BUKAN SIAPA

NARA tersenyum lebar saat melihat satu notifikasi masuk kedalam ponselnya. Ia merebahkan diri di atas kasur, membuka pesan baru yang sukses membuat kupu kupu menari didalam perutnya.

Nara meng-klik profile picture kontak Yesha. Tersenyum lebih lebar, itu foto iseng yang mereka ambil tadi saat di vila. Tapi cukup lucu, dan Yesha malah menjadikannya profile picture. Dasar.

Tubuh Nara berguling, ia tertawa kecil. Padahal belum ada dua jam mereka berpisah. Dan Yesha sudah rindu? Inisiatif Nara membuka kamera ponsel, mengambil beberapa foto dirinya, memilihnya sebentar. Setelah menemukan foto yang dirasa cukup bagus, lantas Nara kirimkan pada Yesha.

Lima detik. Pesannya hanya dibaca.

Detik selanjutnya.

•☆~Boyfiee~♡ is calling...

Sebuah panggilan video masuk. Nara refleks bangkit, melotot, heh, apa apaan ini tiba tiba? Sejenak Nara menyisir rambutnya dengan jemari, merapikannya sedikit, baru ia angkat panggilan video dari Yesha.

"Aku gak bisa, apalagi dikirim pap gitu makin kangen tahu nggak." Kata Yesha tiba tiba setelah wajahnya nampak di layar ponsel Nara.

"Baru aja ketemu tadi, kan?" Nara menahan tawa. Kenapa Yesha jadi manja begini sih?

"Kok bisa sih? Mau bobo aja cantik."

Nara tertawa dengan salah tingkah. Menutup wajahnya yang memerah dengan bantal.

"Kok ditutupin? Mana liat sini saltingnya."

"IH YESHA!" Nara pura pura cemberut. Semakin salah tingkah.

"Udah aku post ya, tunggu rame aja."

Nara melotot, tawanya tersumpal seketika. "Heh, post apa?"

"Pap kamu barusan. Kenapa emang?"

"Nanti orang orang liat gimana?" Nara panik sendiri.

"Kan, emang biar orang orang liat. Biar mereka tahu kalau kamu pacar aku sekarang." Yesha menjawab santai.

Dan Nara tidak tahu harus berkata apa. Tidak salah sebenarnya. Baiklah. Mungkin Nara hanya belum terbiasa dengan laki laki sepeka Yesha.

"Kamu nggak suka?"

Nara menggeleng cepat, bukan begitu maksudnya. "Suka kok."

Yesha tersenyum. Wajah tampannya terlihat semakin menarik bahkan hanya dilihat dari balik layar ponsel saja.

"Keinarra," Panggil Yesha.

"Ya?"

"I love you, cantik."

Nara menenggelamkan wajahnya diantara bantal. Astaga, bisakah Yesha berhenti membuatnya lemah begini? Perutnya sudah sakit karena salah tingkah. "Stop making me blush, Yeshaka...please..."

Tawa Yesha terdengar, dan saat ini ia benar benar gemas. Seandainya Nara ada disini, Yesha bisa memakan gadis itu saking gemasnya. "Aku mau nyanyiin kamu lagu, dengerin ya." Yesha terlihat mengambil gitarnya.

"Stop it." Nara melarang, atau nyanyian Yesha sungguhan akan membuatnya salah tingkah brutal.

"No," Yesha menggeleng, tersenyum menggoda. "Besok jangan kaget ya, karena kayaknya semua orang sekarang udah tahu kalau Yesha mereka udah punya pacar."

Nara menepuk dahi. Astaga. Ia hampir lupa kalau pacarnya saat ini adalah seorang Bramasta Yeshaka.

...***...

Nara tahu setelah berpacaran dengan Yesha hidupnya tidak akan sama lagi. Ia tahu persis. Semua ini entah kabar baik atau…entahlah, Nara sedikit kerepotan jadi ‘mendadak populer’ karena dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam pun kabar tentang dirinya dan Yesha sudah menyebar luas ke seantero sekolah. Tentu bukan tanpa alasan, selain memposting foto PAP Nara semalam, Yesha memang sempat memposting foto dirinya dan Nara ke Instagram story miliknya. Sengaja sekali menggegerkan dunia.

Lorong sekolah pagi ini mulai ramai. Dan sepanjang jalan menuju kelasnya, telinga Nara tidak henti mendengar satu dua bisikan yang menyebut namanya juga Yesha. Jangan lupakan manusia yang senang menjadi pusat perhatian itu, membuat Nara pusing mendengar namanya disebut dimana mana.

“Yesha Nara jadian?!”

“DEMI APA?”

“Eh lo nggak liat sg-nya Yesha kemarin malem?”

“Yang mana?”

“Ini nih!”

“Ih demi apa jadian anjir! Iri banget!”

“Heh, lo udah tahu Yesha Nara jadian?”

“Beneran jadian?!”

“Gila, gila, gila! Bakal jadi best favorite couple this year anjir!”

“GUE IRI GUE BILANG.”

Heboh. Sudah seperti berita selebriti saja. Nara melirik ke kanan dan ke kiri—orang orang juga melirik Nara. ‘Yesha-nya dimana?’, demikian arti tatapan mereka pada Nara. Malas sekali Nara harus menjelaskan bahwa pagi ini mereka tidak bisa datang bersama karena Yesha harus mampir ke kantor ayahnya lebih dulu.

Tapi, tampak sepuluh langkah didepan Nara, seorang lelaki berjalan ke arah Nara. Dia tersenyum hangat, tidak peduli dengan bisik bisik yang membicarakan dirinya. Aduh, dia kemana saja sih? Katanya akan sedikit terlambat ke sekolah, tapi sekarang justru muncul dihadapan Nara begitu saja seperti berteleportasi.

“Pagi, cantik.” Yesha menyapa saat berhadapan dengan Nara, tentunya hanya Nara yang bisa mendengar sapaan itu.

“Katanya ke kantor ayah dulu?” Nara justru tidak mengindahkan sapaan Yesha.

“Iya, tadinya. Tapi ayah ada rapat mendadak, jadi aku muter arah langsung kesini.” Jelas Yesha.

“Kamu emang udah biasa jadi pusat perhatian gini?” Nara melirik ke kanan dan ke kiri. Dominan siswa yang ada dilorong jelas memperhatikannya dan Yesha diam diam, membuat sedikit risi.

“Emang kamu nggak biasa?”

Aduh, jelas tidak. Nara menatap Yesha dengan ekspresi malas.

Lelaki itu tertawa kecil, mengacak puncak kepala Nara gemas, mengundang semua orang yang ada mulai ber-ehem ehem menyaksikan itu.

Nara melotot. “Yesha!” Serunya pelan, lelaki ini suka sekali mengundang tatapan mata semua orang.

“Kamu bakal terbiasa, dan harus terbiasa.” Yesha mengedik acuh tak acuh.

“Tapi aku bukan kamu.”

Yesha menatap Nara hangat. Kenapa dia tidak manfaatkan kepopuleran Yesha untuk kepentingan sosialnya? Pertanyaan itu sempat terlintas dibenak Yesha sesaat. Tapi ia lupa, bahwa seorang Keinarra memang selalu berbeda.

“Jangan peduliin mereka, jadi apa adanya kamu aja, kayak kita biasanya aja. Kamu bakal terbiasa, percaya sama aku. Oke?”

Nara menghela napas, mengangguk dengan senyum.

Yesha mengulurkan tangannya, meminta tangan Nara. “Together?”

Lantas Nara meletakkan tangannya diatas tangan Yesha, membiarkan lelaki itu menggenggam mesra jemarinya. Mereka berjalan bersisian, bersama menuju kelas diujung lorong.

Ryan, Jean, Hananta, Rania, dan Laudy tampak sudah siap menyambut mereka berdua didalam kelas. Karena setibanya Yesha dan Nara disana, sorak sorai langsung terdengar menusuk telinga layaknya penyambutan presiden dari istana negara.

Nara tersenyum malu, sementara Rania dan Laudy sibuk merecokinya dengan ucapan selamat.

“Chukkae Rara kitaa!” Laudy memeluk Nara gemas, membuatnya tertawa.

“Selera lo dari mantan lo kok bisa langsung naik gitu sih, Ra? So cool sist!” Rania menepuk bahu Nara dengan bangga.

“Yesha nembaknya gimana?” Laudy berbisik.

Wajah Nara memerah, gadis itu melotot.

“Ayo cerita, Raaa!” Desak Laudy, menggoyang goyangkan lengan Nara.

“Itu epic moment banget sih, but I'll tell you both later.” Sahut Nara, membuat Laudy dan Rania mendesah kecewa.

Sementara Ryan, Jean, dan Hananta sudah sibuk merecoki Yesha, mengerumuninya seperti semut menemukan permen.

“WE LIKE TO PARTY! OH YEAH, YEAH, YEAH! APA JE?”

“YEAH! WE LIKE TO PARTY!”

Ketiga orang itu sibuk bernyanyi dengan kompaknya, saling sahut satu sama lain membuat suara mereka menggema ke seisi kelas. Nara, Rania, dan Laudy tertawa melihat itu.

Yesha manggut manggut, menatap tiga temannya bergantian. “Yeah. Okay. Let’s go party.”

“NAIS MA PREEENN!” Sorak Jean kesenangan, lantas melakukan tos ala bro broan dengan Yesha.

Nara, Rania, dan Laudy ikut bersorak kecil, sibuk menyikut Nara, menggodanya.

“Malem ini, Sha?” Tanya Hananta.

Sebelum Yesha menjawab Ryan lebih dulu mendekatkan wajah pada telinga Yesha, berbisik. “Malming abis ulangan. Gue mau sekalian nembak Laudy.”

Yesha menatap lelaki itu dengan mata membelalak sempurna. ‘Seriusan?’, begitu maksud ekspresinya.

Ryan mengangguk mantap, menepuk bahu Yesha. “Trust me, it works.”

“Iklan L-Men lo?” Tanya Jean—bingung tidak tahu apa yang dibisikkan Ryan.

“Gak bisa enggres.” Ryan nyengir bodoh.

Yesha mendengus, lalu mengangguk setuju. “Oke, minggu depan ya. Di paviliun gue.”

“Nggak di vila yang kemarin aja?” Usul Nara.

Yesha menggeleng. “Itu tempat pribadi kita, sayang.”

“NAJIS!” Semprot Jean.

“SAYANG, SAYANG, CUIH!” Hananta berlagak meludah.

Nara tertawa, salah tingkah.

Sementara Rania dan Laudy sudah sibuk ber-ehem ehem menggoda.

Ryan menyikut Yesha, menaik turunkan alisnya mengisyaratkan sesuatu.

Yesha mengangkat ibu jarinya ke udara. “Aman, Yan. Santai.”

“Apa, sih, jingan? Dari tadi kode kodean mulu lo berdua.” Hananta protes, menatap Yesha dan Ryan bergantian.

“Kepo lo jomblo!” Yesha dan Ryan menyahut bersamaan.

Tanpa mereka sadari. Diambang pintu kelas sana, sepasang mata diam mengawasi dengan sedikit rasa ngilu di hatinya.

Benar kata orang. Bukan mudah merelakan sesuatu yang sudah disimpan begitu baik sejak lama. Mulutnya memang mengucapkan kata ‘iya’, tapi jauh didalam hatinya jelas tidak. Jika Nara akan terbiasa dengan semua ketenaran yang dimiliki Yesha, lantas kapan dirinya akan terbiasa melihat dengan rela lelaki yang dicintainya justru mencintai gadis lain?

...***...

Ulangan semester hari terakhir yang nyaris membuat Nara pingsan saking pusingnya dengan pelajaran yang di ujiankan. Terkadang Nara tidak paham dengan guru yang membuat jadwal, menempatkan pelajaran berhitung seperti matematika di jam terakhir, siang bolong, dengan otak yang sudah tidak bisa berpikir bahkan delapan puluh persen.

Wajah wajah kusut memenuhi seisi kelas. Helaan napas bahkan gerutuan kecil satu dua kali terdengar. Ribuan kali Rania terlihat mengacak rambutnya frustasi. Tak terkecuali Nara yang lagi lagi memijat pelipisnya, terasa pening, memastikan jawaban disetiap nomor telah diisi dengan benar—setidaknya benar menurutnya.

Pengawas ulangan berjalan kesana kemari, melewati setiap lorong bangku, melirik dengan awas, memastikan tidak ada yang menyontek. Sesekali Nara melirik Yesha dibangku sebelah sana, lelaki itu biasanya terlihat santai. Dia pintar, Nara tahu itu. Tapi matematika di siang bolong ternyata tidak bisa membuatnya tetap menikmati ujian. Nara tersenyum, lucu melihat Yesha lagi lagi berdecak dan menggoreskan penghapus di kertas jawabannya.

“Pacar lo gak akan kemana mana, Ra, diliatin mulu.” Rania berbisik, tapi cukup terdengar ditelinga Nara.

Nara mengerjap, beralih melirik Rania. “Lucu aja.” Ia balas berbisik.

“Lucu mata lo gundul.” Rania nyinyir, tanpa mengalihkan matanya dari kertas ujian.

Nara melanjutkan mengerjakan soal, tidak menanggapi lagi ucapan Rania. Memangnya kenapa sih? Yesha itu memang lucu. Rania saja tidak tahu rasanya pacaran dengan Yesha. Lelaki itu selalu manis pada Nara, memperlakukan Nara lebih baik seperti janjinya. Dia itu…

“Memangnya soal ulangan kamu bisa terisi sendiri pake ngelamun gitu?”

Nara berjengit kaget. Lamunannya diputus mendadak dengan kehadiran pengawas yang tiba tiba berdiri beberapa langkah dihadapannya. Entah sejak kapan. Nara mengerjap ngerjap menyadarkan diri, buru buru menyambar pulpennya yang tergeletak tanpa sadar.

Semua orang kompak menoleh pada Nara, membuatnya mendadak jadi pusat perhatian. Tak terkecuali Yesha.

Rania menendang pelan kaki Nara. “Kata gue juga apa, Yesha mulu otak lo.” Bisiknya.

“Elo yang mulai bawa bawa dia.” Balas Nara.

“Ya lo ngelamunin dia daritadi—”

“Kalian kalau mau terus mengobrol silahkan keluar saja.”

Mulut Nara dan Rania tersumpal. Cepat cepat mereka memasang wajah serius menatap kertas diatas meja, pura pura lanjut mengerjakan. Padahal lupa tadi menghitung sampai mana.

Nara melirik pada Yesha yang masih menatapnya.

“Kenapa?” Tanya Yesha tanpa suara, kedua alisnya terangkat penasaran.

Nara menggeleng pelan. “Nggak apa apa.” Balasnya sama tanpa suara.

Lima belas menit berlalu.

Bel tanda istirahat sekaligus berakhirnya ulangan pada hari terakhir itu berbunyi ke seantero sekolah. Suara desahan kecewa terdengar hampir dari setiap sudut kelas, mereka belum selesai mengerjakan dengan sempurna. Pengawas berkeliling, mengambil kertas kertas ulangan dengan paksa. Tidak peduli satu dua murid memohon meminta diberi waktu tambahan. Tidak ada toleransi, Nara memilih menyerahkan dengan pasrah kertas ulangan saat pengawas melintas di lorong bangkunya.

Tapi setelah itu suara sorakan lega terdengar menguapkan keluhan yang sempat terlontar beberapa saat sebelumnya. Ujian semester mereka berakhir hari ini. Saatnya menyambut liburan sebelum masuk pada tahun senior mereka.

Nara berdiri dari bangku, meregangkan tubuh dua kali, kanan kiri, menguap lebar. Rasanya bebas, sekali lagi ia memijat pelipisnya yang pening, memastikan otaknya baik baik saja setelah susah payah menghadapi matematika.

“Pusing juga ternyata.” Ucap Nara, mengerjap beberapa kali.

Mendengar itu Rania justru menoleh pada Yesha yang masih memasukkan peralatan sekolahnya kedalam tas. “Yesha, tuan putri lo pusing katanya.”

Eh? Nara menoleh cepat.

Demi mendengar laporan itu, bergegas Yesha meninggalkan kegiatannya—yang belum selesai. Ia menghampiri Nara, menatapnya cemas. “Kenapa? Pusing? Kamu sakit?”

Nara justru menggernyit bingung.

Yesha sudah sibuk menempelkan punggung tangannya pada kening Nara, pada lehernya, memastikan suhu tubuhnya tidak tinggi. Memeriksa Nara dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Kamu kenapa gak bilang dari tadi? Kalau pusing biar aku minta izin ke pangawasnya supaya kamu ke UKS, ulangannya bisa nanti nanti lagi—”

Nara menahan kedua tangan Yesha yang ada di kedua sisi wajahnya. “Hei, apa sih? Aku nggak apa apa.”

“Tadi kata Rania pusing?”

Nara memutar bola matanya jengah, Yesha ini ada ada saja. “Kan, emang lagi pelajaran matematika, kan? Emang kamu gak pusing liat angka segitu banyaknya tadi?”

Yesha terdiam, menatap Nara dengan polosnya. “Jadi pusing karena matematika?”

“Iya Yesha.” Nara mengangguk, tertawa kecil.

“Beneran cuma karena itu?”

“Iyaa. I’m very well.” Nara meyakinkan.

Ryan dan Rania tertawa di bangku masing masing. Geleng geleng kepala nyaris bersamaan. “LO ALAY BANGET SAT!” Umpat Ryan.

“SI PALING BUCIN MAMPUS ANJIR.” Rania menambahkan, tertawa seraya bergidik ngeri.

Yesha tidak peduli, ia menghela napas panjang. “Jangan suka bikin aku khawatir gitu dong.” Katanya pada Nara.

Nara mendengus. Dasar Yesha. Ada ada saja kelakuannya.

Drrtt…drrtt…drrtt…

“Hape kamu tuh.” Nara menunjuk ponsel Yesha yang berdering diatas mejanya dengan dagu.

Yesha menoleh pada arah tunjuk Nara, ponselnya menyala, seseorang menelepon. Lantas ia berbalik, berjalan menuju bangkunya dan menyambar benda pipih itu.

Nara tidak tahu apa atau siapa yang ada dilayar ponsel Yesha saat ini. Tapi ia bisa melihat bahwa ekspresi Yesha berubah detik ketika lelaki itu menatap ponselnya. Sebuah ekspresi yang tidak bisa Nara artikan. Lantas setelah itu Yesha merapatkan ponsel pada telinga, berjalan menuju pintu keluar untuk menerima telepon.

“Siapa?” Nara hendak melangkah bermaksud ikut, tapi tangan Yesha terangkat, menyuruhnya diam ditempat. Langkah Nara urung, ia menatap Yesha dengan bingung. Lelaki itu sudah keluar dari kelas dengan wajah serius.

“Siapa, sih?” Tanya Rania, saling tatap dengan Nara dan Ryan.

Nara menggeleng, tidak tahu. Ia tidak bisa menebak.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!