamu gak mau ikutan Rosi?” tanya Thanya akhirnya bersuara.

“Ya, aku tidak bisa memaksakan diri.”

“Nggak pa-pa, aku akan tetap melanjutkan. Mamaku juga sudah mendukungku, jadi aku akan mencobanya,” ucap Thanya percaya diri. Rosi sangat kagum dengan sikap optimis Thanya ini. Mungkin inilah yang menjadi perbedaan antara keduanya.

“Baiklah kalau begitu.”

“Apanya yang baik? Kau jadi ikutan?”

“Bukan begitu, aku ... akan mendukungmu. Meskipun aku nggak bisa ikutan menulis novel, tapi aku akan mendukungmu dan memberikan semangat seratus persen. Tidak, tapi seribu persen! Thanya semangat!”

Thanya tersenyum senang, Rosi memang berbeda dengan temannya yang lain. Meski pun dia tak bisa mengikuti apa yang Thanya inginkan. Tapi Rosi selalu mendukungnya dan memberikan semangat di saat dirinya sedang terpuruk karena sempat mengalami kekalahan.

Memang tak salah bercerita pada Rosi dan meski Rosi tak bisa ikut dalam perlombaan, tapi dukungan dari Rosi sudah lebih cukup bagi Thanya.

“Terima kasih karena sudah mendukungku. Kalau novelku jadi terbit di sana, baca terus novelku yaa.”

“Aku akan menjadi pembaca dan penggemar nomor satu untukmu. Selamat menulis, Thanya!”

Thanya mengakhiri panggilan teleponnya dengan perasaan yang senang. Meski sempat kecewa karena Rosi tidak bisa ikut, tapi itu adalah pilihan Rosi yang tidak bisa Thanya paksakan. Karena itu, Thanya tidak akan mengecewakan Rosi dan akan tetap ikut partisipasi dengan membuat novel yang paling laris dan berbeda dengan novel lainnya.

Thanya duduk di depan meja belajarnya. Ia menyiapkan segala persiapannya untuk menulis novel. Membersihkan meja lalu menyusun buku-buku yang ada di atas meja. Setelah semua terlihat bersih dan rapih, Thanya menyalakan laptopnya dan membuka word.

Tangan Thanya sudah ada di atas keyboard. Namun, sudah sepuluh menit berlalu Thanya sama sekali tidak bisa menulis apa-apa.

“Ah ... kenapa tiba-tiba isi kepalaku kosong? Apa karena aku terlalu gugup jadi tidak tau harus menulis apa?”

Sebenarnya Thanya sangat tau apa yang harus ia tulis pertama kali. Bagaimana menyusun kerangka novel sebagai novel yang sangat sempurna. Namun, ia butuh inspirasi untuk menulis cerita yang seperti apa.

Karena itu, Thanya kembali duduk di ranjangnya dan membuka ponselnya. Ia berpikir mungkin saja akan menemukan inspirasi untuk memulai menulis novel.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!